Langkah Sastra Banyumas

Sigit Emwe*
http://www.kr.co.id/

Tulisan ini adalah kegelisahanku dalam merindukan kekasih kerinduan untuk bercengkerama membicarakan kegetiran jiwa yang membuat ku tercabik dan berdarah aku mencoba menuangkan kegelisahan ini pada kanvas batinmu yang menganggapku sebagai kekasih semoga kegelisahan ini menumbuhkan rindu di hatimu agar kau-aku selalu terkenang oleh waktu (Diambil dari coretan harian dari seorang suami kepada istrinya) ***

Banyumas dan kesusastraan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Berbicara masalah Banyumas tentunya akan merujuk pada perkembangan Banyumas itu sendiri. Salah satu perkembangan yang menjadi sorotan adalah perkembangan kesusastraan Banyumas.

Banyak opini mengatakan kehidupan kesusastraan di Banyumas telah redup. Opini lain menyatakan iklim berkesusastraan Banyumas telah ?mati?. Sedemikian akutkah fenomena tersebut dalam iklim berkesusastraan di Banyumas?

Indikator yang sering dijadikan dasar fenomena meredupnya geliat berkesusastraan di Banyumas semakin sedikitnya para sastrawan Banyumas yang mampu bertarung di kancah nasional. Sehingga perkembangan kesusastraan Banyumas tidak dapat dipantau dari skala nasional. Hal inilah yang menyebabkan munculnya asumsi, perkembangan kesusastraan di Banyumas mulai terkikis.

Sebenarnya adanya stigma negatif tersebut mulai dirasakan oleh para sastrawan muda di Banyumas. Hal ini dapat dilihat dari upaya beberapa sastrawan muda Banyumas, dengan cara mengangkat wacana stagnasi kesusastraan Banyumas di berbagai media cetak.

Selain itu juga dengan cara meluncurkan beberapa buku antologi bersama baik cerpen maupun puisi. Langkah tersebut dilakukan agar mereka yang merasa sastrawan Banyumas ?tergugah kembali pada dunianya? untuk berkarya dan terus berkarya. Beberapa sastrawan muda Banyumas seperti; Heru Kurniawan, Teguh Trianton, telah mencoba menyuarakan keinginan untuk bersama-sama membumikan tradisi atau budaya berkesusastraan di Banyumas.

Tampaknya langkah Heru Kurniawan dan Teguh Trianton dalam rangka mengembalikan iklim berkesusastraan di Banyumas mulai diikuti oleh para seniman atau kreator di Banyumas. Iklim berkesusastraan di Banyumas perlahan-lahan mulai bangkit kembali. Hal ini dapat ditandai dengan menjamurnya komunitas-komunitas sastra dari yang serius hingga komunitas yang sekadar ?guyub sastra?.

Komunitas Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP) dan Komunitas Bunga Pustaka (BP) salah dua di antara komunitas sastra Banyumas yang mencoba untuk serius menggeluti sastra. Komunitas HTKP dengan agenda rutin menggelar bedah sastra antologi sendiri dan Bunga Pustaka dengan membuat Buletin Sastra Kampus.

Langkah-langkah tersebut mungkin hanya satu di antara ber-macam langkah mulia yang telah diagendakan untuk membumikan iklim berkesusastraan di Banyumas. Sayangnya langkah beberapa komunitas sastra di Banyumas masih terkotak pada sebatas intern komunitas, atau hanya sekadar antarkomunitas di Banyumas.

Sehingga mereka masih terkungkung pada ?dunia sempit? kehidupan bersastra. Jangan sampai sebutan ?sastrawan Banyumas, sastrawan besar, sastrawan kampus? atau apalah namanya menjadi suatu phobia. Hal ini tentu mengakibatkan sesuatu yang kurang sehat bahkan jika dibiarkan hal tersebut mampu ?membunuh? kreativitas kita.

Fenomena terkikisnya budaya berkesusastraan di Banyumas telah menggelitik hingga wilayah kampus di Banyumas. Salah satu lembaga pendidikan yang merasa ?tercabik? untuk membumikan intelektualitas menulis dan bersastra adalah STAIN Purwokerto. STAIN Purwokerto yang notabene tidak memiliki Fakultas Sastra ternyata begitu peduli terhadap perkembangan dunia kesusastraan di Banyumas.

Melalui STAIN Press Purwokerto didirikan sebuah ?Sekolah Kepenulisan? untuk penulis-penulis pemula. Untuk mendidik penulis pemula tersebut STAIN Press Purwokerto mendatangkan tentor-tentor yang kompeten di dalam bidangnya. Titik berat target pada Sekolah Kepenulisan menghasilkan karya. Oleh karena itu dibutuhkan tentor yang mampu memotivasi dan memberikan contoh kepada pesertanya.

Tentor yang dipanggil oleh STAIN Purwokerto adalah mereka yang benar-benar konsen pada dunia kepenulisan. Bukan lulusan sarjana sastra yang tidak mampu menghasilkan karya sastra apapun untuk didaulat sebagai tentor. Mungkin dalam hal ini STAIN Purwokerto teringat pada pepatah yang mengatakan ?lebih baik satu kali contoh daripada seribu nasihat?.

Dengan adanya Sekolah Kepenulisan diharapkan muncul penulis-penulis baru yang mampu mewakili kesusastraan Banyumas untuk berbicara di tingkat nasional. Sebenarnya langah-langkah konkret telah dilakukan oleh seniman, sastrawan dan budayawan Banyumas untuk membumikan kembali budaya berkesusastraan.

Tidak hanya itu bahkan lebih jauh lagi langkah yang ditempuh bertujuan untuk menggugah kembali budaya intelektual di Banyumas. Langkah-langkah ini telah dilakukan baik di kantong-kantong komunitas maupun di wilayah lembaga pendidikan. Bahkan di lembaga pendidikan tingkat SMP dan SMA budaya kerkesusastraan telah merambah melalui ekstra teater atau kesenian.

Semoga dengan langkah-langkah konkret tersebut budaya berkesusastraan atau budaya intelektualitas di Banyumas kembali berkembang. Sehingga kesusastraan Banyumas mampu berbicara baik di wilayah regional maupun nasional. Namun demikian jangan sampai terlupakan, bahwa stigma yang muncul dengan adanya stagnasi kesusastraan di Banyumas adalah dilihat dari kacamata nasional.

Dalam hal ini, tentunya peran media cetak sebagai wahana sosialisasi dan indikator berkembangnya kesusastraan di Banyumas menjadi hal yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu sebagai diri yang merasa memiliki ?kehidupan berkesusastraan? di Banyumas, marilah senantiasa untuk membumikan budaya berkesusastraan dan budaya intelektual. Langkah yang paling tepat berkarya dan terus berkarya. Jadikan media cetak sebagai corong untuk mengatakan ?Kehidupan kesusastraan Banyumas tak pernah mati?.

*) Pemerhati budaya sekaligus pekerja seni yang tinggal di Purbalingga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *