Indra Tranggono
jawapos.com
DONGENG telah memukau kita sejak anak-anak hingga masa tua. Kita ingat ketika kakek-nenek atau ayah-ibu bercerita tentang Timun Emas, Kancil Nyolong Timun, Buto Ijo, Sangkuriang, dan lainnya. Melalui narasi-narasi lisan itu, kita diajak memasuki jagat petualangan yang indah. Kita pun dapat mengenali berbagai watak tokoh. Saking menariknya watak mereka, tokoh-tokoh itu seperti benar-benar ada dan begitu dekat dengan kita. Bahkan, hingga hari ini mereka masih ngendon da?lam pita ingatan kita.
Mungkin, hal itu terjadi karena si pendongeng memang piawai merangkai kisah, menghadirkan tokoh dengan sangat ekspresif, dan mampu menghadirkan teater di dalam kepala kita. Dengan begitu, serangkaian peristiwa dramatik itu mampu menggores, menggedor, dan menggugah jiwa kita. Atau juga, pada dasarnya, manusia itu suka didongengi dan suka ngobrol, suka ngrumpi, dan lainnya. Karena itulah, budaya lisan hingga kini tetap kuat di masyarakat. Padahal, kini kita sudah memasuki budaya tulis dan visual. Masih kuatnya budaya lisan, antara lain, tampak dari tradisi menggunjing yang direpresentasikan dalam acara-acara infotainment di televisi.
Namun, yang jauh lebih bernilai pada dongeng adalah visi dan kontennya yang diam-diam telah meng-install sikap dan pandangan kita tentang nilai-nilai dan moralitas. Kita sejak kecil mengenal nilai-nilai baik dan buruk, jujur dan jahat, keindahan dan kebusukan, ketulusan dan keculasan, dan seterusnya. Pendek kata, ada wisdom di sana, yang diam-diam ikut membangun jiwa dan watak kita. Kita pun mengutuk tokoh Kancil karena ia culas dan selalu memperdayai binatang lainnya demi tujuan-tujuan pragmatis. Kita simpati kepada tokoh raksasa Buto Ijo yang ternyata mampu membedakan kejujuran dan kelicikan dalam cerita Bawang Merah dan Bawah Putih. Bawang Putih, tokoh yang rajin bekerja dan jujur, akhirnya tidak jadi dimangsa Buto Ijo. Dia justru diberi sekotak perhiasan emas. Sebaliknya, Bawang Merah yang culas mendapatkan ”hadiah” berupa ular, ketong?geng, lipan, dan binatang berbisa lain. Dongeng Buto Ijo diam-diam mengajari kita tentang kejujuran dan etos kerja.
***
Dongeng merupakan unsur kebudayaan yang terkandung di dalam kearifan lokal (local wisdom) dan dimiliki setiap suku bangsa atau komunitas sosial-budaya. Dongeng diciptakan para genius lokal sebagai media untuk mengawetkan nilai-nilai budaya tradisi lokal. Selain dongeng, hal-hal lain yang terkandung di dalam kearifan lokal adalah teater tradisional, upacara adat, dan pitutur atau nasihat. Misalnya, kita dilarang meludahi sumur. Jika nekat dilakukan, bibir kita akan sumbing.
Antropolog UGM Heddy Shri Ahimsa-Putra (2008) mengartikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan dan praktik-praktik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya dan dari pengalaman yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat. Kearifan lokal dimiliki suatu komunitas di suatu tempat yang berfungsi untuk menyelesaikan berbagai persoalan atau kesulitan yang dihadapi secara baik dan benar.
Wujud kearifan lokal berupa pengetahuan dan praktik-praktik berupa pola-pola interaksi dan pola tindakan. Pengetahuan berimplikasi pada teori dan metodologi. Teori teranyam melalui landasan filosofis. Metodologi teranyam melalui metode untuk menemukan, memaparkan, dan menganalisis objek yang diteliti.
Dalam kearifan lokal, ilmu pengetahuan terkandung dalam bahasa lokal komunitas setempat.
