Sang Pelacak

Fahrudin Nasrulloh *
jawapos.com

Sebuah tlatah mulanya adalah sebentang nubuat, situs yang terus bergerak, dan perang yang bergolak panjang. Tragedi dan cerita manusia di dalamnya bagai layang-layang putus di angkasa. Begitulah kiranya apa yang tersirat di batin De Jonge (1828-1879), si tukang arsip kolonial yang disegani itu. Ia merupakan generasi setelah Valentijn (1666-1727), Peiter Van Dam, dan J. Hageman (1817-1872). Selain itu, sosok P.J. Veth (1814-1896), Van Deventer (1832-1892), dan De Haan (1863-1936) merupakan mata rantai para peneliti di mana kesejarahan kolonial lebih banyak dipandang dari mata dan data yang mereka susun di ”kamar gading”-nya sendiri, yang kerap dicibir tak menyentuh realitas pribumi Jawa. Sehingga, dampak otoritas yang ”kaku dan tunggal” menjadi problem serius bagi keberlanjutan studi ini. Mereka tak melongok periode Hindu-Jawa sebelum 1600, yang selanjutnya digarap oleh T.S. Raffles (1781-1826), Pater Brumund dan Hoepermans, lalu diteruskan oleh para ahli bahasa Sanskerta, seperti Kern, Brandes, dan Krom.

Tampaknya, ambisi akademis dari riwayat kolonial tersebut menggulirkan bejibun riset yang tiada surut. Kini, suatu studi intensif berupa pelacakan penulisan sejarah kota atau kabupaten beserta dinamika yang melingkupinya menjadi sangatlah berharga. ”Kepustakaan” terpenting bagi kaum pengkaji sejarah kota tentulah tidak akan mengabaikan literatur semisal dari J.J. Meinsma, Serat Babad Tanah Jawi: Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647 (S’Gravenhage, 1903), di samping Babad Tanah Jawi versi lain, seperti Babad Kraton (sejarah Keraton Jawa sejak Nabi Adam sampai runtuhnya Mataram) karya R.Tumenggung Jayengrat. Teks ini bisa disejajarkan dengan Babad Besar Surakarta karya Pakubuwana VII. Kendati babad yang terakhir itu sebetulnya serapan dari Babad Kartasura yang oleh C.F. Winter ditengarai sebagai seratan Carik Bajra alias Tumenggung Tirtawiguna. Di antara sekian babad sejenis ini, penelusuran sebuah tlatah dan kroniknya dapat dijadikan ”lanskap banding” dan diskursus yang eksploratif.

Sekarang penerbit Henk Publica Surabaya sedang menggodok penerbitan serial sejarah kota atau kabupaten yang terdiri atas 31 kabupaten di Jawa Timur. Misalnya, Babad Surabaya: Sejarah dan Perkembangan Kota Surabaya. Serial babon itu ditulis oleh Dr Purwadi MHum, dosen dan peneliti UGM.

Catatan urgen dari penerbitan babad-babad kota ini diikhtiarkan untuk mengetahui, menilik, menyusuri, dan melakukan pembacaan sejauh mana peran dan eksistensi wilayah-wilayah tersebut dalam kancah kesejarahannya dari masa ke masa. Meski, tidak semua tersajikan dengan sempurna. Realitas itu jamak dialami oleh beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Jombang. Wilayah ini hingga sekarang masih belum disepakati tentang kapan ”hari jadi”-nya atau kelahirannya ditetapkan. Padahal, kabupaten tersebut telah sekian kali mengundang tim kesejarahan dari pelbagai kalangan akademisi, terutama dari UGM.

Diskursus klasik dan debatable sering mentok terkait dengan minimnya data berupa naskah kuno, data prasasti, etnografi, cerita tutur, data artefaktual, dan arsitektural masa Jawa kuno yang masih kabur dan bias, juga data arsitektural dan arsip masa kolonial. Sedangkan, daerah lain, seperti Surabaya, Mojokerto, Malang, Tulungagung, Trenggalek, dan Kediri, telah menemukan hari ulang tahunnya. Identitas kesejarahan semacam ini menjadi tolok ukur untuk meneropong pasang surutnya ”kembara” sebuah kota.

Maka, Purwadi -yang memiliki kapasitas penguasaan kepustakaan Jawa yang lumayan luas- mencoba membeber dan mengidentifikasi keberjalanan dan kontribusi sebuah kota dalam perspektif lampau (baca: Nusantara) dan yang kini (baca: NKRI). Lacakan-lacakan Purwadi akan naskah-naskah kuno sebenarnya tergolong jlimet dan dilematis. Tidak semua daerah memiliki riwayat kesejarahan yang representatif dan termaktub dalam sejumlah babad. Misalnya, Kota Magetan, yang tampaknya menjadi bagian besar dari riwayat Kasultanan Surakarta yang selanjutnya dibayang-bayangi pemerintahan Hindia Belanda, selain Ngawi dan Madiun.

