PANORAMA SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Naskah Pidato Penerimaan Hadiah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera)
Atas buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia
Berjaya Times Square Hotel Kuala Lumpur, 27 November 2007

Sastra Indonesia adalah lanskap pelangi; warna-warni dengan beragam cabaran ideologinya. Ia bagai taman bunga dengan tetumbuhannya yang semarak, dedaunannya yang rimbun, meski di sana tumbuh pula mawar berduri. Di taman itu, orang-orang boleh duduk bercengkerama, memadu kasih, memetik beberapa tangkai bunga untuk dipajang di dalam rumah atau mencampakkannya begitu saja. Taman itu milik semua dan sesiapa pun, boleh ikut memeliharanya; menanam pepohonan baru atau menyiraminya agar tetap segar sambil memberinya rabuk atau melakukan persilangan.

Sastra Indonesia adalah hutan belantara dengan aneka ragam kekayaan pepohonannya yang eksotik bersama kehidupan masyarakatnya yang tidak dapat melepaskan diri dari kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dan kita, sungguh tidak dapat menafikan ruh kultur etnik yang menjiwai sastra Indonesia.

Seperti juga bahasa Indonesia, sastra Indonesia bersumber dari akar tradisi kebudayaan besar yang bernama Melayu. Ia bergulir, menggelinding, mekar, dan berkembang memenuhi tuntutan zaman. Kedatangan bangsa asing adalah bagian penting dari perkembangannya itu. India dengan Hinduisme dan Buddhismenya, mula-mula diterima begitu saja. Tetapi kemudian diolah kembali secara kreatif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur Indonesia yang beraneka ragam itu.

Berikutnya datang pula Islam yang juga diterima dengan memasukkan corak dan semangat lokalitas (tempatan) yang khas, sehingga ia menjadi sumber lain yang pada akhirnya menjelma keindonesiaan yang memperlihatkan homogenitasnya dan sekaligus kekayaan heterogenitasnya. Islam yang mewarnai keindonesiaan itu menjadi begitu unik, khas, dan beragam. Kemudian masuk pula Portugis, Cina, Jepang, Persia, dan bangsa-bangsa Barat, ikut mewarnai keindonesiaan itu. Jadilah sastra Indonesia sebagai produk budaya yang seperti merepresentasikan proses terjadinya akulturasi dan sekaligus inkulturasi yang rumit. Kultur lokal dengan segala etnisitasnya yang inklusif telah membiarkan dirinya dimasuki berbagai-bagai pengaruh luar.

Kedatangan bangsa Barat, harus diakui, telah membawa perjalanan kebudayaan ?khasnya kesusastraan?Indonesia memasuki modernisme. Alat cetak yang kemudian menjelma penerbitan buku dan media massa adalah buah fisik yang menjadikan sastra Indonesia menyebar secara luas dan massal. Itulah salah satu keajaiban mesin-mesin yang diperkenalkan bangsa Barat. Abdullah Munsyi menyebutkan empat perkara atas pertemuannya dengan alat cetak: (1) betul perkataannya dengan tiada bersalah, (2) lekas pekerjaannya, (3) terang hurufnya lagi senang membacanya, dan (4) murah harganya.
***

Masyarakat Tionghoa berhasil memanfaatkan alat-alat cetak itu lebih awal. Kemudian pribumi dan belakangan Belanda melalui usahanya mendirikan Balai Pustaka. Berkat kekuasaannya, Belanda pula yang memainkan peranan penting dalam membangun dan menciptakan pencitraan sastra Indonesia sebagai sastra elitis. Di sana, berbagai pemanipulasian terjadi semata-mata untuk mengukuhkan citra Belanda sebagai bangsa yang berbudaya, sebagai mesias, sebagai juru selamat!

Itulah awal masalah karut-marut perjalanan sastra Indonesia. Masalah itu lalu menyebar dan mencengkeram dunia pendidikan dan pengajaran sastra di hampir semua peringkat sekolah. Tanpa sadar, di sekolah ditanamkan cara pandang yang salah tentang citra dan profesi sastrawan. Mendesak masyarakat lebih menghargai segala yang fisikal daripada perkara intelektual. Keadaannya semakin teruk ketika pemerintah Orde Baru lebih mengedepankan pembangunan ekonomi dan apresiasi terhadap segala yang fisikal.