Selama ini, makna kearifan lokal sering disamakan dengan local genius. Padahal, dua terminologi itu memiliki perbedaan makna. Kearifan lokal merupakan pengetahuan (nilai) dan praktik kebudayaan suatu komunitas. Sedangkan local genius adalah subjek atau pelaku/pencipta kebudayaan lokal. Termasuk kearifan lokal.
Kearifan lokal mengorientasikan kita kepada jati diri sebagai bangsa. Ia memberi kita identitas atau karakter yang membuat kita memiliki nilai yang berbeda dengan bangsa lain. Dengan identitas/karakter itu, secara kebudayaan, kita menjadi memiliki alamat yang jelas.
Selain itu, kearifan lokal menjadi sumber nilai-nilai kehidupan dan pengetahuan bagi masyarakat yang mendukungnya. Pada dimensi nilai-nilai, kearifan lokal merupakan orientasi etik, moral, dan estetik. Sedangkan pada dimensi pengetahuan, kearifan lokal memberikan perangkat ilmu yang berguna di dalam hajat hidup yang terkait dengan tantangan alam dan kebudayaan. Dengan nilai dan pengetahuan itu, kita terdorong untuk melakukan mobilitas vertikal-horizontal menjadi masyarakat/bangsa yang beradab.
***
Kini, ketika pragmatisme semakin menguat, kita semakin kehilangan dongeng, teater tradisi, upacara adat, dan berbagai pitutur. Pragmatisme mendorong kita hanya peduli pada kebutuhan jangka pendek. Kita terjebak di dalam pusarannya dan hanya mendapatkan buih-buih peradaban yang kita sangka sebagai substansi. Kita semakin kesulitan untuk membedakan antara nilai dan hal-hal yang artifisial. Kita semakin tidak hirau dengan identitas/karakter dan martabat bangsa dan rela menjadi bangsa yang merasa gagah untuk selalu bergantung kepada IMF, kepada kapitalisme. Padahal, mereka tidak memberikan nilai tambah apa pun secara kebudayaan. Justru sebaliknya, kita semakin tergerus dan hanya menjadi eksemplar di antara jutaan eksemplar manusia yang mereka bentuk dalam mesin bernama industrialisme.
Jika pragmatisme menolak idealisme, hal itu memang merupakan watak dasar dari sono-nya. Pragmatisme berasal dari bahasa Latin pragmaticus: praktis, aktif, dan sibuk. Dalam bahasa Yunani, pragma berarti bisnis. Filsafat pragmatisme tumbuh di Amerika Serikat dan ditumbuhkan William James (1842-1910) melalui buku Pragmatism. Pokok ajaran (kebenaran pragmatisme)-nya, sebuah kepercayaan itu dinilai benar jika berguna. Ukuran dari kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuan. Pragmatisme menolak pandangan tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis yang dianggap tidak berguna dalam kehidupan praktis (Kuntowijoyo: 2005).
***
Dengan memanfaatkan pragmatisme, kapitalisme telah mengerkah dan menggerus budaya lokal atau lokalisme kita. Sebab, lokalisme dipandang sebagai gangguan dan kendala yang paling serius bagi kapitalisme dalam memperluas kerakusannya melalui praktik pasar bebas. Pasar bebas yang menghendaki segalanya serbaseragam (cara berpikir, impian, kebutuhan, gaya hidup, dan lainnya) selalu bertentangan dengan budaya lokal yang mengutamakan identitas/watak/kepribadian.
Karena itu, tanpa sadar, berbagai produk budaya lokal kini semakin sekarat. Dongeng sudah digantikan sinetron yang kualitasnya buruk. Kesenian tradisional digantikan produk-produk budaya massa yang hanya menyodorkan pendangkalan makna. Celakanya, negara hanya diam. Negara tidak berusaha secara serius untuk memproteksi budaya lokal. Negara baru kaget setelah karya-karya budaya kita diklaim bangsa lain. Ironis. Negara selama ini melakukan apa?
***
*) Pemerhati budaya dan cerpenis, tinggal di Jogja.