9 Pertanyaan untuk Zara Zettira ZR: Menulis adalah Kebutuhan

Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com

SATU dekade menghilang dari dunia kepenulisan di Tanah Air, kini Zara Zettira ZR kembali hadir bagi para pembacanya. Roda waktu yang berputar selama 10 tahun tak mampu menggerus pesona ibu dua anak ini. Zara masih seperti dulu: cantik, langsing, dan penuh kelembutan.

Zara yang sore itu terlihat anggun dibalut kebaya putih bertutur bahwa dirinya tidak absen 100 persen dari dunia kepenulisan. Waktu satu dekade itu ia habiskan untuk membuat karya dalam bentuk skenario. Ternyata skenario tak mampu menampung hasrat Zara untuk berbagi. Mantan model era 80-an ini merasa bisa berhubungan lebih intim dengan pembacanya melalui novel.

Tanpa melalui pergulatan panjang, Zara pun kembali ke “kekasih” lamanya dan lahirlah Cerita Dalam Keheningan dan Samsara. Dua novel yang mengangkat cinta sebagai tema besar tersebut merupakan cuplikan perjalanan hidup Zara. Berikut petikan obrolan dengannya di Restoran Harum Manis, Jakarta, beberapa waktu lalu.

1. Ke mana saja Anda selama 10 tahun belakangan ini?
Sebenarnya saya tidak 100 persen berhenti menjadi penulis. Selama sepuluh tahun saya produktif menulis skenario untuk sinetron. Menulis skenario menjadi rutinitas saya sehari, di samping mengantar-jemput anak-anak ke/dari sekolah. Dalam sehari saya bisa menghasilkan tiga episode untuk beberapa judul sinetron.

Lambat laun saya mulai merasa tidak cocok dengan ritme kerja penulis skenario yang harus bergelut dengan deadline. Belum lagi dari segi cerita, saya harus berkompromi dengan banyak pihak seperti produser, stasiun televisi, dan penonton. Saya jadi merasa kehilangan independensi sebagai seorang penulis. Tidak ada lagi kenikmatan berkarya yang saya rasakan. Sampai pada satu titik, saya pun memutuskan untuk berhenti dan kembali menulis novel dan lahirlah Cerita Dalam Keheningan dan Samsara.

2. Ceritakan mengenai karya terbaru Anda itu?
Samsara merupakan rangkaian pengalaman spiritual saya. Selama 40 tahun menjalani kehidupan, banyak kisah yang sudah saya alami dan sebagai penulis saya merasa berdosa bila tidak membagi pengalaman itu dengan para pembaca saya.

Inti cerita Samsara sebenarnya sama dengan karya-karya saya sebelumnya yaitu cinta. Bila pada Cerita Dalam Keheningan saya menceritakan hubungan anak dengan ayah, maka dalam Samsara saya bertutur mengenai hubungan anak dan ibu.

Dalam Samsara saya mencoba mengulas mengenai takdir dari perspektif Jawa. Saya percaya, sudah ada garis yang mengatur hidup manusia dan kita semua tinggal menjalaninya. Banyak orang berpikir bahwa orang miskin atau penderita kanker harus berjuang untuk bertahan hidup, padahal untuk mencapai kematian pun bukan sesuatu yang gampang. Banyak orang berkali-kali berusaha bunuh diri namun gagal.

3. Apa yang membuat Anda tertarik mengangkat budaya Jawa dalam Samsara?
Meski dalam tubuh saya hanya mengalir 25 persen darah Jawa. Namun, sejak kecil saya sudah akrab dengan budaya Jawa, bahkan banyak orang mengira saya orang Jawa. Semua itu bermula dari kedekatan saya dengan pengasuh di rumah atau yang sering dipanggil Si Mbok. Nilai-nilai Jawa yang beliau tanamkan melekat pada alam bawah sadar saya dan terbawa hingga saat ini. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengkaji lebih jauh tentang budaya Jawa, namun karena keterbatasan waktu saya baru bisa melakukannya sekarang.

4. Sekian lama absen menulis novel, apakah Anda merasa canggung saat memulainya kembali
Sama sekali tidak, karena meski tidak menulis novel saya tetap membuat catatan tentang ide-ide yang ingin ditulis. Selain itu, saya juga rajin menulis pengalaman dalam buku harian. Bahkan, di antara karya yang saya hasilkan, saya merasa tulisan dalam catatan harian merupakan karya terbaik karena dibuat dengan jujur dan merdeka.

5. Anda memiliki waktu khusus untuk menulis?
Selama 30 tahun lebih berkecimpung di dunia kepenulisan membuat menulis menjadi sebuah kebutuhan bagi saya. Ada sesuatu yang hilang dalam diri saya bila sehari saja tidak menulis. Bentuk tulisan itu bisa bermacam-macam, bisa cerita pendek, novel, skenario atau sekadar catatan harian. Boleh percaya atau tidak, dalam sehari saya bisa menulis catatan harian sepanjang 10 halaman.

6. Apa Anda pernah mengalami mati ide?
Alhamdulillah, sampai saat ini saya belum pernah mengalami mati ide. Banyak ide yang muncul di kepala saya, sayang tidak semuanya bisa ditulis karena keterbatasan waktu. Dalam sehari saya bisa menghasilkan tiga episode dari beberapa sinetron dengan judul berbeda. Satu episode itu panjangnya sekitar 55-65 halaman. Bahkan, kalau aku suka dengan ceritanya sehari aku bisa menulis sampai lima episode. Begitu pula dengan novel, cerita pendek atau cerita bersambung.

7. Apakah Anda setuju dengan dikotomi novel populer dan novel sastra?
Sebenarnya saya kurang sepakat dengan pengotak-ngotakan itu. Tetapi dalam kenyataan penulis tidak bisa menghindari pemberian label novel sastra atau novel populer pada karyanya. Saya sendiri membebaskan pembaca membuat pengategorian untuk karya saya.

Saya tidak keberatan bila karya saya disebut novel populer karena karya saya memang dibungkus oleh cerita dan bahasa yang dekat dengan keseharian. Menurut saya, karya yang membumi membuat pembacanya merasa dekat sehingga mereka bisa becermin, bukan merasa digurui.

8. Bagaimana Anda melihat dunia kepenulisan saat ini?
Menggembirakan. Dunia kepenulisan saat ini jauh lebih semarak dibandingkan dengan masa awal saya menulis. Munculnya banyak penulis baru memberi ragam dan warna, sehingga pembaca bisa memilih mana karya yang sesuai dengan seleranya.

Pengembangan budaya membaca dan menulis sangat penting bagi kelangsungan sebuah bangsa. Tanpa dua hal itu, sebuah negeri rasanya akan sulit untuk berkembang. Apalagi era teknologi menuntut manusia berhubungan lebih sering dengan tulisan.

9. Apa kesibukan Anda selain menulis?
Saya menghabiskan waktu bersama keluarga kecil, suami, dan dua anak. Menyenangkan sekali. Kami sekeluarga tinggal di Caledon, dengan luas tanah sekitar empat hektare. Caledon itu adalah dataran tinggi dengan pemandangan indah. Kalau cuaca cerah, Toronto Tower keliatan dari situ. Tempatnya masih segar. Sering ada rusa ngintip-ngintip dan cayote (sejenis anjing hutan) melolong-lolong kalau malam. Burung tiap pagi berkicau depan jendela. Tupai suka jalan-jalan di bingkai jendela. Saya memang memilih tinggal di lingkungan yang masih alami, saat anak-anak bebas lari-lari tanpa perlu takut ketabrak mobil. Sesekali kami sekeluarga pulang ke Indonesia, biasanya pas anak-anak liburan. Kesempatan pulang selalu kumanfaatkan bertemu dengan kerabat dan para sahabat.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป