Lailiyatis Sa’adah*
http://www.jawapos.com/
Aku mencari jiwaku, tapi tak kutemukan jiwaku.
Aku mencari Tuhan, tetapi Tuhan menghindar dariku.
Ketika aku mencari sesamaku, aku malah menemukan ketiga-tiganya.
—
Cuplikan kalimat di atas adalah bagian kecil dari kekuatan isi yang begitu menghujam ke dalam sanubari setiap pembaca buku Cerita Kecil Saja ini. Stephie Kleden-Beetz, si penulis, sangat lihai dan fasih memainkan bahasa yang lugas, padat, cair, dan enak untuk dinikmati. Buku ini menceritakan banyak hal, tentang arti hidup, kebaikan, kepemimpinan, kesabaran, perenungan terhadap alam, dan segala fenomena di dalamnya.
Stephie membawa pembaca hanyut dalam keheningan yang berujung pada kesadaran diri bahwa manusia sesunguhnya menghamba kepada ”tuan-Nya”, Sang Pencipta. Setiap bait kata yang ia curahkan dalam cerita-cerita singkat tapi mengesankan itu merupakan hasil ingatannya selama ia keliling ke Eropa, Jerman, Swedia, Rusia, dan setelah kembali ke Indonesia pada 1995.
Tentang usia, misalnya, Stephie menulis: ketika saya menghadiri ulang tahun seorang suster yang berusia 84 tahun, ia berkata, ”bayangkan, semua anggota tubuh ada istirahatnya, tetapi jantung tidak pernah. Dan jantungku tetap setia bekerja selama 84 tahun nonstop. Apa itu bukan kebesaran Tuhan?”
Ada satu hal yang selalu saya bawa dari setiap perayaan ulang tahun, kenang Stephie, yaitu panjang atau pendeknya usia kurang penting; yang paling penting ialah bagaimana mengisi hari-hari kita dengan berguna bagi Tuhan dan sesama (hlm. 15).
Refleksi mendalam yang digelorakan Stephie tersebut tentu saja membuat pikiran dan hati kita tersadarkan tentang siapakah diri kita. Buku kecil ini, menurut Anton Sudiarja dalam pengantarnya, boleh dikata memperlihatkan kerendahan hati penulisnya, yang tidak mau menyajikan roti, tapi hanya mengumpulkan remeh-temeh yang tertumpah dari meja kehidupan; bukan buku besar dengan ide-ide kerohanian yang menggemparkan, melainkan kumpulan karangan kecil dengan kisah-kisah sederhana.
Stephie banyak memunculkan simbol rohani yang bisa direnungkan dari kisah dan peristiwa yang ditulisnya: sayap untuk terbang menuju Tuhan, cahaya lilin penerang dunia, garam yang berdaya pengaruh luas, mutiara dan permata yang berharga, jembatan sebagai penghubung, matahari sumber kehidupan, dan sebagainya. Simbol-simbol tersebut mungkin membaur nuansa Kristiani, tetapi nilai yang diungkapkannya bersifat umum. Hanya dalam beberapa kutipan Injil yang dicantumkan di sana-sini, tampak jelas latar belakang Kritiani penulisnya.
Alur cerita dalam buku ini memang sungguh terasa mengasyikkan. Meskipun nama Stephie barangkali tergolong baru terdengar di telinga insan pembaca buku, tapi sebenarnya ia tidaklah awam dalam praktik tulis-menulis. Terbitnya buku setebal 131 halaman ini tampaknya menjadi pintu pembuka yang baik di awal karir Stephie dalam menerbitkan karya-karya berbentuk buku. Yang pasti, gaya tulis Stephie memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Gaya tulis Stephie, kata Sudiarja, mengajak untuk tidak menelan begitu saja apa yang ditulisnya, tetapi mengunyah dan merenungkannya. Inilah kenikmatan buku ini.
Dalam tulisan-tulisan pendek bernas tersebut, Stephie memperlihatkan pengetahuannya yang luas tidak saja dari bacaan dan pengalaman perjalanannya, tetapi juga dari perjumpaan dan persahabatannya dengan banyak orang. Dia memeras semuanya itu dalam kata-kata yang dipilih dengan cernat dan disusun dengan piawai sehingga ia hanya menyajikan saripati, yang berguna. Stephie juga melengkapi tulisannya dengan kutipan kata-kata atau kisah pendek dari orang-orang bijak, filsuf, seniman, sastrawan, dan ilmuwan yang terkenal (hlm. xiii).
Kehadiran buku ini nyaris tanpa cacat dan kritik. Walaupun penulisnya sesekali menyertakan beberapa ungkapan penting yang dicomot dari Al-Kitab –yang barangkali ia hendak menunjukkan dirinya sebagai penganut taat umat Kristiani– namun tidak mengurangi sedikit pun bobot isi kebenaran yang dikandungnya. Dan memang, dalam banyak hal, apa yang ditulis Stephie merupakan unsur-unsur kebenaran yang bersifat universal.
Walaupun buku ini merupakan karya pertama Stephie, terlihat kalau saudara (kakak) dari Ignas Kleden –tokoh intelektual Indonesia itu– sangat pandai merangkai kata. Sebab, sekali lagi, ia tidaklah awam dalam hal tulis-menulis. Dalam biografi singkatnya disebutkan, Stephie adalah bekas koresponden Deutsche Welle (radio nasional Jerman) dan seorang wartawan lepas. Dia juga giat menulis pada sejumlah media di tanah air saat berdiam di Jerman selama hampir dua dekade. Aktif juga sebagai penerjemah resmi bahasa Indonesia-Jerman serta Jerman-Indonesia untuk Konsulat Indonesia di Muenchen ketika itu.
Akhirnya, inilah buku yang dimungkinkan dapat memberikan pencerahan bagi pembaca pada kesemestaan kata yang terukir indah di dalamnya. Membaca buku ini, layaknya menyelamai kearifan hidup yang luar biasa terasa menenangkan jiwa. Sungguh. Selamat menikmati. (*)
—
Judul : Cerita Kecil Saja
Penulis : Stephie Kleden-Beetz
Penerbit : Kanisius, Jogjakarta
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : xvi + 131 halaman
*) Pencinta buku, dan pustakawan AIDA di Jember