Idul Fitri, Saling Memaafkan dan Kemajemukan

Said Aqiel Siradj*
http://www.jurnalnasional.com/

Bulan Ramadhan akan berlalu. Kini, saatnya kita merayakan Idul Fitri atau dalam tradisi kita disebut lebaran. Pada momentum ini kita tersadarkan bahwa kita kembali pada fitrah kita yang suci. Ini adalah pembuktian bahwa manusia selalu memiliki kecenderungan pada kebaikan dan kebenaran dengan fitrah awalnya yang bersifat alami. Dan kejahatan, kekerasan atau terorisme pada dasarnya bertentangan dengan fitrah manusia, karenanya tidak alami.

Saling Memaafkan
Kembali pada kesucian – yang disimbolkan oleh adanya maaf dari Allah – perlu kita sempurnakan dengan maaf dari manusia. Dalam Islam, ada yang disebut hak Allah (haqqullah) dan hak manusia (haqqul adami). Dosa kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia. Puasa Ramadhan merupakan pelatihan diri dan wahana menebus dosa kepada Allah. Sedangkan kesalahan kepada manusia harus melalui permintaan maaf secara langsung kepada yang bersangkutan. Maka, perkataan “mohon maaf lahir dan batin” sesungguhnya merupakan bentuk pelaksanaan dari hak manusia. Disitulah, kaitan antara ungkapan minal a’idzin wal faizin yang berdimensi vertikal dengan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang berdimensi horisontal.

Ajaran Islam sangat menekankan pada sikap saling memaafkan. Sebab, dari sinilah kehidupan kemasyarakatan yang sehat bisa dimulai. Jika suatu masyarakat telah tumbuh saling curiga, kekerasan dan semangat balas dendam, maka suatu pertanda bahwa masyarakat tersebut sedang sakit. Proses penyembuhannya tidak lain harus dilalui dengan cara damai melalui sikap saling memaafkan. Dengan cara itu, manusia bisa saling mengenal secara baik kultur kehidupan masing-masing individu atau kelompok untuk kemudian dicarikan penyelesaian terbaik.

Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad sering digambarkan, betapapun beliau sering diperlakukan secara dzalim, beliau toh tetap memaafkan kezaliman para pelakunya. Salah satu sikap yang mengesankan banyak orientalis adalah ketika terjadi “Fathu Makkah” (pembebasan kota Mekkah) dan Nabi memperoleh kemenangan. Disanalah, beliau menunjukkan teladan puncak akhlak kaum Muslimin (matsal al-a’la) dengan memaafkan kezaliman kaum Quraisy Mekkah yang selama bertahun-tahun beliau hidup di Mekkah dulu, hidupnya diboikot dan pengikutnya dianiaya, malah ada yang dibunuh. Namun, beliau sama sekali tidak menyimpan dendam dan mengembangkan permusuhan. Dan ketika kemenangan ada ditangan beliau, justru kesempatan itu tidaklah digunakan untuk menghukum musuhnya, apalagi sebagai ajang balas dendam.

Kemajemukan
Ada lagi yang menarik di balik gebyar lebaran, yaitu pertemuan antara budaya lokal dan ritus keagamaan. Islam memang tidak berkembang secara tekstual-normatif saja, tapi juga berkembang dalam masyarakat pendukungnya dalam konteks kebudayaan aktual. Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Tapi, perayaan besar Idul Fitri di negeri kita menjelma sebagai bentuk manifestasi perilaku budaya yang khusus. Ada proses integrasi budaya dan Islam dalam bentuk yang saling menguatkan. Budaya Islam dijadikan simbol bagi penguatan moralitas masyarakat kita dengan memberikan tafsir moralitas hubungan vertikal manusia-Tuhan melalui ritual keagamaan.

Kita bisa saksikan perkembangan ritus agama akibat semisal pengaruh budaya Jawa. Di bulan Ramadhan contohnya kebiasaan nyekar (nyadran), mengintensifkan membaca al-Quran (tadarus), ruwahan (diartikan sebagai komunikasi dengan ruh), turunnya lailatul qadar sebagai hilangnya sukerta (produk ruwatan, untuk menghilangkan dosa-dosa manusia). Sementara, dalam merayakan Idul Fitri di berbagai daerah juga terdapat ragam tradisi penyambutannya. Hubungan Islam dan budaya ini seperti digambarkan oleh Andre Muller sebagai hangat dan mesra, dan ritus keagamaan diibaratkan sebagai “sepotong surga” yang dapat dinikmati semua umat yang mau berdekatan dengan ilahi.

Pemahaman tentang Islam dalam konteks kebudayaan ini tidak terpisah. Pengembangan ajaran Islam dan budaya pendukungnya bukan berarti merendahkan atau memisahkannya dengan Islam sejati, tetapi justru membuat ajaran Islam makin membumi dalam kehidupan nyata. Pandangan yang memisahkan ajaran Islam dan budaya lokal telah mengakibatkan peribadatan mengalami marginalisasi secara sistematis. Pandangan pemisahan ini saat ini digerakkan oleh kelompok-kelompok “Islam transnasional” yang berpandangan sangat puritan sehingga memisahkan secara tegas Islam dengan budaya oleh karena dipandang sebagai Takhayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC). Sikap seperti ini pada gilirannya bisa memompa pemahaman dan tindakan radikalisme agama.

Padahal, faktanya ajaran Islam tidak pernah tumbuh dalam sebuah ruang sosial yang steril. Sebaliknya, Islam selalu berasosiasi dengan masyarakat lokal. Ajaran Islam ternyata menjadi milik umat manusia untuk membangun peradabannya, tumbuh melintasi batas-batas budaya, etnis, bahkan kelas sosial. Inilah wujud dari pluralitas keberagamaan. Dan Islam adalah rahmatan lil alamin.

Nah, Idul Fitri hadir setiap tahun dan sungguh merugi apabila kita dalam merayakannya hanya menjadikannya seremonial belaka, tanpa ada ikhtiar untuk meningkatkan penyadaran diri. Ritus agama bukanlah “pepesan kosong”, melainkan senantiasa menyimpan kekuatan mendidik (tarbiyah) dan melatih secara konstruktif bagi manusia (tashfiyah al-qalb). Bangsa kita yang tengah diterpa berbagai tantangan ini, sudah saatnya melahirkan pribadi-pribadi yang bersih, peduli, santun, anti kekerasan dan sikap toleransi untuk turut serta dalam pembangunan menuju kemakmuran dan keadilan.

*) Ketua PBNU

Leave a Reply

Bahasa ยป