Patriotisme

Riadi Ngasiran *
jawapos.com

PATRIOTISME hadir ketika identitas dan eksistensi sebuah bangsa mengalami ancaman. Ia tumbuh seiring magma nasionalisme yang membara. Patriotisme pecah ketika gelora revolusi diembuskan. Maka, dibutuhkan ingatan kolektif sekiranya nilai dan semangat nasionalisme itu mulai redup. Lalu, benarkah sebuah karya seni membantu memberikan daya dorong bagi ingatan kolektif sebuah bangsa?

Kubuka mata. Bola mataku tertuju pada sebuah gambar yang tampak heroik, bernuansa romantik. Ya, sebuah bahasa visual yang mengingatkanku pada keberadaan pelukis kenamaan Prancis, Eugene Delacroix (1798-1863), dengan lukisan kolosalnya, La Liberte Guidant le peuple sur la Barricades (1831). Karyanya menjadi salah satu contoh manifestasi seni dua dimensi di tengah gejolak revolusi. Delacroix dan la Liberte seakan tampak sebagai tiang gambar revolusi Prancis. Betapa tidak, lukisan besar tiga meteran yang sekarang terpajang di dinding besar Museum Louvre, Paris, itu menghadirkan kemenangan rakyat atas penindasan kaum bangsawan yang korup dan tiran. Hak asasi manusia yang selama ini diinjak habis dimunculkan lagi dalam bentuk bangunan seorang perempuan dengan lambaian bendera di tangan.

Delacroix memindahkan saat yang menggairahkan dari hasil kemenangan revolusi tersebut. Karena itu, la Liberte sangat cocok untuk membangkitkan kenangan sejarah bangsa dan membakar semangat patriotisme pada saat zaman sedang berlangsung. Meski, banyak kritik yang mengalir ke hadapan karya besar ini, seperti julukan yang disandangkan kepada tokoh perempuannya sebagai perempuan yang rendah atau bintang yang pudar. Tokoh sentral drama revolusi itu adalah seorang perempuan bertelanjang dada, buah dadanya terjulur bebas, memakai selembar baju yang tak sempat dikenakan dengan rapi. Perempuan yang menjadi lambang negara itu tampak melangkah perkasa dengan bendera biru-putih-merah tergenggam di tangan kanan, sedangkan tangan kiri membawa erat sebuah bayonet siap dihunjamkan ke dada lawan. Kakinya yang juga telanjang menambah dramatis adegan yang sarat pesan dan semangat itu.

Lukisan la Liberte yang diilhami karya novelis besar Victor Hugo, Les Miserables, secara jelas telah menghadirkan tokoh kecil Gavroche. Anak lelaki yang patriotik itu berjalan di depan la Liberte (Dewi Kebebasan), mengacungkan kedua tangan yang menggenggam dua pistol. Di kepalanya bertengger topi baret bekas serdadu yang tewas. Di latar belakang samar terlihat bangunan tua terselubung asap dan awan kelabu. Mengikuti langkah tokoh perempuan la Liberte adalah segerombolan kaum partisan bersenjata apa saja yang siap tempur. Jangan aneh bila melihat penampilan seseorang yang tampak perlente dengan jas panjang, dasi kupu, topi tinggi, dan sepucuk senapan di tangan. Dia adalah pelukisnya sendiri, Delacroix -mengingatkan kita pada sebuah karya monumental Raden Saleh; sang pelukis menghadirkan dirinya di antara pasukan Pangeran Diponegoro sebagai tanda hormat dan simpati yang dalam atas perjuangan bersama rakyat dalam Perang Diponegoro (1825-1830).

Menikmati lukisan yang mengangkat romantika revolusi menyadarkan kita betapa sejarah mengandung pelajaran bagi zamannya dengan kadar tertentu. Seperti kata Sir John Seely, ”Kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada sesuatu peristiwa terjadi.” Itulah hikmah mempelajari sejarah. Seniman punya cara untuk meneguhkannya dalam bahasa visual menangkap episode dramatis kemanusiaan.

Dengan penghayatan dari pengalaman menyaksikan peristiwa sejarah, melalui proses sublimasi dan pengendapan serta pergulatan ide-ide estetik, bahasa visual sebuah karya kesenian ditampilkan. Karya kesenian mempunyai konteksnya ketika kerinduan akan masa-masa yang telah berlalu dihadirkan kembali sebagai bahan menatap masa depan, sebagai pembentukan sebuah identitas.

