Kabar Kematian

Mustafa Ismail
http://www.suarakarya-online.com/

Abu mengingau. Aku yang malam itu tidur di rumah kontrakan abu, tersentak bukan kepalang. Abu berteriak-teriak sendiri. “Kalau Bang Suman berani mengancam lagi, saya akan laporkan ke polisi.” Kata-kata itu diucapkan berulang-ulang. Kudengar umi di dalam kamar membaca beberapa ayat-ayat Quran sambil membangunkan abu dan membimbingnya mengucapkan ayat-ayat yang dilafalkannya.

Bang Suman yang dimaksud adalah abuwa, abangnya umi. Setelah terbangun, abu bercerita bahwa ia bermimpi didatangi abuwa yang meminta agar lampoh di kampung segera dijual. Abuwa memaksa meminta surat lampoh itu yang dipegang umi. Abuwa menerobos masuk ke kamar abu di kampung dan mengambil surat tanah itu dari laci bagian bawah lemari. “Jangan-jangan kabar yang menyatakan Nurman meninggal itu bohong-bohongan,” kata abu.

Nurman adalah adik abu. Kemarin siang, Puteh, anak abucut Nurman menelpon yang mengabarkan ayahnya meninggal.
“Maksud abu?” tanyaku.

“Mungkin saja Bang Suman meminta anak si Nurman untuk menelpon kita dan mengatakan bahwa ayahnya meninggal. Itu agar kita pulang dan menyerahkan surat lampoh itu kepada Bang Suman.” “Maksudnya, abuwa bersekongkol dengan Puteh?”

Abu tidak langsung menjawab. Ia tampak tercenung, lalu berkata: “Mungkin saja.” Kemudian abu kembali diam. Semua diam. Umi juga diam. Tia yang ikut terbangun juga terdiam. Aku pikir, kok rasanya kecurigaan abu itu tidak mungkin. Mana ada orang yang sampai hati mempermainkan berita orang meninggal.

Ketika Puteh menelpon kemarin siang untuk memberitahukan ayahnya meninggal, aku tidak merasakan ada kejanggalan dari bicaranya. Ia bicara layaknya orang yang sedang berduka. Suaranya bergetar parau seperti habis menangis.

Abucut Nurman dalam dua tahun terakhir memang sering sakit-sakitan dan beberapa kali dirawat di rumah sakit. Ia terkena sakit lever dan kencing manis. Selama ini, tiap bulan ia mengontrol ke rumah sakit. Terakhir, beberapa bulan lalu, Kak Nina, anaknya abucut Nurman yang lain memberi kabar bahwa sakit ayahnya makin parah.
“Coba telepon orang di kampung untuk memastikan apakah benar Nurman meninggal,” kata abu tiba-tiba.

Aku tercenung. Rasanya kurang tepat menelpon orang lain pada jam segitu, pukul 02.00 dinihari. Lagi pula, sehabis menerima kabar duka kemarin, aku sudah membeli tiket pesawat untuk abu dan umi pulang ke Banda Aceh yang berangkat pukul 06.00 pagi ini dari Bandara Cengkareng. Mestinya, sebentar lagi abu dan umi sudah siap-siap untuk kuantar ke bandara. Makanya aku menginap di tempat abu agar tidak terlambat.
“Bagaimana? Nggak bisa?” Suara abu menyentakku.
Aku mengambil telepon genggam dan menelpon Kak Nina, tapi tidak diangkat. Aku juga berusaha menelpon tetangga rumah abucut Nurman, juga tidak ada yang mengangkat. Mungkin mereka tertidur pulas setelah seharian ikut membantu mengurus prosesi pemakaman abucut Nurman.
“Bagaimana? Tidak bisa?” Abu kembali bertanya.
Aku menggeleng. Abu tercenung.

“Lebih baik kita pulang dulu saja. Kan tidak rugi juga kita pulang ke kampung barang beberapa lama.” Umi mencoba memberi pendapat.

Tapi abu segera menukas: “Kalau tidak penting betul, buat apa kita buang-buang uang. Kalau memang tidak terjadi apa-apa di kampung, tiket yang sudah dibeli dibatalkan saja,” kata abu.

“Dibatalkan? Tidak mungkin membatalkan tiket pada jam segini. Kalau kemarin sore mungkin masih bisa,” Tia, adikku, ikut bersuara.

Abu tidak menyahut. Hening. Hanya suara angin yang terdengar memukul-mukul pepohonan di halaman. Beberapa hari belakangan, angin begitu kencang, terkadang disertai dengan hujan. Umi tampak menyilangkan tangannya di dadanya seperti menahan dingin. Sementara abu, yang memakai kain sarung garis-garis dan baju kaos, duduk di sampingku menyandar pada dinding ruang tamu menghadap ke pintu luar.

Semua seperti larut dalam pikiran sendiri. Aku tidak menyangka, abu begitu trauma dengan kejadian yang sudah lebih dari tujuh tahun itu. Kala itu, abuwa mengancam umi agar melepaskan lampoh yang diberikan kepadanya oleh abusyik untuk dijual. Ia membawa rencong. Abuwa bahkan sampai berkata: “Jangan sampai kamu tidak sempat menikahkan anakmu ini.” Anak yang dimaksud itu adalah Tia.
Lalu abu dan umi memutuskan mengungsi ke tempatku di Jakarta.

