Azizah Hefni
suarakarya-online.com
Pagi-pagi sekali, Marji sudah mandi. Pakaiannya sudah rapi. Rambutnya di belah pinggir, di beri minyak agar terlihat klemis. Ia juga sudah menyisir alisnya yang tebal, juga kumis tipisnya. Baunya pun wangi. Maklum, sabun mandi yang ia pakai tadi bukan lagi sabun bonus semen atau cat tembok, melainkan sabun merek ternama, yang biasa diiklankan di tivi.
Sebelum berangkat, Marji menengok istrinya, Karni, yang sibuk mencuci setumpuk pakaian di sumur belakang. Tampak dari belakang, punggung istrinya melengkung, dan gelungan rambutnya banyak yang terlepas. Pantat istrinya yang bergoyang-goyang saat kedua tangannya mengucek pakaian-pakaian, tampak seperti pantat badut di pasar malam. Kulit istrinya hitam, lebih hitam dari Marji (apalagi kulit lehernya!). Mungkin terlalu sering terpanggang matahari.
Marji pernah ingat kata-kata almarhum emaknya, kalau daya tahan kulit perempuan lebih sensitif dan rentan dibanding laki-laki. Kasihan Karni, batin Marji. Ia bekerja terlalu keras. Selain sebagai buruh cuci, Karni juga membantu ngemong dua anak tetangga, Mbak Tri, yang ditinggal kerja kedua orang tuanya sampai menjelang petang.
“Aku berangkat dulu, dik,”
Karni segera menoleh. Bibirnya yang cukup tebal tertarik lebar. Matanya yang sipit, namun berbulu mata lebat dan runcing, menyiratkan lelah. Ia mengangguk lembut, mengusap keningnya dengan tangan kanan, sampai tak dirasa, busa cucian menempel. “Mas, bekerjalah dengan hati senang,”
Marji tersenyuman. Tak salah ia memilih Karni sebagai pendamping hidupnya. Sekalipun, pada mulanya, banyak orang meremehkan pawakan Karni, termasuk ibunya sendiri. Karni memang memiliki lengan kekar, berkulit dan berwajah keras, serta betis yang besar, namun siapa sangka jika hatinya selembut kapas? Selama hidup dengannya, Karni tak pernah menuntut apa-apa. Sebaliknya, ia banyak membantu Marji meringankan beban hidup. Karni seorang pekerja keras.
Berbekal senyum istrinya itu, Marji berangkat penuh semangat. Kali ini, Marji tidak akan menjajakan jasa sebagai pemotong rumput keliling seperti biasanya. Marji diajak Pak Darmono, tetangganya, untuk mengecat rumah seorang kaya raya yang baru saja pindah. Pak Darmono memang sudah empat kali ini melibatkan Marji dalam pekerjaan cat-mengecat. Menurut laki-laki paruh baya itu, garapan Marji halus dan bagus.
Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, Marji sampai di rumah yang akan digarapnya. Rumah itu cukup besar. Pak Darmono belum datang. Maka, Marji mendekati pagar, lalu memencet bel. Tak lama, keluarlah seorang perempuan cantik berambut panjang. Perempuan itu membuka pagar, dan mempersilahkan Marji masuk.
“Kamu Marji, ya?” Tanyanya. Marji mengangguk ramah. Perempuan itu melihat Marji dari kaki sampai kepala. Ia lantas manggut-manggut. “Sudah ada bahan-bahannya. Kemarin Pak Darmono juga sudah mengangkat andang dari rumahnya. Sekarang dia pergi ke toko bangunan, membeli cat tambahan. Jadi, kamu kerjakan dulu,”
Marji mengangguk. Ia lalu meletakkan ransel di lantai, dan mulai berganti pakaian (Pakaian kotor khusus untuk mengecat). Setelah itu, ia mulai mencampur kalsium, semen putih, dan lem. Marji mengaduknya secara perlahan. Ia akan memlamir tembok terlebih dahulu.
Di tengah-tengah ia bekerja, tiba-tiba terdengar nyanyian dari dalam kamar mandi. Pemilik rumah sedang mandi, batin Marji. Ia menyanyi dangdut. Indah betul suaranya. Sambil mengecat, kepala Marji manggut-manggut, menikmati alunan suara.
Tak berapa lama, keluarlah pemilik rumah itu dari kamar mandi (Marji bisa menebaknya, karena ada derit pintu terbuka). Tiba-tiba, perempuan itu memanggil-manggilnya. “Marji, sini!”
Mendengar namanya dipanggil, Marji bersegera masuk rumah. Namun, betapa kagetnya Marji. Perempuan yang sebetulnya belum ia kenal itu sudah berdiri dengan balutan handuk jauh di atas lutut. Rambutnya basah, begitu juga kulit pundak, lengan, dan kakinya. Tubuhnya yang sintal dan terang, terlihat segar dengan titik-titik sisa air.
“Di ruang tamu itu, banyak tembok yang terkelupas! Jangan sampai lewat!”