Itulah problem berikutnya yang terjadi dalam perjalanan sastra Indonesia. Di dalamnya yang terutama adalah perkara pengajaran sastra dan kritik sastra. Pengajaran sastra menjadi ilmu pengetahuan tentang sastra, dan bukan apresiasi terhadap karya sastra. Sementara itu, kritik sastra terjerumus pada kesalahpahaman teoretis dan seolah-olah segalanya datang dari Barat. Karya sastra menjadi objek anatomi.

Analisis terhadap karya sastra dilakukan dengan mengucilkan pengarangannya, menghapus masyarakat yang melahirkannya, dan menafikan kultur etnik yang menjadi inti jiwanya. Segalanya bertumpu pada pemahaman yang fragmentaris, terpenggal-penggal atas konsepsi strukturalisme. Ia diperlakukan seolah-olah sebagai satu-satunya senjata pamungkas yang dapat digunakan untuk menganalisis semua unsur dengan segala kasusnya yang terdapat dalam teks sastra.
Problem sastra Indonesia pada akhirnya berpusat pada beberapa hal berikut:

Pertama, kekeliruan dalam memandang dan menempatkan citra dan peranan profesional sastrawan sebagai intelektual, pemikir budaya, dan pejuang kemanusiaan.

Kedua, kesalahan dalam memperlakukan teks sastra hanya sebagai sebuah struktur yang otonom. Teks sastra seolah-olah hanya deretan kalimat beku, tercerabut dari lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya. Analisis lewat pendekatan struktural, berhasil membenamkan denyar kekayaan kultural.

Ketiga, kesalahpamahan dalam memahami kritik sastra yang seharusnya menjadi salah satu alat pemberi pencerahan dan pembuka tabir yang menyelimuti kekayaan sosio?budaya sebuah teks sastra. Kesalahpahaman ini ditandai dengan: (1) kelalaian membuka perjalanan sejarah kritik sastra di Indonesia, (2) kekeliruan dalam memahami strukturalisme, (3) keterpesonaan yang berlebihan pada teori Barat, (4) keangkuhan kaum akademis yang tidak mau melibatkan sastrawan dalam pengajaran sastra, (5) keengganan dalam mencoba mempertanyakan kembali pemikiran tokoh-tokoh kritik sastra Indonesia sebelumnya.

Keempat, kemalasan dalam menguak dan mengungkapkan berbagai kekayaan yang mendekam di balik teks sastra yang justru ada cantelannya dengan konteks yang tersebar di sekelilingnya.
Kelima, kedangkalan dalam neyusun sejarah sastra Indonesia yang seolah-olah cukuplah berupa catatan ringkas tentang pengarang, judul karya, penerbit, tahun terbit, dan usaha melakukan periodesasi. Sejarah sastra Indonesia cenderung berupa senarai yang tidak mengungkapkan dinamika dan perkembangan pemikiran manusia Indonesia yang terekam dalam karya sastra.
***

Demikianlah beberapa masalah dalam sastra Indonesia yang coba diungkapkan dalam buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005, 504 halaman). Masalah lain tentu masih tercecer dan bertebaran. Meskipun demikian, setidak-tidaknya, buku itu telah menawarkan pemikiran lain tentang sastra Indonesia dan menyediakan jawabannya atas berbagai masalah tentang sastra Indonesia selama ini.

Jadi, buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia coba menyodorkan pandangan lain, meskipun mungkin kontroversial, tentang bagaimana menyikapi: (1) peranan dan profesi sastrawan, (2) sastra dan kesastraan, (3) pandangan lain tentang kritik sastra (Indonesia), (4) pendekatan yang membuka peluang pendedahan kekayaan soio-budaya yang berada di luar teks sastra, (5) usaha mengembalikan pengajaran (sejarah) sastra dan kritik sastra Indonesia ke jalan yang benar.

Itulah selayang pandang gambaran umum tentang buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia.

*) Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Leave a Reply

Bahasa ยป