Aku tentulah sangat senang. Sebab, sudah beberapa kali aku mengirim surat agar abu dan umi tinggal saja bersama kami, tapi mereka tidak mau. Mula-mula, alasannya abu tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah kantor kecamatan. Setelah abu pensiun, giliran umi yang punya alasan: tidak mungkin meninggalkan misyik sendirian. Sebab keluarga abuwa tidak mau mengurus misyik.

Setelah misyik meninggal, masih ada saja alasan yang dikemukakan abu dan umi, yakni Tia sedang nyantri di sebuah pesantren di Samalanga. Bahkan, ketika situasi di kampung, di Aceh, sedang tidak aman, abu dan umi juga tetap bertahan. “Kemana pun kita pergi, kalau memang Tuhan mau mencabut nyawa kita, ya tetap bisa. Tidak ada yang perlu ditakutkan,” kata umi.

Waktu itu aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Padahal, kebanyakan warga di kampung yang punya sanak-saudara di kota lebih memilih mengungsi ke kota. Terutama anak-anak muda, banyak yang menghilang dari kampung. Sebagian terbesar dari mereka adalah mengungsi ke kota, terutama Jakarta. “Dari pada di kampung keserempet peluru nyasar,” begitu alasan mereka kalau ditanya.

Ketika abuwa mengancam itu, sebenarnya ibu mau bertahan juga. Tapi abu membujuk umi agar jangan membuat masalah dengan keluarga. “Malu dilihat orang,” kata abu.

Yang mengagetkan, beberapa bulan lalu, abu mendengar kabar bahwa abuwa telah menjual lampoh itu kepada abang iparnya. Padahal, surat-surat lampoh itu dibawa umi ke Jakarta. Lampoh seluar 400 meter persegi itu dijual sangat murah, hanya Rp 5 juta.

Uang itu, menurut abuwa kepada orang-orang di kampung, dipakai untuk menebus kebun kelapa seluas 8 ribu meter yang dulu digadaikan abucut. Waktu itu abucut terkena musibah. Sepeda motor yang dipinjamnya dari seorang famili jatuh dan rusak parah, bahkan sampai tidak bisa diperbaiki lagi. Abusyik kemudian menggadaikan kebun kelapa itu untuk menggantikan sepeda motor yang baru.

Abu tenang-tenang saja menanggapi abuwa yang menjual lampoh itu. “Biar saja,” katanya suatu kali. “Surat lampoh itu kan ada pada kita.”

Abu juga melarangku pulang ke kampung untuk menyelesaikan masalah lampoh itu. “Ngapain pulang, buang-buang uang saja. Bisa-bisa ongkos pulang ke sana hampir sama dengan harga lampoh yang dijual itu,” kata abu. Benar juga pikirku.

“Lagi pula pulang tanpa membawa apa-apa buat keluarga dan tetangga di kampung bikin tidak enak hati,” abu melanjutkan. “Mereka pasti membayangkan hidupmu disini makmur dan berkecukupan. Kalau pulang ya harus membawa oleh-oleh.”

Aku tidak mendebat abu kala itu, meskipun aku tidak setuju dengan sikap seperti itu. Buatku, kalau seseorang punya kemudahan untuk berbagi dengan orang sekampung silakan saja. Kalau tidak ada, ya jangan memaksa diri. Tapi tentu hal itu tidak kusampaikan kepada abu. Aku tidak ingin mendebatnya dengan cara berpikirku.

“Coba telepon ke kampung sekali lagi apakah benar Nurman meninggal,” kata abu tiba-tiba. Umi yang matanya telah tertidur dengan menyandar pada dinding terbangun. Aku dan Tia saling pandang. Tia lalu memberi isyarat dengan tangannya agar aku menelpon sekali lagi ke kampung.

Dua orang yang kutelepon, yakni Nina dan seorang tetangga lain, tak satu pun menyahut. Ketika hal itu kusampaikan kepada abu, ia menjawab pelan: “Ya sudah, sekarang kita siap-siap untuk berangkat ke Bandara.” Habis berkata begitu, abu beranjak ke kamar, dan keluar membawa handuk menuju kamar mandi. Aku menarik nafas lega dan berharap pikiran abu tidak berubah lagi. ***

Catatan:
Abu = ayah,
Umi = ibu,
Abuwa= Pakde,
Miwa = Bude,
Abucut = paman,
Cupo = kakak,
Misyik = nenek,
Abusyik = kakek

*) Lahir di Aceh, 25 Agustus 1971, menulis cerpen dan puisi, dipublikasikan di berbagai media cetak dan termuat dalam sejumlah buku antologi bersama. Buku kumpulan puisi terbarunya “Tarian Cermin” (2007). Sejak 1997 bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Ia pemangku blog: http://jalansetapak.wordpress.com.

Leave a Reply

Bahasa ยป