Marji mengangguk. Perempuan itu berbalik pergi. Cara jalannya menyita perhatian (irama pantatanya itu!). Marji lalu kembali ke halaman, mengangkat tong besar berisi bahan campuran dan segera menuju ruang tamu. Ia naiki andang dan mulai bekerja.
Setengah jam kemudian, perempuan itu keluar dari kamarnya. Ia sudah berpakaian rapi. Pakaiannya kuning terang, dengan rok mini lebih matang. Sepatunya tinggi, warnanya senada. Begitu juga dengan tasnya. Ia terlihat sangat elegan, elit dan tentu saja, cantik. Rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya yang proporsional (ukuran hidung, bentuk bibir, mata, kening, pipi, sampai dagu semuanya begitu indah dan pas!) dimake-up. Ia benar-benar seperti artis di tivi!
“Aku tinggal ke kantor dulu,”
Marji mengangguk dengan ramah. Perempuan itu lantas pergi ke garasi, menyalakan mesin mobil, dan meluncur dengan cepat.
Tak berapa lama, Pak Darmono datang. Ia datang dengan sebuah mobil pick up, utusan dari toko bangunan. Marji buru-buru turun dan membantu Pak Darmono mengangkut bahan-bahan mengecat dari jok belakang mobil. Setelah usai dan keduanya mulai bekerja di dalam ruangan, Marji bertanya, “Siapa pemilik rumah ini, Pak?”
“Namanya Mbak Diyah. Dia janda cerai. Dia bos di perusahaan ayam potong,”
Marji mengangguk-angguk.
“Cantik ya?” Timpal Marji kemudian. Pak Darmono hanya tersenyum.
***
Marji pulang pukul lima sore hari. Saat tiba di rumah, dilihatnya Karni sedang menonton tivi. Marji melihat wajah Karni. Wajah itu masih sama seperti tadi pagi. Rambutnya juga masih sama, berantakan. Dan, yang paling terasa, bau badan Karni, bau asap bercampur keringat lembab. Marji menggigit bibir.
“Kamu belum mandi, dik?”
Karni menggeleng, “Nanti malam saja, mas. Tadi, nggak sempat. Setelah nyuci, langsung nganter anak-anak Mbak Tri. Mereka ada kegiatan kerja bakti di sekolah. Jadi, pulangnya sore. Aku menunggui mereka. Sepulangnya dari sekolah, aku menyetrika pakaian. Lalu, mas datang,”
Marji tersenyum kecut.
***
Esok pagi, Marji, seperti biasa berangkat ke rumah Mbak Diyah untuk mengecat. Dan seperti kemarin, Pak Darmono terlambat datang.
Di rumah itu, Mbak Diyah tampak sedang santai membaca majalah dengan posisi berbaring di sofa. Kulit-kulit Mbak Diyah berlumuran cream putih, tak terkecuali wajahnya. Ia tampak seperti hantu pagi itu.
“Hari ini, Pak Darmono tidak masuk, istrinya sakit. Kamu kerjakan dapur dulu. Setelah dapur selesai, kamu plitur pintu depan, biar dari luar bisa segera terlihat bagus,”
Marji mengangguk. Marji segera menggeser andang ke dapur dan mulai bekerja.
Tak lama, Mbak Diyah berjalan dengan balutan handuknya, dan membawa keranjang kecil berisi banyak botol kosmetik. Marji melirik. Di dalam keranjang itu ada lulur, alat cukur, dan botol-botol bergambar perempuan yang mereknya tak bisa dengan cepat dibaca Marji. Mbak Diyah masuk kamar mandi, dan menutupnya. Karena letak kamar mandi bersebelahan dengan dapur dan di atas pintu kamar mandi ada ventilasi kaca, maka Marji bisa melihat apa yang ada di dalam kamar mandi. Marji melihat Mbak Diyah meletakkan keranjang, mengurai rambut, dan melepas handuknya.
Marji tiba-tiba gemetaran. Ia segera mengalihkan pandangan.
Saat suara gebyar-gebyur air terdengar, tiba-tiba saja Marji ingin melihat Mbak Diyah lagi. Marji sempat bimbang, namun kebimbangan itu sirna saat suara Mbak Diyah terdengar sangat empuk mengalun. Karena tak mampu menahan penasarannya, Marji melirik lagi. Terlihat Mbak Diyah yang sudah telanjang bulat. Tubuhnya yang tadi dilumuri cream putih, kini terlihat mengkilat setelah terkena air. Bagian tubuhnya, semuanya proposional dan indah. Ia mengguyur tubuhnya sambil bergoyang layaknya penyanyi. Sesekali mengangkat sebelah tangannya, sebelah kakinya, atau menggerak-gerakkan kepalanya. Marji tak bisa melepaskan pandangannya. Pemandangan itu begitu indah.
Bahkan, setelah Mbak Diyah keluar dari kamar mandi, Marji masih ingat tubuh Mbak Diyah yang halus seperti plastik. Saat ia memoles tembok dengan plamir, ia membanyangkan ia sedang melumuri tubuh Mbak Diyah yang sintal dengan cream putih. Saat ia mulai mengecat tembok dengan warna krem, ia membayangkan itu warna kulit Mbak Diyah yang langsat, dan Marji menggosok-gosoknya. Dan saat Mbak Diyah memintanya untuk memlitur pintu ruang tamu lebih dulu, Marji membayangkan dirinya sedang memoles kulit padat Mbak Diyah sampai mengkilat.
