Damhuri Muhammad *
Republika
Corak historiografi kesusastraan Indonesia modern yang masih berpijak dan bertolak dari ‘asal muasal’ dan pendekatan teleologis, memang sudah amat melelahkan dan terlalu banyak menguras tenaga dan pikiran. Sebagian pemerhati sastra mulai pesimis, kehilangan gairah, bahkan apriori.
Nirwanto Dewanto, dalam esainya (Kompas, 4/3/2000) mempertanyakan, masih perlukah sejarah sastra? Ini mencerminkan ketidakpercayaannya pada konstruk sejarah yang ditegak-berdirikan tanpa ‘kesadaran sejarah’ itu sendiri. Sejarah sastra yang ‘penuh lupa’ atau sengaja lupa berkepanjangan.
Andai seorang novelis atau penyair mengetahui sejak kapan sejarah sastra bangsanya bermula, dan bagaimana munculnya angkatan-angkatan dalam sastra, akankah ia tertolong untuk menghasilkan karya bermutu? Tidak!. Tak ada keterkaitan antara sejarah sastra dengan pergulatan sastrawan meraih kompetensi literer.
Bagi Nirwan, kita tak perlu sibuk berselisih paham untuk mempertahankan pendapat bahwa sastra Indonesia bermula sejak zaman Balai Pustaka, atau jauh sebelumnya. Tak perlu bersitegang urat leher memperdebatkan angkatan-angkatan dalam sejarah sastra. Masa depan sastra Indonesia tidak bergantung pada penulisan sejarah yang bercorak tautologis itu.
Namun, tidak segampang itu penyelesaiannya bagi Maman S. Mahayana. Melalui buku terbarunya, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta, Bening Publishing, 2005), penggiat dan pemerhati sastra ini justru hendak bersitegas bahwa wajah sejarah sastra yang ‘buruk rupa’, bopeng, dan bolong-bolong itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tapi mesti ditambal, diluruskan, dan (bila perlu) ditulis-ulang.
Betapa tidak? Selain problem pemutakhiran data, buku-buku sejarah sastra yang terlanjur dikunyah dan dimamahbiak oleh para siswa di sekolah menengah, juga tidak luput dari keterceceran data. Banyak data yang mestinya dicatat, raib begitu saja. Tak sedikit nama yang telah berjasa dalam perjalanan sejarah kesusasteraan Indonesia terabaikan, dan terlupakan.
Tak dapat disangkal, buku-buku HB Jassin telah memberikan kontribusi amat besar. Banyak nama dan karya telah dicatat dan diangkatnya, berlimpah arsip yang didokumentasikannya, hingga nama Jassin pun kukuh sebagai dokumentator sastra dan tokoh penting dalam penulisan sejarah sastra Indonesia. Problemnya, kharisma sang ‘paus’ sastra itu, diterima para peneliti lain, tanpa pandangan kritis. Hal ini yang terjadi pada buku karya Zuber Usman, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, A Teeuw dan Jacob Sumardjo.
Kekeliruan mencolok adalah adanya lompatan dari periode Pujangga Baru ke periode pasca-kemerdekaan. Sementara, sastra Indonesia zaman Jepang hanya disinggung sepintas lalu. Itupun, hanya mengacu pada gagasan Jassin. Karya-karya yang dibicarakan pada masa itu hampir selalu jatuh pada dua novel terbitan Balai Pustaka, Palawija (Karim Halim) dan Cinta Tanah Air (Nur Sutan Iskandar). Dalam hal ini, para peneliti sastra merujuk pada dua buku karya HB Jassin: Kesusateraan Indonesia di Masa Djepang (1954) dan Gema Tanah Air (1959).
Tapi, yang dilakukan Jassin dalam kedua buku itu, (dalam batas-batas tertentu) tidak berdasar. Mestinya karya-karya yang termuat dalam Kesusateraan Indonesia di Masa Djepang adalah karya-karya yang muncul dalam rentang waktu 1942-1945. Tapi, karya-karya yang muncul selepas merdeka juga tercatat dalam buku itu, sedangkan karya-karya yang seharusnya masuk zaman Jepang justru tercatat dalam Gema Tanah Air.
Akibatnya, orang akan menyangka Chairil Anwar dan Idrus termasuk sastrawan zaman Jepang, sedangkan Darmawidjaja justru ditempatkan pada masa sesudahnya. Dalam kedua buku itu, tidak ditemukan nama-nama seperti Muhammad Dimyati, Yousouf Sou’yb dan Merayu Sukma. Lebih parah, dalam buku Jacob Sumardjo, Zuber Usman bahkan A Teeuw (yang mengacu pada Jassin), nama-nama itu tetap tenggelam tanpa alasan. Padahal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, karya-karya mereka tidak kalah penting dari yang lain. “Inilah blunder para peneliti yang hanya bersandar pada satu sumber,” kata Maman S Mahayana.