Ketika Purwadi menggulirkan Babad Malang, ia menyebut bahwa riwayat utama kota ini bisa ditelusuri lewat cerita Singosarian ken Arok, Ken Dedes, Kebo Ijo, Tunggul Ametung, hingga Kertanegara. Maka, sebagai rujukan untuk mengeksplorasinya, ia menggunakan Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Sorandaka, Serat Blambangan, Serat Murwakala, dan Serat Pustaka Raja.

Babad Gresik mengacu dan mengeksplorasi dari bahan: Babad Gresik, Nagara Kertagama, Serat Centhini, Suluk Wujil, Serat Kandha, Sujarah Dalem dengan tokoh-tokoh historisnya, seperti Sunan Giri, Sunan Dalem, Sunan Prapen, dan Sunan Seda Ing Margi, di mana kota ini dahulu kala merupakan salah satu pusat pelabuhan yang menjadi barometer interaksi sosial, politik, penyebaran agama Islam, dan perdagangan dengan pelbagai wilayah negeri manca.

Kemudian Babad Madiun (Serat Dewaraja Serat Mahadewa, Serat Sabaloka); Babad Nganjuk (Serat Kalatida, Serat Tripama, Serat Wicara Keras); Babad Sampang (Sujarah Dalem); Babad Sumenep (Negara Kertagama, Serat Kekancingan); Babad Lamongan (Nagara Kertagama, Sujarah Dalem, Sujarah Lamongan, Suluk Kumandhang, Suluk Sujinah, Suluk Tiyang Tilar Salat, Suluk Wujil); Babad Pasuruan (Babad Tanah Jawi) dan laporan-laporan tentang sosok bandit Untung Suropati yang ditulis De Graaf dalam bukunya, De Moord op Kapitein Francois Tack, 8 Februari 1686, dan lain-lain.

Satu hal yang mencuatkan percincongan krusial bagi kaum sejarawan adalah seberapa orisinal dan akurat sebuah naskah kuno dijadikan patokan dalam membabad sebentang sejarah kota? Sementara komposisi dari babad –yang sebagian besar bermetrum puspa-tembang, juga simbolisme dan kelimunan mitos-klenik yang menyelimutinya– sejatinya dihadapkan pada dialektika faktual dan riset ilmiah yang mesti dipertanggungjawabkan. Perkara demikian juga menjadi sorotan tajam bagi H.J. de Graaf saat mengulas sepak terjang akademisi kolonial atas orang-orang pribumi-Jawa. Lebih-lebih, pada riwayat mahapanjang VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda. Dalam bukunya Historiografi Hindia Belanda (Bhratara, Djakarta. 1971), De Graaf menohok dengan pedas atas sovinisme-banal sederet pengkaji seperti P.J. Veth yang tidak menguasai bahasa-bahasa pribumi. Ia sekadar menggunakan segepok data arsip Hageman, meski ia menggarapnya dengan agak kritis. Memang, Veth tidak jauh amat dengan si romantikus Raffles. Kerja riset mereka, tilik De Graaf, menabalkan tesis bahwa mereka menulis sejarah Pulau Jawa bukan sebagai kaum penguasa asing, melainkan sebagai sejarah orang-orang pribumi yang terbelakang dan dijajah.

Barangkali yang diikhtiarkan Purwadi dengan serial babad se-Jawa Timur ini terlalu remeh pada sekian sisi pandang metode riset, jika dibandingkan dengan kaum kolonial di atas. Namun, dialah pribumi yang melihat langsung Jawa beserta penguasaan bahasa Jawa kuno atas seabrek babad yang ada, lalu mengembangluaskannya. Lemahnya penguasaan sumber-sumber pribumi bagi peneliti asing di Jawa telah memancing Pigeaud, terkhusus Brandes yang mendukung W.L. Olthof, untuk menerjemahkan secara prosais Babad Tanah Jawi ke dalam bahasa Belanda yang diterbitkan KITLV pada 1941.

Kiranya, arkeologi Jawa tak bakal pernah selesai dan etnologi terus mengulurkan kegelisahan dan antusiasme bagi sejarawan. Dan, Purwadi, dengan atmosfer ensiklopedia Jawa di lidah dan batinnya, akan terus bergerak menembus geriap peristiwa di pedalaman masa.

*) Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Leave a Reply

Bahasa ยป