Tarpin A. Nasri
http://www.lampungpost.com/
SUNGGUH! Tak kuduga sedikit pun jika perjalanan hidupku akan menjadi indah seperti sekarang ini. Awalnya kukira ini sebuah mimpi, bahkan keajaiban. Ternyata bukan!
Aku terlahir sebagai anak kampung yang miskin, berpendidikan cekak, tergerak naik dari karyawan rendahan menjadi karyawan level menengah. Meski jauh dari ganteng, akhirnya aku ditembak dan dijadikan soulmate-nya Andi Vrizka Soraya Putri.
Vrizka Soraya begitu aku memanggilnya. Doi adalah wanita cantik berusia mendekati empat puluh tahunan, sugih, dari kalangan baik-baik, berkarier cemerlang, rendah hati, dan tidak materialistis.
Karena ini seperti dalam mimpi, aku sempat bertanya beberapa kali tentang keajaiban ini kepada Riris-panggilan mesra dan sayangku kepadanya, selain Vrizka Soraya-dalam sebuah apel yang asyik, beradab dan terlaksana indah di bawah siraman purnama sidhi. Kami saat itu ngobrol di beranda rumah. Angin malam semilir menerpa dedaunan di taman yang cantik, indah, dan asri.
“Apa sih yang kau cari dariku, Ris? Aku bukan eksekutif perusahaan yang tajir dengan jabatan yang mengilap. Lagi pula wajahku juga tidak ganteng-ganteng amat. Jangan-jangan ada yang salah dengan matamu. Jangan-jangan kau tak cukup punya bahan tentangku untuk diolah menjadi sebuah keputusan yang akurat!”
Ningrat Sulawesi yang besar di Jakarta itu tersenyum. “Sepertinya pertanyaan itu sudah selusin kali kau lontarkan kepadaku, dan jawabanku, pasti sama, “Gak ada yang salah dari mataku, bahkan aku yakin “bahan” tentangmu untuk aku olah jadi keputusan sudah sangat melimpah. Kenapa, Cinta? Ada apa lagi denganmu, Sayang? Koq tiba-tiba malam ini dirimu jadi aneh?”
“Semoga tidak ada yang salah, Dinda,” ujarku. “Kanda cuma mengingatkan, jangan sampai ada sesal di akhir nanti, karena kau salah melihat dan keliru mengambil keputusan terpenting dalam hidupmu, Honey! Karena Kanda ingin sekali menikah denganmu untuk seumur hidup! Semoga Dinda tidak salah menentukan pilihan!”
“Aku percaya, Tuhan sengaja mempertemukan aku denganmu ketika usia kita sudah tidak muda lagi. Aku sudah tua lho. Sudah kepala empat, bahkan sudah lewat beberapa bulan. Aku sudah 40 plus, Sayang.”
“Kau tidak tua, akan tetapi matang, Sayang,” jawabku. “Memang kenapa dengan usiamu yang 40 tahun lebih itu, Dinda?”
Pertanyaanku disambut dengan tanya. Aku gemas dibuatnya. “Aku mau tanya dan sekadar mengingatkan kembali,” kata dia. “Gak menyesalkah kamu dapat perawan tua sepertiku, Honey?”
Aku gesit menjawab, “Tak ada setitik pun sesal di hatiku, ketika jodohku harus bertaut denganmu di usia yang tidak lagi remaja, My Darling!”
“Sungguh!” jawab Vrizka dengan sejuta bunga bahagia tercetak jelas pada hitam bola matanya yang mengilat indah. Pada bibirnya bertebaran senyum yang begitu manis. Pada wajahnya tercetak jelas rona bahagia.
“Andai engkau ingin melihat kemurnian dan ketulusan cintaku kepadamu, silakan ambil golok. Bacok dan robeklah dadaku, agar kau tahu dengan pasti, hanya dirimu yang tersimpan, Ris!”
“Dikombinasikan dengan kejujuranmu, cintaku kali ini kuyakin tidak akan membuat luka baru di atas luka lama hatiku. Asal tahu saja, hatiku pernah beberapa kali ditoreh dan disodet pisau cinta dusta yang tajam melukai,” jawab Vrizka dengan lirih.
“Kuingin menjadi lelaki terakhir yang pantas untuk jadi pelabuhan cintamu, Ris. Bukan lelaki yang menoreh dan menyedotkan luka baru di atas luka lamamu, bukan untuk nunut urip, nunut ngiyup, numpang ngombe, bukan pula numpang bangek. Akan tetapi,” ujarku tak tuntas.
Vrizka menyambar ucapanku yang menggantung dengan cepat sekali, “Akan tetapi apalagi sih?” kejarnya. “Bicaralah! Jangan buat aku mati penasaran, Cinta!”
“Seperti yang sudah kau ketahui, bukankah pekerjaanku tidak lebih baik dari kariermu, Ris? Apalagi latar belakang pendidikan dan keluargaku jauh panggang dari api jika dibandingkan denganmu.”
Vrizka tersenyum manis banget. Itulah senyum terindah sepanjang aku mendampnginya sebagai teman biasa, teman curhat, pacar, dan kini mulai bergerak menjadi calon suaminya.
“Hari gini masih bicara karier, latar belakang keluarga, dan pendidikan?” godanya. “Tidak deh, Cinta! Kita sudah dikejar waktu!”
“Maksudmu?”
“Keluarga, karier, dan hartaku tidak lebih dari titipan Tuhan untuk kugunakan di jalan-jalan penuh cinta, kasih, dan sayang,” ujarnya. “Jika Tuhan mau mengambilnya, semua itu bisa habis dalam sekejap mata! Akan tetapi kuharap cintamu tidak akan pernah habis kunikmati sampai maut memisahkan kita!” ujarnya, yang kemudian dilanjutkan. “Dan, di sorga, aku akan minta kepada Tuhan agar dipersatukan kembali denganmu, untuk menikmati taman terindah dengan sungai-sungai susunya!”
Vrizka menatapku dengan mantap sebelum akhirnya bicara lagi. “Yang kumohon abadi kepada Tuhan dan kepadamu, adalah cinta, kasih, sayang, rindu, perhatian, dan kesetiaan, yang tidak berubah ketika kau mendapati aku tidak lagi per…”
“Cukup, My Soulmate!” cegahku. “Kurasa itu tidak perlu lagi dikomunikasikan secara berlebihan! Aku tahu dan aku bisa menerimanya!”
“Maksudmu?”
“Aku sudah tahu ujungnya, Sayang,” jawabku mantap. “Jadi, please, gak usah deh itu kita bahas. Sebagaimana engkau, kuterima kau apa adanya dengan utuh!”
“Yakin kau tidak akan kecewa dan lari ketika mendapati semua itu?”
“Seumur-umur aku memang belum merasakan itu, akan tetapi aku kira soal virginitas bagiku tidak penting-penting banget. Aku bisa memahami, aku bisa mengerti, dan aku bisa menerima semua itu. Karena aku yakin itu bukan satu-satunya source kebahagiaan buat kita! Oke, Honey?”
Vrizka masih diam. Ada mendung kebelumpercayaan menggenang di wajah, mata, dan pikirannya. “Akan tetapi biasanya laki-laki selalu menuntut yang satu itu.”
“Please, My Sun,” jawabku. “Aku bukan laki-laki yang kau maksud!”
Vrizka menjatuhnya kepalanya di dadaku. Kepalanya kubelai, rambutnya kucium, dan keningnya kemudian kekecup begitu dia tengadah menatapku.
“Aku koq jadi yakin sekali, Cinta.”
“Yakin sekali apa, Sayang?”
“Tuhan sengaja mempertemukan aku denganmu untuk menjadi sepasang suami istri!”
Vrizka tersenyum. Makin dalam ia bersandar di dadaku. Tangannya kuraih lalu kucium mesra. Dan ketika posisiku sudah pas untuk mengecup kelopak matanya, kukecup kelopak mata itu. Kurasakan asin dari sana.
“Kau menangis, Sayang?”
“Ya! Aku menangis untuk kebahagiaanku dan cintamu yang tulus, Cinta.”
Kubiarkan Vrizka terisak-isak.
“Aku benar-benar terharu dengan cintamu,” ujarnya. “Jujur, sebelummu ada beberapa pria yang pernah mengisi hidupku, akan tetapi tidak total dengan cintanya. Mereka diam-diam mengincarku untuk mendongkrak karier, menaikkan gengsi, menggerogoti harta, berlindung di balik jabatan, dan ada juga yang hanya…hanya… hanya menikmati tubuhku!” ujar Vrizka dengan wajah penuh kabut sesal.
“Sssttttt…,” ujarku sambil menempelkan telunjukku secara vertikal di belahan bibirnya yang bagus dan bergincu indah. “Lupakan semua itu, Garwo-ku! Itu masa lalu, dan bersamaku yang seperti itu dijamin tidak akan pernah terjadi, Cinta. Kaulah soulmate-ku yang sejati, Cinta.”
Apa yang aku katakan pada Vrizka semua kubuktikan. Aku makan, hidup, dan berpakaian dengan gajiku. Bahkan meski tidak besar, aku masih bisa menabung tiap bulan. Setiap aku hendak dibantu, aku selalu mencegahnya dengan santun dan penuh welas asih. “Terima kasih. Simpanlah untuk anak kita nanti, Sayang! Aku masih cukup punya uang untuk hidupku, meski Jakarta sangat keras, garang, kejam, dan sadis, aku masih bisa hidup di rahimnya dengan wajar, My Love.”
Hanya ketika Bapakku di Jogja masuk rumah sakit dihajar demam berdarah dalam kondisi “hampir lewat” sampai kemudian sembuh, aku gak bisa menolak uluran tangan dan kebaikannya, karena memang sudah tidak ada lagi yang bisa aku uangkan dalam waktu cepat untuk menyambung nyawa bapakku dari jemputan maut!
“Kenapa melamun, Sayang?”
“Honey, kau telah mengambil alih seluruh tanggung jawabku.”
“Gak ada yang salah kan, Cinta?”
“Bukan begitu!”
“Lalu?”
“Kanda malu hati padamu, Dinda. Sungguh.”
“Gak masalah, Kanda. Uang bisa dicari,” jawabnya sambil duduk di sisiku. “Yang penting Bapak bisa diselamatkan dan bisa sehat kembali. Beres kan, Cinta? Apalagi, Matahariku?”
“Kanda…Kanda… Kanda takut Dinda….” kataku gagap dan tak lanjut.
“Dinda takut beranggapan Kanda menjual cinta kepada Dinda! Begitu?”
Aku terpaksa mengangguk meski berat dan malu.
“Sampai kapan pun Dinda gak akan pernah sanggup membeli cintamu, Kanda,” jawabnya. “Yang Dinda dapat dari ketulusan cinta Kanda, tidak semurah itu!”
Aku memeluk Vriska lalu kurebahkan kepalanya di dadaku. Kuelus rambutnya dengan mesra. “Juliet-ku Sayang, cinta seperti apa yang Dinda kehendaki dari Romeo-mu?” tanyaku penuh haru.
“Karena Kanda yang bertanya dan yang memberikan jawabannya adalah Dinda, My Sun minta jawaban yang seperti apa? Yang tulus, tanpa dusta dan tanpa air mata atau…” katanya menggantung sambil senyum.
“Sekarang atau nanti jawabannya, Sayang?”
Kutahu Vrizka sedang mencairkan keteganganku, dan menegakkan kembali tiang dan pilar kepercayaanku yang goyah dan doyong.
Riris berusaha begitu tenang agar aku kembali santai. Lebih dari itu aku yakin sekali, Riris sedang mengail martabatku yang terperosok ke dalam sumur harga diri yang begitu dalam.
“Sekarang saja, Sayang…”
“My Soulmate, pasti engkau kujadikan sebagai ibu bagi anak-anak kita dan kunobatkan pula engkau sebagai ‘ratu’ di kerajaan rumah tangga kita,” jawabku. “Berkenan dan maukah engkau, Sayang?”
Untuk yang kesekian kalinya Vrizka rebah dan ambruk lagi di dadaku. Aku membelai lagi rambutnya dengan mesra. “Kalimat itu sungguh sudah sangat lama ingin aku dengar, Sayang,” jawabnya. “Dan…. Terima kasih Tuhan, kini, kalimat itu kudengar langsung dari mulut seorang lelaki yang pasti hamba jadikan i-m-a-m, baik ucapan maupun tindakannya!”
Aku meraih tangan Vrizka dan kemudian kukecup punggung tangannya yang kuning berurat biru dan berbulu. Kukira gak ada debu atau daki melekat di sana.
“Dengan jaminan cinta, kasih, sayang, rindu, perhatian, dan kesetiaanku, kuterima dirimu lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Kelebihanmu kusyukuri, kekuranganmu kusadari, karena manusia itu sesungguhnya tidak ada yang sempurna, Sayang…”
“Oleh karena itu, aku percaya pada cintamu, kasihmu, sayangmu, rindumu, perhatianmu, dan kesetianmu. Kau berikan semua itu, bukan untuk mendapatkan tubuh dan hartaku, kemudian diam-diam kau lari atau tetap berlindung damai di balik jabatan dan hartaku!”
“Aku bukan lintah dan aku juga bukan parasit, karena aku punya yang lebih mulia dari semua itu, Cinta.”
Vrizka mengangguk mantap, lalu tersenyum manis.
“Aku akan menjaga cintamu, kasihmu, sayangmu, rindumu, perhatianmu, dan kesetiaanmu semampu yang bisa kulakukan, bahkan sampai mati. Karena engkau adalah anugerah yang terindah dari Tuhan buatku. Kau percaya itu, Sayang?”
Vrizka semakin dalam menyurungkan kepalanya di dadaku. Dan gak lama kemudian aku juga merasakan dadaku basah oleh air matanya.
Air mata bahagia Vrizka mengalir membasahi dadaku.
“Kenapa tidak dari dulu cinta ini terpadu dalam hidupku, Honey?” ungkapnya sambil terisak. “Kenapa tidak ketika aku masih suci, muda, ayu, padat, seksi, dan cantik, kau hadir, masuk, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupku?”
Aku tersenyum. Kukecup kening Vrizka dengan lembut dan penuh perasaan.
“Kenapa baru sekarang kau bertahta di mataku, bercokol di hatiku, berdiam dalam pikiranku, mengaorta dalam darah, dan menderas di napasku, Rama-ku?”
Aku semakin mesra membelai rambutnya dan semakin dalam menikam mata dan hatinya.
“Semua sudah ada yang mengatur, Sayang. Penulis Skenario Agung menghendaki kita bertemu ketika kita sudah tidak muda lagi. Please, jangan disesali suratan agung ini, Sayang.”
Karena sudah kuyakini dengan perjodohan ini, tiga tahun kemudian kami menikah dalam sebuah pesta kebun yang sederhana, akan tetapi dikemas sangat cantik, karena kami ingin mendapatkan kesan yang tak terlupakan sepanjang hidup kami.
“Please, My Husband. Jangan buang-buang waktu ya, Cinta,” pinta Vrizka ketika kami berbulan madu di Kampung Sampireun, Garut, Jawa Barat. “Aku sudah gak tahan, Sayang.”
“Kan sudah seminggu kita di sini, My Wife?” jawabku polos. “Maksudmu gak tahan itu apa sih, Istriku?”
“Maksudku kalau bisa–kalau bisa–kalau bisa–kalau bisa sebulan setelah kita bulan madu di sini, istrimu ingin langsung hamil, Sayang,” katanya malu-malu dan manja.
“Ya, Mama…” ujarku untuk kali pertama aku me-“Mama”-kan Vrizka, dan Vriska tampaknya sangat senang dan sangat menikmati kupanggil Mama. Pancaran wajah, sorot mata, dan senyumnya tak bisa mendustai apa yang ada di dalam hatinya. Sorot mata ceria pada wajah dan getar senyumnya memancarkan semua itu.
“Iya, Papa…”
“Ha ha ha. Akhirnya kesampaikan juga aku menjadi Papa untuk seorang istri yang ayu, cantik, seksi, padat, sopan, rendah hati, dan…” ujarku tak tuntas.
“…Akhirnya tercapai juga mimpiku jadi Mama bagi seorang suami yang sangat mencintaiku, mengasihiku, menyayangiku, merindukanku, memperhatikanku dan setia kepadaku, serta dengan tulus, dan ikhlas menerimaku apa adanya!” sambar Vrizka.
Alhamdulillah, sebulan lebih sedikit Vrizka mulai ngidam dan disusul oleh kabar dari Dr. Andi M.Silitonga Sp.O.G., yang menyatakan Vriska positif hamil.
Selepas salat Isya di rumah. Aku langsung menengadahkan tangan kepada Tuhan. “Terima kasih Tuhan….akhirnya hamba-Mu mendapatkan jodoh wanita yang hamba cintai, hamba sayangi, hamba kasihi, dan hamba rindukan. Tuhan, Engkaulah saksi atas janji hamba untuknya: hamba akan memperhatikan dan setia kepadanya sampai maut menjemput…”
“Terima kasih Tuhan… Kini sudah hamba temukan suami dan i-m-a-m yang sejati, dan janji hamba, hamba tidak akan pernah menyesal mendampinginya. Kini tuntunlah kami menuju kebanggaan, kedamaian, dan kebahagiaan untuk menuju surga-Mu, Tuhanku.”
Ketika aku menoleh, di belakangku tangan Vriska telah siap menyambut tanganku, kemudian diciumnya tanganku dengan lembut dan mesra bersama guguran air matanya. Dan, kuyakin itu air mata suci pertanda kebahagiaan, kedamaian, dan kebanggaan yang sejati.
Bumi Pratama Mandira, Juni–Agustus 2008