KEPADA YANG MELUPAKAN*

Pengantar Antologi Puisi Penyair Perempuan Asas “Sihir Terakhir” (diterbitkan PUstaka puJAngga 2009)

Nenden Lilis A. **

Membuka lembar demi lembar antologi puisi yang ditulis para perempuan yang tergabung dalam komunitas ASAS dan menghikmatinya satu demi satu, saya seperti membuka lembar demi lembar album kenangan sekaligus sejarah perjalanan sastra perempuan kita. Dari tiap lembar album yang terbuka menganga itu seolah menjerit suara tentang perempuan, yang dalam sejarah atau segala hal lainnya selalu di “sunyi”-kan dan ditinggalkan waktu; dimarjinalkan dan didiskriminasi.

Saya ingin membuka sedikit gambaran itu dari pengalaman personal saya sebagai penyair yang berjenis kelamin perempuan. Kalau kemudian saya bercerita tentang hal itu dari kondisi kepenyairan di Jawa Barat, itu karena kebetulan saja saya berdomisili di Jawa Barat. Tetapi, saya yakin, bahwa gambaran ini adalah juga representasi kondisi perempuan di wilayah-wilayah lainnya.

Di Jawa Barat, baik dengan diam-diam, maupun dengan mempublikasikan karya lewat media massa, tentulah banyak perempuan yang berkarya. Tetapi, sejauh itu, mereka seolah dianggap tak ada. Hingga tahun 1996-an saja, seperti salah satunya dapat dilihat dalam antologi puisi 10 penyair Jawa Barat Cermin Alam, tak satu pun tercantum nama dan karya perempuan. Terlebih lagi dalam kegiatan sastra. Perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan.

Saya baru merasa keberadaan perempuan agak ditoleh, dari event sastra nasional yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang kebetulan saya termasuk salah seorang yang diundang di dalamnya. Dalam event itu pun, dari ratusan penyair yang diundang dari seluruh Indonesia, jumlah perempuan hanya empat orang (saya sendiri dari Bandung, Oka Rusmini dari Bali, Sirikit Syah dari Surabaya, dan Anil Hukma dari Makassar). Jumlah itu mewakili jumlah propinsi saja tidak. Selanjutnya, seringkali dalam berbagai even sastra lainnya, saya selalu melihat diri saya sendirian dan terasing di tengah para laki-laki. Kondisi empirik itu menyadarkan saya akan termarjinalisasinya perempuan dalam kesusastraan.

Tahun 1995 “perlawanan” terhadap pemarjinalan itu dimulai. Kebetulan saya bergabung dalam komunitas Bandung Literature Society yang diketuai Beni R. Budiman (alm.). Melalui wadah tersebut, bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung (FSB), pada 17 Desember 1995, Beni R. Budiman menggagas pernyelenggaraan pembacaan puisi oleh para penyair dari kalangan perempuan dalam dua kota Bandung-Jakarta. Upaya ini dilanjutkan dengan merangkum para penyair dari kalangan perempuan yang tersebar di berbagai kampus dalam sebuah diskusi dan pembacaan puisi di CCF Bandung pada 23 April dengan menghadirkan pembicara Melani Budianta dan saya sendiri.

Benih-benih ini melahirkan sebuah komunitas sastra peduli perempuan bernama Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) yang pada saat itu aktif mengadakan diskusi, berbagai event sastra, penerbitan buku. Tulisan-tulisan yang menggugat diskriminasi gender ini pun gencar dipublikasikan.

Apa yang digambarkan di atas, akan dianggap besar atau kecil, adalah jejak-jejak yang telah ditorehkan dan telah turut merintis jalan bagi terbukanya hutan patriarki yang menghegemoni kesusastraan kita selama ini.

Mengenang jejak-jejak itu sambil membayangkan kata-kata futurolog John Naisbit yang meramalkan abad 21 sebagai abad kebangkitan perempuan, atau feminis Amerika Naomi Wolf yang mengatakan hal yang sama, yakni abad 21 sebagi era kekuasaan perempuan, saya berharap kini “hutan” itu sudah betul-betul terbuka. Tetapi, kehadiran antologi Kepada Yang Melupakan (antologi puisi perempuan ASAS) ini menegunkan saya dari harapan tersebut. Apa yang saya kira sudah ada di hadapan saya itu ternyata masih jauh.

Tatkala antologi-antologi semacam ini hadir, tentulah ada sesuatu di balik itu. Tak ada asap jika tak ada api. Mengapa dalam kesusastraan Indonesia muncul buku-buku antologi karya sastra khusus perempuan? Mengapa terbentuk komunitas-komunitas sastra perempuan? Mengapa pula ada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sastra yang pengisi dan isi yang dikupasnya tentang perempuan? Tak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya sebab hal-hal tersebut cukup jelas menegaskan kepada kita betapa perempuan tidak terakomodasi dalam ruang kesusastraan yang melingkupinya.