***
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Marji masih ingat tubuh Mbak Diyah yang indah itu. Ia bergumam, betapa bodohnya suami Mbak Diyah menceraikannya.
Ketika Marji sampai di rumah, ia melihat Karni sedang me-lap kakinya dengan kain. Marji melihat kaki istrinya itu berdarah. “Lho, kenapa kakimu itu?”
“Tadi kena pecahan gelas, mas,”
Marji duduk menyebelahi Karni. Dilihatnya kaki istrinya. Telapak kakinya pecah-pecah, sepanjang betis banyak bekas-bekas luka. Ada sisa terkena knalpot, ada sisa kena sayatan pisau, ada sisa gigitan monyet. Bulu kaki Karni juga panjang. Marji tiba-tiba ingat sepasang kaki Mbak Diyah yang tak tergores sedikitpun. Kaki itu sangat putih dan mulus, seperti tembok yang tadi dicatnya. Marji merasa, kaki Karni ini lebih mirip dengan tembok rumahnya, yang sudah menguning, mengelupas, dan retak-retak.
Apalagi, seperti biasa, Karni belum mandi (Sejak kemarin, ia mandi di atas jam sembilan malam). Bau badan Karni tidak sedap. Marji melihatnya pun tak nyaman, Kulit mukanya berminyak, ia mengeluarkan banyak keringat.
“Lain kali, jangan ceroboh! lihat kulitmu itu, buruk sekali!”
Karni kaget mendengar nada bicara suaminya yang tegas, “Satu lagi, besok mandi pagi-pagi. Gosok badanmu itu dengan sabun. Yang banyak, biar kulitmu bagus!”
Marji bangkit, dan bilang, ingin mandi karena gerah. Melihat muka suaminya yang masam, Karni terbengong-bengong.
***
Marji kembali berangkat kerja. Ia tak sempat sarapan, karena Karni sudah hendak pergi. Hari ini, Karni harus mengantar momongannya rekreasi pukul enam pagi.
Sesampai di rumah Mbak Diyah, Marji segera menyelesaikan tugasnya. Kali ini ia mulai mengecat kamar tamu. Mbak Diyah, seperti biasa, asyik bernyanyi di kamar mandi. Tak berapa lama, Mbak Diyah keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk. Ia menghampiri Marji dan berkata, “Marji, jangan pulang dulu sebelum aku datang dari kantor. Aku akan membayarmu hari ini. Aku akan membayarmu tiap tiga hari sekali,”
Marji mengangguk mengerti
“Aku usahakan pulang sebelum jam kerjamu habis,” Setelah mengatakan itu, ia mengerling, kemudian pergi. Tentunya, pandangan Marji tersita pada pantat Mbak Diyah yang bergoyang.
Marji terus bekerja. Hari pun beranjak sore. Marji mulai kelelahan. Tapi, bila ingat Mbak Diyah akan membayarnya hari ini, lelah itu jadi tak terasa. Dan Mbak Diyah memang tiba 5 menit sebelum jam kerja Marji habis. Ia minta Marji masuk ke kamarnya.
“Ini bayaranmu,” diulurkannya uang merah tiga lembar pada Marji.
Melihat itu, Marji terkejut, “Wah, banyak betul. Katanya tiga hari?”
“Karena, garapanmu sangat bagus,”
Sekalipun ragu, Marji akhirnya menerimanya. “Terimakasih, mbak,”
“Apa keahlianmu hanya mengecat?”
“Saya ini pekerja serabutan, mbak. Apa saja, insyaallah, bisa,”
“Kalau begitu, apa kamu bisa mijat?”
“Mijat?” Matanya terbeliak.
Mbak Diyah mengangguk. “Punggungku capek sekali. Tolong pijat aku dulu,”
Tanpa menunggu persetujuan Marji, Mbak Diyah, melepas pakaiannya, lalu merebah ke tempat tidur. Marji hanya mematung melihatnya. Kakinya gemetaran. Perempuan itu kemudian tengkurap di kasur, dan meminta Marji segera memijatnya.
Baru selangkah Marji mendekat, tiba-tiba di luar ada yang mengetuk pintu. Mbak Diyah berdecap kesal. Dengan sedikit kesal, ia meminta Marji segera membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Saat Marji melihatnya, ternyata itu Sumilah, tetangga Marji.
“Istrimu pingsan, Ji! Tadi waktu di bis, dia sempat mengeluh badannya linu-linu! Pulang dari rekreasi, dia langsung pingsan!”
Marji terkejut dan buru-buru pulang.
***
Ternyata Karni kena rematik. Badan Karni juga lemas, mungkin kecapekan kerja.
“Mas, Maafkan aku ya…Gara-gara aku, mas libur kerja tiga hari ini…”
Marji tersenyum, sambil mengelus-elus pipi Karni yang kasar dan berminyak, kemudian menciumnya.
***
Malang, 9 Mei 2009