Selain ‘berikhtiar’ mengurai-jelaskan keterceceran data dalam sejarah sastra Indonesia, buku itu juga hendak mendudukkan sebuah konsepsi sastra yang bertolak ‘dari dan menjadi Indonesia’. Maman seperti hendak menyuarakan ‘kegelisahan akademik’ yang dialaminya selama malang melintang di jagad sastra. Kegelisahannya melihat geliat perjalanan sastra Indonesia yang belum menemukan identitas. Ibarat pohon yang berdiri-tegak, bersitumbuh tanpa akar.
Apakah benar sastra Indonesia itu ada? Kalau ada, dari manakah ia berasal? Di manakah akar identitas sastra Indonesia itu dapat dilacak? Inilah pertanyaan-pertanyaan hipotetik yang belum terjawab dalam penulisan sejarah sastra Indonesia dewasa ini.
Menurut Maman, kita tak perlu ‘malu-malu’ mengakui bahwa ‘darah daging’ kesusastraan Indonesia adalah ‘sastra etnik’ yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional yang diangkat dari bahasa Melayu). Pencapaian jelajah tematik dan eksplorasi estetik para sastrawan, tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkan mereka.
Ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit (Azab dan Sengsara, 1920 dan Siti Nurbaya, 1922), masalah kawin paksa seolah-olah menjadi tema sentral. Lalu, ke manakah ‘etos merantau’ yang menjadi salah satu ciri kultur Minangkabau? Periksalah, novel-novel Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya nyaris tak pernah lepas dari semangat berkelana, ideologi perantauan. Tapi, etos ini seolah-olah sengaja dikesampingkan.
Begitu pun ketika ST Alisjahbana menyatakan, kebudayaan tradisional (kultur etnik) harus mati semati-matinya, dalam kenyataan hanya sekedar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya justru banyak memuat tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional atau sastra yang berakar dari kultur etnik.
Seperti dicatat Poerwoto Prawirahardjo (1933), Majalah Poedjangga Baroe pernah memuat tulisan Hoesein Djajadiningrat, Arti Pantoen Melajoe jang Gaib, yang menolak pandangan orang-orang Barat tentang pantun. Pada tahun yang sama, juga dimuat artikel Armijn Pane, Kesoesasteraan Baroe, yang menegaskan bahwa kebudayaan daerah tidak dapat diabaikan dalam kesusasteraan baru. Sejumlah puisi karya Imam Soepardi, Amir Hamzah, Tatengkeng, dan A Tisna juga memperlihatkan pengaruh kebudayaan etnik.
Karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru. Di sana, masih ada Armijn Pane dan Amir Hamzah yang tak berpaling dari kebudayaan etnik. Hal yang sama juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamirkan sikap berkesenian lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang mempertahankan kekaguman Alisjahbana pada kebudayaan Barat. Meski Chairil tidak menelannya secara mentah-mentah, tapi menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan proses kreatifnya.
Rentang panjang perjalanan sastra Indonesia yang tak pernah tercerabut dari akar budaya etnik itu dapat terlacak hingga babakan sejarah paling mutakhir sekalipun. Lihatlah, tokoh imajiner Ajo Sidi garapan AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami, yang tak lepas dari kultur Minang. Demikian pula yang dilakukan Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Moenir (Bako, 1983), Wisran Hadi (Orang-orang Blanti, 2000), dan Gus Tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000).
Ekplorasi tematik yang digali dari kultur etnik merupakan peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Warna lokal seperti mata air yang tak pernah kering. Tengoklah Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1982), Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), Kuntowijoyo (Pasar, 1994), beberapa contoh pengarang yang menggauli kultur Jawa dengan cara amat cerdas.
Sampai di titik ini, maka sejarah sastra tidak hanya perlu, tapi juga penting. Sebab, hanya dengan penelusuran, pelacakan dan penulisan sejarahlah dapat ditemukan dan dirumuskan sebuah konsep sastra Indonesia yang ‘beridentitas’ kokoh dan orisinil (asali). Semesta sastra yang ‘meng-indonesia’ tanpa harus menghamba dan mengekor pada budaya Barat. Ya, sastra yang hidup, tumbuh, berkembang dan membiak dengan kultur etnik sebagai ruhnya.
*) Penyair dan pengamat sastra.