Betapa pun dilematisnya upaya seperti itu. Upaya seperti ini di satu sisi memang dapat menegaskan eksistensi perempuan dalam kesusastraan dan mengangkat posisi mereka dari penenggelaman yang mereka alami selama ini. Namun di sisi lain, hal itu menimbulkan kesan seolah-olah kesusastraan perempuan berada di wilayah lain, terpisah dari sejarah dan diskursus kesusastraan secara umum. Hal seperti ini pun bukan tidak mungkin menyebabkan peng-hierarki-an antara perempuan dan laki-laki.

Tetapi, selama pemarjinalan terhadap perempuan terjadi, upaya berupa affirmative action seperti itu perlu terus dilakukan. Seperti kita ketahui, affirmative action adalah tindakan yang sengaja diambil dengan cara memperlihatkan perbedaan suatu kelompok dari kelompok lainnya dengan tujuan mengangkatnya dari ketidakadilan kesempatan. Tindakan afirmatif dilakukan jika ada suatu kelompok yang terpinggirkan. Upaya seperti ini, seperti yang sudah kita rasakan, sedikit demi sedikit mengikis keangkuhan hegemoni patriarki dalam kesusastraan kita. Dalam konteks affirmative action inilah tampaknya antologi puisi ini hadir, dan kita perlu menyambutnya dengan penuh keterbukaan.
***

Disadari atau tidak disadari oleh para penulis dalam antologi ini, bahwa yang mereka lakukan dengan penerbitan antologi ini sesungguhnya tidak sekedar tindakan afirmatif dalam konteks seperti digambarkan di atas, tetapi juga sebuah kerja politik. Michel Foucalt pernah menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarki, perempuanlah yang mengalami kelangkaan kekuasaan (lack of power). Untuk memperbaiki ketidakadilan itu, perempuan harus melancarkan strategi, yaitu bicara (menjadi “subjek yang berbicara”). Harus disadari dan diyakini bahwa suara-suara perempuan yang lahir dari setiap personalitasnya itu hadir di masyarakat sebagai upaya politik mengubah struktur dan relasi yang tidak adil. Menulis adalah salah satu bentuk penghadiran suara-suara itu. Dengan begitu, bagi perempuan, menulis adalah upaya politik bagi terciptanya sebuah dunia yang lebih adil dan sehat. “Personal is political,” begitulah salah satu prinsip feminisme berujar.

Dan, membaca antologi ini, akan banyak kita temukan suara-suara itu. Begitu berwarna dan bernuansa. Isi, cara pandang, dan penyajian dari 18 penyair muda ini begitu beraneka. Ditilik dari segi kemampuan teknis menulis puisi, sebagian memang masih tampak tertatih-tatih. Tetapi, sebagian yang lain, seperti tampak pada sajak Dian Hartati dan Fina sato yang memang sudah punya jam terbang tinggi dalam bidang ini, sudah menunjukkan kematangan. Begitu pula pada sajak-sajak Desti Fatin Fauziyyah dan Alfatihatus Sholihatunnisa yang jernih, Cut Nanda yang bereksplorasi bunyi kata, Ellie R. Noer yang menghadirkan cara pandang jeli, unik, dan orisinal, atau Evi Sefiani yang tanpa pretensi dengan tema dan lebih memilih sajak-sajak manis dan liris, dan banyak lagi. Tentu saja, para penulis ini sedang berproses, dan yang namanya proses tidak akan pernah berhenti. Orang yang berhenti berproses sama artinya dengan orang yang berhenti berkreativitas. Dengan demikian, terlalu dini untuk menilai mereka dari segi nilai puisi-puisinya.

Perkembangan dan kemajuan mereka masih kita tunggu. Namun, sekecil atau sebesar apapun, apa yang mereka lakukan perlu dicatat sebagai upaya untuk mengingatkan mereka yang selalu “melupakan” sebuah kehadiran, terutama kehadiran perempuan. Dengan menulis, pada dasarnya mereka pun telah turut menjaga kita dari lupa. Namun, pekerjaan rumah belum berarti selesai, sebab seperti dikatakan Desti Fatin dalam puisinya: kita belum menjadi kita/dan kau melulu jadi pelupa.
***

*) Dari judul puisi karya Desti Fatin Fauziyyah.
**) Penyair, pendiri KSDS, dan dosen di Jurdiksatrasia FPBS UPI.

Leave a Reply

Bahasa ยป