Kini kita menengok gemuruh Revolusi Indonesia (1945-1949), menyusul diproklamasikannya republik ini oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Tentu saja peristiwa proklamasi memberikan ingatan kolektif bagi bangsa Indonesia untuk terus-menerus mengenangnya. Sebuah momen kemenangan yang menuntut perjuangan panjang, ikhtiar mempertahankan kemerdekaan yang telah dideklarasikan itu.

Ingatan tersebut bisa memberikan kesan romantik ketika kita menyaksikan kembali lewat monumen kreatif, di antaranya yang disajikan dalam bahasa visual, lukisan atau gambar. Ketika menikmati karya pelukis Surabaya M. Soechieb (1931-1996) dengan karyanya, Pertempuran di White Way (1975), lintasan daya bayang saat menyaksikan seorang pejuang pada waktu itu dicerap sang pelukis dengan jiwa penuh gelora. Di antara asap mesiu, seperti kabut yang hendak disibak, sekumpulan pemuda yang membawa berbagai senjata -bayonet rampasan, pisau panjang, dan yang lebih banyak adalah bambu runcing-mengadakan perlawanan di medan pertempuran di lokasi yang kini dikenal sebagai Toko Siola. Di antara suasana perang itu, terdapat sosok pemuda bertali kepala merah putih, memberi aba-aba perintah penyerangan menghadapi musuh, di sampingnya telah lunglai sejumlah tubuh bersimbah darah seraya mendekap bambu runcing.

Revolusi kemerdekaan disambut gegap gempita oleh rakyat Surabaya. Bukan sekadar sorak-sorai penuh semangat, tapi juga kesediaan untuk menyerahkan jiwa-raga bagi tanah air, yang berpuncak pada pertempuran 10 November 1945. Di mata seniman, peristiwa itu dihadirkan kembali dengan bahasa visual sebagai ikhtiar menumbuhkan nilai-nilai semangat perjuangan. Kita seakan diingatkan kembali, seperti kata Cicero, ”Sejarah adalah saksi sang waktu.” Sebagai saksi waktu, sejarah merupakan obor kebenaran, nyawa ingatan, guru kehidupan, dan pembawa warta dari masa ke masa.

Jauh sebelum M. Sochieb, Baharoedin Marah Sutan (1910-1988) dan Mochtar Apin (1923- 1994) memberikan kesaksian ketika revolusi berlangsung. Kesaksian itu dalam sebuah penerbitan album karya grafis dimaksudkan sebagai bentuk peringatan setahun kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1946. Koleksi karya linoleographs yang patriotik dan nasionalistik itu kemudian dikirimkan ke negara-negara yang telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Lewat karya grafis itu diikhtiarkan kemerdekaan Indonesia cepat diakui dunia. Seluruh teks dalam album grafis tersebut diterjemahkan dalam dua bahasa: Inggris dan Prancis.

M. Sochieb memang memperoleh banyak cerca pada zamannya. Lukisannya jauh dari sebutan karya seni, khususnya bila ditilik dari nilai artistik-estetikanya. Dia hanya perajin ingatan. Namun, seiring perjalanan waktu, sepanjang belum ada pelukis generasi selanjutnya mampu menyerap inspirasi sejarah, dialah sesungguhnya yang mendokumentasikan monumen revolusi itu lewat karyanya.

Bagiku, M. Sochieb telah turut memberikan kontribusi bagi identitas sebuah bangsa sekaligus merekam ingatan kolektif zamannya.

Barangkali, ada baiknya kita menengok fakta sejarah peristiwa Reformasi 1998. Saat itu, perupa Saiful Hadjar merekam lewat lukisan raksasa (4 x 30 meter) yang menggambarkan suasana gegap gempita para demonstran turun ke jalan. Suasana reformasi di Indonesia yang, sekali lagi, menumbuhkan minat kemanusiaan dalam menangkap makna berlangsungnya sejarah. Karya itu pernah dipamerkan di Balai Pemuda Surabaya. Namun, karena kita tak pernah sadar akan nilai sejarah, lukisan itu dibiarkan terpanggang matahari dan akhirnya lapuk digerus waktu.
***

*) Penulis buku Identitas Surabaya dalam Lukisan.

Leave a Reply

Bahasa ยป