Merah Hujan Senja

La Ode Gusman Nasiru
kendaripos.co.id

Siang ini hujan kembali mencuci kulit bumi tanah Wolio. Deru jarumnya lentik mencucuk remah-remah tanah yang pecah menganga menunggu air mengaliri labirin pada tiap lekuk. Di cucur atap, kuhayati tiap tumpah air mata langit tempias melubangi tanah dan menciptakan genangan. Sesekali, di pekat mendung itu terpecah konfigurasi petir sambar-menyambar membunga merobek langit. Dan guruh seolah hendak meruntuhkan pekat gulali awan di punggung bumi.

Aku diam menikmati panorama yang luka disayat badai. Tidak seperti biasanya, kali ini bocah-bocah malaikat patuh pada titah orang tuanya untuk tidak keluar bermandi hujan, melepaskan dahaga kerongkongan masa kecil. Dari depan pintu, sambil menikmati suguhan langit, kuperhatikan anakku yang duduk termenung di tepi jendela. Ia seolah mengintai langit. Pandangannya jauh mengawang, hingga mencapai titik kulminasi pada batas normal jarak penglihatannya.

Barangkali hendak menyapa Tuhan. Entah. Gelap langit dan hitam cuaca tak menghalangi pandanganku membaca warna wajahnya. Ah, anak sekecil itu. Ia terlalu cepat dewasa. Oh bukan, ia dipaksa dewasa oleh keadaan. Meski baru kelas dua SMP, ia sudah mulai bekerja serabutan. Terkadang menjadi kuli pelabuhan, membantu La Nimran?tetangga kami?berjualan di pasar ikan, atau kondektur angkutan pedesaan. Demi tekadnya melanjutkan sekolah yang selalu hampir putus di tengah jalan, ia selalu siap melaksanakan tugas apa saja, sekalipun terkadang jauh melebihi tingkat kemampuannya.

Cuaca di luar tidak lebih buram dari sorot matanya yang menatap awas ke langit. Barangkali ia sedang menghujat. Tidak, ia baru belajar menghujat. Semoga ia tidak menghujat Tuhan yang telah memahatkan nasib lewat lekuk-lekuk garis tangannya. Oh, buah hatiku. Sepuluh tahun kami menantikan kehadiranmu hanya untuk menjajarkan deret kesialan pada lajur masa depanmu. Itu pun jika kau masih punya masa depan.

?Alit, sini dulu!?
Sebelum berjalan mendapatiku, kuperhatikan terlebih dahulu ia menyeka tetes air dari matanya. Ya Tuhan, tolong angkat beban ini. Beban yang menyesakkan dadaku dan dada anakku, membuat kami sering lupa dan kalut.
?Kenapa, ko sedihkan lagi apa??
?Ah, tidak mama.?
?Saya tidak pernah ajar ko berbohong, to??

Perlahan ia mengangkat wajahnya, menantang mataku.
?Saya dilarang mi kerja di kebunnya Ibu Karim, katanya tidak ada mi yang bisa saya kerjakan. Terus, uang yang mama kasih tidak cukup mi untuk bayar SPP, akhirnya saya dilarang mi ikut ujian semester ini.?
Alit. Aku ingin perkataanmu selalu lurus seperti kaki cakrawala yang terentang luas di kejauhan. Kuraih kepalanya, kudekap dalam dadaku yang nyaris rata agar aku lebih leluasa menyeka tangis yang membatu di dalamnya dan sebentar pecah terurai dari biru kantung mataku. Kuusap rambutnya, kucium jidatnya.
?Ma, kapankah bapak dia keluar dari penjara??

Glerrrr?.
Pertanyaannya bersiadu dengan guruh yang menampar udara. Meremukkan dadaku. Sudah berapa kali kukatakan kepadanya agar tidak lagi bertanya seperti itu? Jangan gila Marwati, anakmu itu dikaruniai Tuhan untuk berpikir dan menganalisis. Tidak mungkin ia melupakan ayahnya. Lelaki yang telah menitipkan benih di rahimmu, bersatu segala jiwa dan raga denganmu, hingga lahirlah buah cinta kalian berdua. Kubaringkan setengah badannya di pangkuanku, hingga kilat-kilat petir dan guntur yang mengaubadekan instrumen kematian mengantarnya tidur dan menyodorkan mimpinya ke lembah hitam tak bertepi. Aku pun tak kuasa menjemba.

La Fudi, suamiku, buruh pelabuhan Murhum, sudah dua tahun ini ditahan di kantor polisi karena kasus narkoba. Ia tertangkap bersama sekelompok temannya sedang mengedarkan beberapa gram barang setan itu kepada teman-teman buruh lainnya. Tanpa tedeng aling-aling, para polisi yang telah lama mengintai gerak-gerik mereka langsung menggerebek kawanan itu.

Mereka diringkus dan langsung dijebloskan ke dalam penjara yang dingin dan beratmosfir pengap. Sialnya, setelah dilakukan proses pemerikasaan urin, suamiku juga terbukti menjadi pengguna zat haram itu. Kata La Banrawi, polisi yang rumahnya tepat berhadapan dengan rumah kami, suamiku dikenai pasal berlapis sehingga masa kurungannya bertambah lama menjadi lima tahun. Ya Allah, Zat yang Maha Segala, nampaknya kali ini aku benar-benar tak mampu lolos dari ujian yang kau limpahkan. Apalagi, setelah mendengar dari La Banrawi, katanya suamiku menjalankan bisnis laknat itu untuk memenuhi segala kebutuhan wanita simpanannya?Wa Leli?di rumah bordil. Pelan-pelan rasa cintaku kepada suamiku melesap ke ruang yang entah.

Namun begitu, aku tidak pernah alpa menyambanginya sekali dua minggu atau sebulan. La Fudi, suamiku yang kurus kering semakin lesu dan loyo nampaknya. Tulang pipinya menonjol berhambur keluar seperti hendak menembusi kulit yang hitam. Sedangkan pipinya menciut seperti ditumbuk alu. Kulihat matanya dalam dan sayu, sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi di balik dua bolanya. Nampaknya ada seberkas sinar penyesalan di dalamnya. Ah, apa ia masih punya keberanian untuk meminta maaf kepadaku?

Kata La Jiri?kepala sipir penjara?suamiku sering sakau dan hendak menyakiti diri. Sejujurnya, timbul juga rasa kasihanku kepada bapak dari anakku ini, namun apa yang mesti aku lakukan? Menyewa pengacara agar ia dapat dimasukkan ke panti rehabilitasi? Tidak mungkin. Untuk makan sehari-hari saja aku dan anakku mesti jungkir balik mengumpulkan keping demi keping rupiah. Sudahlah, barangkali aku memang harus belajar memasrahkan takdir kepada Sang Pencipta. Meski, sebenarnya takdir adalah sebuah pilihan.

Peristiwa yang dialami suamiku tentu berdampak pada kehidupan kami. Bukan hanya dari segi kehangatan dalam rumah tanggaku, namun kebutuhan ekonomi yang makin meningkat memperburuk keadaan. Kami harus mengencangkan ikat pinggang, mengikat perut sampai sesak. Kini, yang dapat aku lakukan hanyalah berupaya mengumpulkan uang untuk melunasi tunggakan bulanan sewa kontrakan dan melanjutkan sekolah Alit setinggi-tingginya. Agar masa depannya tidak semalang nasib kedua orang tuanya. Kami?aku dan suamiku?yang hanya mampu mengkalkulasi jumlah tumpukan utang yang menumpuk menyeret kami ke lembah kemiskinan yang setia mengawini sampai waktu yang juga entah.

Sampai senja ini, hujan tak kunjung selesai. Setitik dua masih jatuh mengubur surya di ufuk barat perut bumi.
Dari depan pintu, kulihat sesosok perempuan berkelebat melesap di antara pohon-pohon asam dan mangga. Makin lama makin mendekat menuju pintu rumah. Oh, Ibu Badaria. Tidak salah lagi, ia pasti datang menagih sisa sewa kontrak yang sudah jatuh tempo.

Setelah tiba di depan pintu, kupersilahkan wanita setengah baya itu masuk ke rumahku?lebih tepatnya di rumah yang kukontrak darinya.
?Marlina, bagaimana mi Alit, saya dengar dia dilarang mi kerja sama Ibu Karim to??
?Iye.?
?Tidak apa-apa mi yang penting dia masih bisa sekolah. Anakku juga sudah mulai diminta lagi beli buku ini, mana mahal-mahalnya mi.?

Ya benar, biaya pendidikan semakin mahal. Sebenarnya, mutu yang berkualitas hanya bisa ditebus dengan harga yang pantas. Namun bagaimana dengan orang-orang kecil seperti kami? Ah, nampaknya bantuan yang diberikan secara langsung oleh pemerintah tidak banyak membantu bagi kami. Namun bukankah kita mesti belajar bersyukur menerima semua keputusan dari niat baik pemerintah? Toh, mereka juga tidak ingin menyengsarakan rakyat.

Pikiranku kembali terfokus pada maksud pembicaraan ibu tua yang berhati baik ini. Sungguh, ia tidak seperti kebanyakan induk semang lainnya. Meski begitu, aku juga harus mampu membaca tanda-tanda yang amat jelas tersusun apik di balik kata-katanya. Setelah berjanji dan berusaha meyakinkannya bahwa aku akan melunasi sisa sewa kontrakan itu, akhirnya ia pulang dengan wajah penuh harap, menuruni tangga rumah, menapaki tanah becek, kemudian berlari kecil menembus rinai-rinai hujan yang menggoreskan sketsa pada warna senja. Ya Tuhan, hari ini aku telah Engkau geletakkan tepat di titik nadir.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, aku dan beberapa teman penjual sayur lainnya sudah berebutan membeli sayur dari mobil yang masuk ke dalam lingkup pasar Karya Nugraha. Sayur-sayur itu didatangkan dari berbagai tempat seperti Kapuntori dan Karya Baru. Setelah merasa cukup, aku lantas berjalan menjinjing daganganku itu ke berbagai tempat langganan tetapku, khususnya para tetangga yang tinggal di sekitar rumah, kawasan Tanah Abang. Jika tidak habis, sayuran itu akan kujajakan ke tempat-tempat lainnya. Saat matahari mulai panas semuanya telah habis terjual.

Setelah membereskan rumah dan beristirahat secukupnya, sore harinya aku pergi ke penjara. Hari ini adalah jadwal tetap?yang kubuat sendiri?menjenguk suamiku. Melihat tubuhnya yang makin menyusut hendak membusuk melunasi semua kesalahan masa lalu, tanpa sadar kujatuhkan juga hangat air mata di depannya. Tidak apa. Kucoba lukiskan siluet masa lalunya dalam mataku, tentang legam tubuh, kekar badan, dan lebat rambutnya. Lelaki yang kupilih mendatangiku di ranjang pengantin pada malam pertamaku. Meski kini rasa cintaku tidak sebesar dulu kepadanya, toh aku tetap menjadi istri sahnya. Segala kejadian di rumah tak pernah lupa aku narasikan kepadanya meski ia nampak makin tidak lancar diajak berkomunikasi dan hanya meng-huh tanda tidak mampu menolong kami keluar dari lembah kesengsaraan. Andai ia tidak bermain api, memperdagangkan barang-barang terkutuk itu, tidak akan ada episode kesengsaraan ini dalam hidup kami, meski pun hidup serba kekurangan.

Sore ini, matahari yang mulai nampak kemerahan, menyiramkan warna tembaga di sepanjang lengkung tempurung langit. Setelah menuntaskan rasa rindu pada suamiku, aku berjalan menuju pelabuhan Murhum, menikmati suguhan alam tepi laut. Menapaki tiap lajur tepi pelabuhan yang panjang menjulur sampai ke tengah laut, menjemput kapal-kapal yang hendak berlabuh.

Di bawah pohon kelapa, sambil menatap lepas jauh ke deretan pulau yang diantarai oleh laut biru dengan tempatku duduk, sepoi-sepoi angin laut mengelus lembut seluruh jiwa. Ah ya, aku merasa mendapatkan ketenangan di sini. Ketenangan yang seolah tak pernah kurasakan lagi dalam hidupku.
Ketenangan yang lebur dalam kenikmatan bercinta pada malam-malam sepi bersama lelaki yang telah dihalalkan untukku dalam ikatan pernikahan dulu. Di tempatku berpijak, kumuntahkan segala kepenatan yang tidak berujung ini ke tengah laut yang luas. Kujemput tepi laut yang mengantarkan buih-buih putih di sepanjang pelataran kaki tanggul. Maju, menuruni dasar laut yang meruncing menyuguhkan kesegaran segenap jiwa. Membiarkan laut mengisap seluruh saripatiku, bergumul dengan segala sensasi kenikmatan yang pamungkas mengangkat segala beban dalam diriku. Segala rangkaian peristiwa dalam hidupku bermain-main mengitari ruang sempit kepalaku mencipta lindu yang menggertak tanah. Perkawinan yang awalnya tidak disetujui oleh kedua orang tuaku, suamiku yang masuk bui karena narkoba demi wanita simpanannya, hingga masa depanku dan anakku yang sesuram rembang petang. Segalanya kembali berkecamuk hendak melantakkan tengkorak kepalaku. Tetapi kini, di sini, semuanya larut dalam hijau laut yang kebiruan. Sebelum benar-benar mengakhiri episode dalam sandiwara kehidupan dan menjemput teduh laut di depan mataku, sempat kulihat sosok Alit yang sedang memikul barang, serak berteriak memanggilku.

?Mama??
Suaranya luruh disaput rintih rintik hujan, mengantarku menuju pintu kedamaian, meninggalkan segala yang fana. Selamat, selamatlah anakku, selamatlah suamiku.
Merah hujan senja bergelimang meluncur ramping tipis-tipis di dada cakrawala, mengakhiri satu lagi tragedi memilukan di atas tanah seribu benteng. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *