Puisi-Puisi Halimi Zuhdy

Untukmu

kusulam sajak ini, untukmu
hai! pecandu rindu dari kalbu
yang tergugah.

kurajut sajak ini, untukmu
hai! zeonis cinta yang harap debar kedamaian.
di sana, terlihat konspirasi-konspirasi
kemunafikan, keangkuhan, kedholiman, ketidakpastian

kurangkai sajak ini, untukmu
hai! Penyamun kekuasaan, yang tak lelah
melahap kemurkaan. Opera-opera berhenti
di penghujung ketidakjelasan. Sarung-sarung
melorot, jilbab-jilbab tergantung di pojok-pojok
kota, kesucian robek mengerang.

kutitipkan sajak ini, padamu
agar tak beku, punah, hancur, lusuh,
ditelan waktu.
bacalah! dengan riak-riak
rasa. dengan tetesan linangan mata.
tapi jangan sampai terbakar
dilahap bara.

Malang, 17 April 2005

Sajakku Tak Bermakna

lembaran putih
tinta hitam
melebur menjadi kata
kata yang tak bermakna
kau baca dengan larik mesra
namun kata itu
tetap tak bermakna
kutambah frasa, klausa, kalimat sehingga menjadi alinea
kau bilang masih tak bermakna
kata memang kadang tak mewakili cinta yang sebenarnya
kau memang pintar
kau bilang kata tak bermakna
karena kau menunggu cinta yang sebenarnya
bukan lewat kata yang mengandung seribu makna
kau hanya ingin satu makna
makna cinta
aku pun tak sia-sia
karena kata yang kutulis untukmu hanya
punya satu makna
makna cinta

Malang, 11 April 2005.

Negeri Tikus

1
diawal cerita kudengar negeriku indah nan subur.
biji bertebar dihembus angin
menjadi pohon tanpa tangan

2
anak-anak pada riang menikmati secangkir madu
serutu berhembus menebar angan bapak-bapak
asap pun mengepul, berbau kesturi dari bilik dapur

3
hijau dan rindang kutemukan dari alamku
kesejukan muncul dari angan dan kenyataan
anak-anak pada kuceritakan keindahan
senyum pun tersungging dari bilik mulut kecil itu

4
harapan hidup seribu tahun tak menjadi kenyataan
kini negeriku tak ada senyum
asap pun yang dulu mengepul dari bilik-bilik gubuk
pojong dusun
kini hanya mengepul dari bilik sang bapak
pemilik modal dan kekuasaan

5
biji menebar jadi tanaman
tak ada campur tangan, kini tak lagi kutemukan
karena gigi runcing tikus terus merayap
melahap dan melahap

6
anak-anak bosan dengar cerita, karena hanya hayalan
kini kusimpan dipeti mati, agar tangisan tak
terbuai lagi
dipenghujung cerita, aku hanya penatap
negeriku pilu penuh dengan tikus-tikus
yang katanya “tikus negeri paling banyak”

Malang, 16 April 2005

Tuhan pun Berdzikir
__________________satu

jalan-jalan sunyi menebar angan, malam
terselubung pekat
tak ada kata, tak ada cinta, tak ada rasa
yang ada hanya manusia, manusia tanpa nyali,
manusia tanpa malu

manusia pun lenyap dalam pesona, impian pun hancur
manusia tidak ada yang ada hanya ruh
ruh pun larut dalam genggaman Sang Maha,
Maha segala-nya
manusia dan ruh dalam kehampaan yang ada
hanya wujud
Ujud Maha Wujud, tak ada dua wujud
yang ada hanya Wujud-Nya
manusia pun tak berujud, karena
hakekat Wujud-Nya yang berwujud

aku berdzikir Tuhan pun berdzikir, karena
aku lenyap dalam Aku-Nya, yang ada hanya Wujud-Nya.
aku berdzikir Tuhan pun berdzikir, karena
aku adalah milik-Nya.
aku berdzikir Tuhanpun berdzikir, karena
aku lenyap yang ada adalah Dzat-Nya

aku berfikir Tuhan pun berfikir, karena
aku dalam kendali-Nya
aku hanya manefestasi dari-Nya
tak ada dualisme yang kekal.

*) Puisi Tuhan pun berdzikir terinspirasi dari perkataan Jalaluddin Ar-Rumi: Ungkapan “Aku adalah Tuhan” bukanlah timbul dari sifat meninggikan diri. Melainkan suatu kerendahan hati yang total. Seseorang yang berkata “Aku adalah Hamba Tuhan” menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan. Sedangkan ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan diri, yakni dia menyerahkan keberadaan dirinya sebagai kekosongan. Dikatakan “Aku adalah Tuhan” bermakna: “Aku tidak ada; segala sesuatu adalah Dia. Keberadaan adalah Tuhan sendiri, aku bukan keberadaan sama sekali; bukan apa-apa.” Pernyataan ini luar biasa, lebih dari pengakuan segala kemulyaan. Sayangnya, banyak yang tidak memahami.

Malang, 2005

Tak Terbaca

sehelai tirai merahasiakan rindu
goresan-goresan pena mengunung
tak terbaca

lembaran-lembaran lontar berdebu,
tak berharga,
lenyaplah harapan mengecup kasih rindu
yang tersembunyi di balik lencana

Tuhan,
dulunya burung-burung
berdansa di rerimbunan kemakmuran
kini, ikan tak lagi menari-nari
karena mutiara itu,
terbungkus di kantong-kantong penyamun

Malang, 2003

Nafsu
__________silau__

lautan mencoba
merayu dengan suara ombaknya
yang syahdu,
ilalang melambai-lambai
menarik perhatian sang pujangga-jingga

syaitan
berlakon pak kiyai,
di pentas sanggar keangkuhan

Ifrit
berlakon pak pejabat
di meja-meja eksekusi
manusia ada di antara cinta dan kebencian
di gundukan kejujuran dan kemunafikan

Malang, 2003

Perempuan Tanpa Syahwat

bir di cafe itu, membuat hiruk pikuk. Lelaki setengah baya
mengangguk. Anggukan lirih menoreh makna.
senyum sampul menebar di keheningan malam. Desah hujan
menebar pesona. Rok tipis, rambut setengah bau,
lengan tak berbusana membuat suasana semakin riak.
Musik rok, jaz berdayu-dayu, menghantar penafsu berseloroh.
Mami tersenyum ramah. Selembar selendang datang, menyambar
seuntai senyum.

Perempuan itu, perempuan itu, menguak detak. Tak satu pun
nafas seloroh dengan alam sendirian. Ia tangkap malam,
keheningan bersua. perempuan itu, perempuan itu, lenyap.
Karena fulus tak akur dengan celotehnya. Syahwat Kumal dimakan usia
modal berdagang tinggal butira, itu pun kalau, kalau, kalau.

Malang, 13 April 2005

Titik Nol
-kegilaanmu dipenghujung cinta dan harapan

1/
seuntai mutiara harapan, kau rajut
di altara cinta dan kasih sayang
kau cari kebahagiaan dengan tangan menengadah
dengan mulut komat-kamet, tubuh penuh keringat, napas tersengal
kau tembus panas keganasan metropolitan
kau tidur beralas koran dengan berbantal pualam.
yang keluar dari mulutmu “berat rasanya hidup ini”

2/
kau tak mengerti mengapa kau jadi begini. kau tak paham
mengapa kau terseok-terseok dengan harapan hampa.
kau tak mengerti kau telah dihianati di kerajaanmu sendiri.
kau sebenarnya yang berkuasa
tapi kini kau dikuasai
kau sebenarnya yang berhak mengatur, tapi kau kini diatur
suaramu tak lagi didengar, BBM tetap merangsung
kini kau diajak untuk berperang “ambalat”

3/
sekelilingmu menatap tanpa dosa
renai-renai mentari semakin susut
kelam tiba dalam rayuan
raja-raja dan bandit kekuasaan
menuai dadar dan roti hangat
sedangkan kau penuhi tubuhmu
racun-racun tikus, membinasakan.
karena kau lagi haus
kau jilat-jilat sepatu busuk di kerajaan yang katanya
“bertuhan”
kau tidak salah karena hidup di kerajaan para pengecut
jeritan terakhirmu kudengar, kau terhampar kaku
dengan perut tak berbutir
mulut tak berair
kau tebus keserakahan penguasa dengan titik nol
garis-garis hidupmu tak jelas, karena titik-titik itu
tak pernah bertinta

Malang, 14 Maret 2005
(to sebuah keserekahan dan penghianatan).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *