Tarian Terakhir Seniman Tanah Air

Anwar Siswadi
tempointeraktif.com

Suasana pertunjukan langsung menyambut begitu pintu depan dibuka. Gelap menyergap. Jalan masuk hanya diterangi pendar 11 lilin yang dibariskan memanjang dua lajur di lantai. Di ujungnya, seorang perempuan membungkuk tak bergerak. Badannya condong ke depan sambil kedua tangannya memegang tangkai pacul yang lebih panjang dari ukuran umumnya.

Selangkah dari situ, sosok-sosok lain ikut menghadang. Di dalam kotak kayu, seorang lelaki berkaca mata hitam terbujur beku di pintu masuk tempat pertunjukan. Tubuhnya berselimut tanah. Sebuah tonggak kayu salib terpancang di ujung kaki.

Tepat di atasnya, sepasang kaki bersepatu boots menjuntai. Pemiliknya, seorang perempuan berambut ikal dan berkaca mata hitam, duduk tenang sembari merokok. Tergantung dua meter di atas papan seperti ayunan, lampu sorot hijau menyirami tubuhnya yang dibalut pakaian ketat dan selendang berbulu.

Pertunjukan dimulai setelah puluhan kursi penonton yang diletakkan berhadapan terisi penuh. Lampu dimatikan. Selang sekian detik, cahaya terang menyorot penuh ke lelaki tua yang berikat kepala batik. Tubuh kurusnya dibalut kaus putih berlapis baju lengan panjang dan celana batik coklat. Di sampingnya, Mimi (diperankan penari Ine Arini) melintas perlahan sambil menyeret pacul.

“Kita ini seperti para biksu. Berkeliling jalan kaki kemana-mana menyuarakan kemanusiaan sambil membawa cawan pengasihan untuk sekedar hidup,” kata Mama (lelaki tua) yang diperankan aktor teater gaek Mohamad Sunjaya.

Ucapan tokoh teater almarhum Suyatna Anirun tentang nasib seniman Tanah Air itu membuka lakon satu babak berjudul Tarian Terakhir. Tanpa panggung, kelompok teater Actors Unlimited (AUL) dan Studio Pohaci memanfaatkan lantai Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran sebagai arena pentas. Minggu (28/6) lalu, pertunjukan itu digelar dua kali pada sore dan malam hari.

Tarian Terakhir berkisah tentang nasib seniman tari dan teater di negeri ini. Lewat sosok Mama (pemain teater) dan Mimi (penari topeng), sepasang suami istri itu sepakat mencurahkan hidupnya untuk seni. Tapi kesenian yang digeluti hingga usia senja itu tak cukup menghidupi mereka. Kemiskinan membuat kaki mereka berjalan gamang di dunia pentas dan kehidupan sehari-hari.

“Jadilah selebriti!” teriak perempuan yang duduk tergantung. Mama menampiknya. Baginya hidup gemerlap, berlimpah, dan diliput media massa untuk diperdagangkan bukanlah pilihan. “Tidak untuk kepalsuan semacam itu,” katanya. Alunan seruling dan petikan gitar kemudian menyelinap, mengantar penggalan sajak “Pada Senja Pukul Lima” karya penyair sekaligus aktivis Frederico Garcia Lorca yang berkisah tentang kebebasan Spanyol dari rezim fasis.

Dialog Mama dan perempuan yang duduk tergantung, kembali ke pergulatan semula. Seniman, kata Mama, tak tepat benar disebut biksu seperti kata Suyatna Anirun, melainkan manusia biasa. Tapi seniman yang ingin hidup seperti orang kebanyakan pun ternyata tak bisa menjadi orang biasa.

Sutradara Fathul A.Husein cukup lihai mengolah naskah yang dibuat Herry Dim itu menjadi bahasa pertunjukan yang empuk dikunyah, pun tak membosankan. Bahkan peran Mimi yang dialognya dengan Mama banyak “diambil” perempuan di papan tergantung, tetap berbicara dengan gerak tubuhnya.

Kemunculan dua pengemis dan pemabuk yang diperankan alami dan bertenaga oleh Dedy Koral dan Indrasitas, memberi kesegaran alur di tengah pertunjukan. Dialog keduanya juga menambah tekanan titik sentral cerita. Penguatan itu sama seperti adegan Raja Lear dari naskah William Shakespeare yang ikut diselipkan sutradara. Raja yang pernah berjaya dan membagikan kekuasannya kepada manusia itu akhirnya dicampakkan oleh kehidupan di masa tua.

Dalam pementasan sekitar 1 jam itu, tak banyak perangkat yang diusung Diyanto sebagai pimpinan artistik dan penata pentas Udin Ganda serta M.Tavip. Selain papan gantung dan kotak mayat beroda, dua kotak kayu bertangga yang ditempatkan di tengah dan belakang digunakan sebagai panggung kecil. Properti itu sekaligus menjadi tempat tidur Mama.

Kisah kelam seniman itu didekatkan ke penonton dengan pengaturan kursi yang mengapit ruang gerak pemain, nyaris tak berjarak. Dikelilingi kain putih, pembatas di sisi latar belakang itu juga difungsikan sebagai layar untuk permainan siluet. Imajinasi penonton dituntun ke adegan pengejaran perampok yang riuh oleh bunyi derap sepatu, teriakan, dan radio panggil polisi.

Perampok itu ternyata Mama, yang pulang dengan timah panas di tubuhnya. Mimi, sambil membisu, membenamkan seluruh peralatan tari topengnya di halaman belakang setelah melakukan ritual tarian terakhir. Langkah kakinya meninggalkan Mama yang tergeletak mati sendiri. Itulah akhir kehidupan seniman yang seperti biksu tapi dekat pula dengan iblis.

Lakon Tarian Terakhir adalah satu dari kumpulan antologi 3 drama, libreto dan metateater dalam buku Pengadilan Jawinul karya Herry Dim. Naskah yang dibuat pada 2007-2008 itu juga sebagai bentuk penghargaan untuk mendiang Suyatna Anirun. Naskah itu akhirnya diserahkan secara pribadi kepada Yusef Muldiana, salah seorang aktor dan sutradara teater di Bandung sebagai tanda hormat atas kesungguhan dan kesetiaannya kepada teater.

Menurut Herry Dim, permainan mereka di Bandung terasa lebih total ketimbang saat memulai pementasan di Bentara Budaya Jakarta tiga hari sebelumnya. Jarak dinding aula Unpad dengan area pertunjukan membuat cahaya dan suara bisa ikut tampil optimal. “Jadi lebih bebas mainnya,” kata pelukis itu seusai pentas.

Setelah pemilihan umum 8 Juli, kata dia, lakon itu akan kembali dipentaskan di Bandung dan Jakarta.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป