Hananto Widodo*
http://www.jawapos.com/
Dalam salah satu tayangan di acara The Master, Romy Rafael -sang ahli hipnotis- memeragakan suatu aksi yang intinya terdapat dua kartu, yakni kartu remi dan kartu kosong. Kartu kosong itu bagaikan pikiran manusia yang masih bersih. Artinya, pikiran manusia yang masih bersih tersebut akan diberi warna apa pun bergantung pada lingkungan di mana manusia itu hidup.
Memang, pikiran itu menjadi awal mula segalanya. Pikiran dan bukan jiwa yang memberi perintah. Pikiran akan memberikan warna kepada jiwa manusia yang lebih kita kenal dengan sebutan alam bawah sadar. Alam bawah sadar tidak punya kuasa untuk menolak kehendak pikiran. Dia tidak punya kuasa untuk menyensor apa yang dikehendaki pikiran.
James Arthur Ray, salah seorang guru the secret dalam bukunya The Science of Success, menyatakan bahwa alam bawah sadar dapat diibaratkan jin aladin. Begitu sang tuan memanggil, jin tersebut akan berkata, ”Kau adalah tuanku, apa yang tuanku minta akan hamba layani.” Dengan demikian, jiwa manusia bergantung pada pilihan pikiran manusia. Jika pilihan pikiran manusia itu baik, dia akan menjadi manusia yang agung. Namun, jika pilihan pikiran manusia itu buruk, dia akan menjadi manusia yang derajatnya lebih rendah ketimbang binatang. Karena itu, janganlah heran manakala Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia itu bagaikan serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Begitu juga Nietszche yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya dipenuhi nafsu kehendak untuk berkuasa.
Kebenaran kedua filosof itu bisa kita buktikan pada fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air. Masih segar di ingatan kita bagaimana bom meledak dengan dahsyat di Jakarta. Kedahsyatan ledakan bom tersebut tentu tidak ada apa-apanya ketimbang nafsu para pelakunya yang berkehendak untuk berkuasa.
Mengapa fenomena yang tidak pernah ada pada masa Orde Baru justru muncul pada era reformasi ini. Fenomena negatif yang lahir pada masa Orde Baru tumbuh dengan subur pada era reformasi ini. Artinya, setelah tumbangnya Orde Baru yang terkenal dengan karakteristik otoriter dan korup itu, kita membangun suatu tatanan yang lebih progresif dari sisi demokratis dan penegakan hukum.
Proses demokratis yang idealnya dimaknai sebagai proses yang harus diimbangi dengan sikap bertanggung jawab, tetapi justru hanya dimaknai sebagai bentuk euforia politik. Begitu juga penegakan hukum yang tegas dan berwibawa justru dijawab oleh banyaknya pelanggaran hukum yang silih berganti. Kita tentu berharap, dengan lahirnya UU anti-terorisme, ledakan bom berkurang. Begitu juga ketika lahir lembaga antikorupsi, yakni KPK, kita berharap korupsi bisa ditekan sampai pada titik nadir. Namun, apa kenyataannya? Ledakan bom masih terjadi dan korupsi terus menggila.
Kalau masalah terorisme, kita bisa berkilah bahwa proses keterbukaan pasca Orde Baru berdampak pada ”melemah”-nya keamanan dalam negeri. Karena itu, aparat sekarang tidak bisa seenaknya bertindak. Mereka takut dianggap melanggar HAM. Namun, bagaimana dengan korupsi? Justru karena korupsi itulah Orde Baru tumbang.
Memang banyak pejabat atau mantan pejabat maupun anggota DPR yang berurusan dengan penegak hukum karena kasus korupsi. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah divonis ganjaran. Kenyataannya korupsi jalan terus.
Persoalan penegakan hukum bukan sekadar seberapa banyak kita memproduksi undang-undang. Juga, bukan sekadar seberapa bagus mental aparat kita. Namun, juga seberapa bagus budaya kita, terutama budaya hukum kita. Akan tetapi, kita tidak mau mengkaji secara lebih hakiki apa yang disebut sebagai budaya itu. Kita hanya mengatakan bahwa korupsi adalah budaya kita. Persoalan sebenarnya tidak berhenti sampai di situ.
Mengapa pasca Orde Baru perbaikan-perbaikan tidak kunjung kita dapatkan? Itu bukan persoalan siapa yang menjadi presiden, melainkan manusia yang umumnya cenderung berpikir pada sesuatu yang enak, meskipun itu negatif.
Mengapa orang itu korupsi? Sebab, punya uang banyak itu enak. Pikiran tersebut terus berkecamuk dalam benak masyarakat. Dan, pikiran yang terus berkecamuk tentu diproses oleh alam bawah sadar kita. Ingat, budaya itu merupakan kristalisasi kesamaan persepsi bawah sadar kolektif masyarakat akibat terus berprosesnya pikiran kolektif masyarakat.
Kalau kita terus berpikir bahwa korupsi adalah budaya kita, yang terjadi adalah korupsi semakin merajalela. Mengapa? Sebab, cara berpikir demikian sebenarnya merupakan bentuk afirmasi yang ditangkap alam bawah sadar kita sehingga kita cenderung untuk melakukan tindakan tersebut.
Lalu proses berpikir bagaimana yang harus kita bangun? Proses berpikir positif. Yakni, bukan budaya kita adalah korup, tetapi budaya pemerintahan kita adalah bersih. Bahkan dalam proses berpikir sebisa mungkin dihindari kata-kata negatif, seperti ”tidak” dan ”jangan”. Bunda Theresa menolak jika ada demonstrasi anti peperangan karena yang dia kehendaki bukan anti peperangan, tetapi perdamaian. Memang, semuanya bermula dari pikiran. (*)
*) Dosen Program Studi Ilmu Hukum FIS Unesa.