Mahmud Jauhari Ali
Dewasa ini sudah sangat banyak karya sastra yang diciptakan oleh para sastrawan Kalsel. Karya-karya sastra yang diciptakan itu mencakup semua genre sastra. Lihat saja betapa banyaknya puisi-puisi yang dihasilkan oleh penyair-penyair Kalimantan Selatan. Penyair-penyair yang saya maksud itu mencakup penyair senior dari angkatan-angkatan terdahulu dan penyair angkatan terbaru “angkatan 2000” yang tak kalah produktifnya. Sebut saja Hamami Adaby, Arsyad Indradi, dan Micky Hidayat yang merupakan penyair-penyair dari angkatan terdahulu. Sedangkan penyair angkatan 2000 seperti Isoer Luweng dan M. Nahdiansyah Abdi. Semuanya menciptakan puisi dengan bermediakan bahasa.
Begitu pula dengan cerpen, pada saat ini di Kalimantan Selatan dengan mudah kita temukan dan kita baca cerpen-cerpen karya cerpenis Kalimantan Selatan. Cerpen-cerpen itu dapat kita temukan baik dalam bentuk cerpen koran, maupun dalam bentuk buku kumpulan cerpen. Nama-nama yang berkaitan dengan cerpen ini seperti Jamal T. Suryanata, Tajuddin Noor Ganie, dan Zulfaisal Putera yang semuanya kreatif menghasilkan cerpen hingga saat ini dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Selain cerpenis senior di atas, cerpenis dari angkatan 2000 seperti Harie Insani Putera, Hajriansyah, dan Dewi Alfianti juga ikut mewarnai sastra Kalsel dengan karya-karya mereka. Pada intinya, karya-karya sastra yang dihasilkan oleh makhluk seni sastra yang disebut sastrawan ini membutuhkan adanya bahasa dalam hal berimajinasi dan berkreativitas. Inilah yang selama ini menjadi anggapan orang pada umumnya jika berbicara tentang hubungan bahasa dan sastra.
Akan tetapi, pernahkah kita berpikir bahwa sebenarnya bahasa yang menjadi media dalam karya sastra itu juga membutuhkan sastra dalam pelestariannya? Pada bagian awal tadi jelas saya katakan bahwa sastralah yang membutuhkan bahasa sebagai medianya mulai dari proses penciptaannya sampai kepada para penikmatnya (masyarakat pembaca). Dengan kata lain, para sastrawan, seperti penyair, cerpenis, novelis, dan esais harus bermodalkan kecerdasan dan kematangan linguitik (bahasa) untuk dapat berkarya sastra. Hal ini memang benar, tetapi harus ada satu catatan penting bahwa sebenarnya bahasa juga membutuhkan sastra dalam pelestariannya. Inilah hubungan bahasa dan sastra yang sesungguhnya, yakni adanya hubungan timbal-balik yang menguntungkan antara keduanya.
Lebih jelasnya adalah bahwa dengan digunakannya bahasa tertentu dalam karya sastra, berarti bahasa tertentu tersebut juga ikut dilestarikan oleh sastrawan yang bersangkutan. Misalnya bahasa Banjar atau bahasa Indonesia digunakan dalam karya sastra jenis cerpen, berarti bahasa Banjar atau bahasa Indonesia juga ikut dilestarikan oleh para sastrawan melalui cerpen tersebut. Melihat hal ini, sebenarnya para sastrawan Kalimantan Selatan selama ini telah ikut berjuang melestarikan bahasa Banjar dan bahasa Indonesia melalui karya-karya sastra yang mereka ciptakan.
Dapat pula kita katakan penciptaan karya sastra juga sekaligus menjadi pendokumentasian bahasa tertentu. Bahasa-bahasa yang digunakan secara tertulis dalam karya sastra secara otomatis didokumentasikan pula oleh para sastrawan. Sebagai contoh, bahasa Indonesia yang digunakan secara tertulis dalam cerpen berjudul “Lelaki Pemburu Petir” sekaligus juga didokumentasikan oleh Hajriansyah sebagai pengarangnya dalam cerpen tersebut. Dalam kaitannya dengan hal ini, sastrawan Kalimantan Selatan juga dengan sendirinya memiliki tanggung jawab moral yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia dan daerah secara benar guna pelestarian bahasa yang mereka gunakan tersebut.
Hal-hal di atas menjadi bukti bahwa para sastrawan Kalimantan Selatan, baik yang bergerak dalam puisi, prosa piksi, esai, dan drama (teater) telah berkontribusi dalam usaha pelestarian bahasa Banjar dan bahasa Indonesia. Apa pun genre sastra yang diciptakan sastrawan dengan bermediakan bahasa tertentu, secara sadar dapat kita pahami pula bahwa bahasa tertentu yang digunakan itu dilestarikan sastrawan dalam penggunaannya dan juga didokumentasikan sastrawan untuk keperluan pelestariannya pada masa depan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas tadi, sudah saatnya kita memandang sastra tidak hanya sebagai salah satu bagian dari seni, tetapi juga kita pandang sebagai wujud kontribusi yang bermanfaat di bidang bahasa oleh para sastrawan. Ingatlah selalu bahwa hakikatnya antara bahasa dan sastra memiliki hubungan yang erat, yakni saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) karena keduanya saling membutuhkan. Karena itu pulalah, bahasa dan sastra jangan pula kita pandang sebelah mata. Kita semua harus senantiasa secara maksimal memberikan perhatian terhadap perkembangan bahasa dan sastra di Kalimanan Selatan. Hal ini perlu kita lakukan karena bagaimana pun, bahasa dan sastra merupakan bagian dari bangsa kita. Sebagai warga negara yang baik kita tentu tidak cukup hanya wajib membayar pajak, tetapi kita juga wajib memajukan negara ini. Salah satu usaha memajukan negara ini adalah dengan berusaha memajukan bidang-bidang kehidupan yang menjadi bagian dari negara kita. Bahasa dan sastra adalah termasuk bidang kehidupan yang menjadi bagian dari negara kita yang besar ini. Oleh karena itulah, mari kita memajukan bahasa dan sastra guna memajukan negara yang kita cintai bersama. Bagaimana menurut Anda?
***