Moh. Samsul Arifin
http://www.jawapos.com/
”Rendra tak pernah takut pada kekuasaan, termasuk tank dan panser, yang coba menundukkan akal sehatnya.”
DI manakah tempat kritik dalam ke?penyairan Willibrodus Surendra Broto Rendra yang dipanggil Tuhan pada 7 Agustus lalu (Senin besok 40 harinya)? Ja?wabnya, pada bentuk dan muatan puisi-puisinya. ”…Saya sang?si apa ini (sa?jak-sajak Rendra) bisa di?sebut puisi? Sajak Rendra demikian keras sehingga ka?dar puisinya tu?run,” ujar Dick Hartoko (saat itu pe?mimpin BASIS) setelah Si Burung Merak tampil di Sport Hall Kri?do?sono, Jogjakarta, Desember 1978.
Kala itu dia membacakan sejumlah sa?jak seperti, Sajak Seonggok Jagung, Potret Keluarga, Sajak Pertemuan Ma?hasiswa, Sajak Joki Tobing untuk Widuri, Sajak Widuri untuk Joko Tobing, Bu?rung-burung Kondor, Sajak
Se??batang Lisong, dan Sajak Orang-orang Miskin hingga Aku Tulis Pamflet Ini. Gara-gara sajak yang disebut terak?hir itu, Rendra ditahan polisi, Mei 1978. Penguasa takut sang penyair bi?sa menyulut instabilitas dengan larik-la?rik sajaknya yang magis -namun te?tap berkorespondensi dengan kondi?si politik, sosial, dan ekonomi masa itu.
Cermatilah sepenggal sajaknya yang me?nyebut perhelatan pemilihan umum jadi kehilangan makna. //Aku? tulis pamflet ini/karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba// Orang-orang bicara dalam kasak-ku?suk// Dan ungkapan diri ditekan/ men?jadi peng-iya-an//
Kritik -kalau bukan intimidasi- juga datang dari aparat negara. Setelah pen?tas di Jogja itu, Kolonel Sarwono (Dan?rem 072 Jogjakarta) berbisik ketus ke?padanya, ”Saudara membaca puisi de?ngan bagus, tetapi puisi yang Saudara baca baru pelemparan masalah, yang pen?ting sekarang jalan keluarnya.”
Amboi, sang penyair pun dituntut le?bih dari sekadar pintar melancarkan kritik, tapi mencari jalan keluar (solusi) bagi persoalan yang disoal. Itu cara penundukan lewat diskursus untuk mengikuti logika kekuasaan. Sebentuk ope?rasi penundukan yang teperdaya untuk mengerangkeng sajak agar berge?nit-genit dengan kata, jauh dari per?soalan sehari-hari masyarakatnya.
Ihwal sematan pamflet pada sajaknya itu, Rendra menjawabnya lewat sepenggal larik ini. //Aku tulis pamflet ini/kare?na pamflet bukan tabu bagi penyair//
Di kesempatan lain, dia berujar lantang, ”Saya tegaskan bahwa masalah po?litik serta ekonomi itu bukan mono?poli persoalan para raja dan kelompok yang berkuasa saja seperti yang ada pa?da masyarakat feodal… Lha sekarang ti?ba-tiba kalau seniman melihat kepincangan dalam pembangunan dan meru?gikan rakyat jelata pada umumnya, la?lu tak boleh berbicara, ditabukan bi?la hal tersebut dibicarakan dalam kese?nian. Apakah seniman hanya boleh meng?ungkapkan masalah kejiwaan serta filsafat saja?” ujar Rendra (Horizon No 11 Tahun 1982).
Suatu kali Rendra bahkan mencibir pe?nyair yang bergenit-genit dengan cin?ta semacamnya, ”Saya itu berpikir apa gunanya membuat sajak tentang ang?gur dan rembulan, sementara ke?mis?kinan dan ketidakadilan terjadi di se?kitarnya.” (Editor, 7 November 1990).
Tapi, di masa awal kepenyairannya, Rendra juga bergelut dengan tema cin?ta, filsafat, dan religiusitas. Tengoklah beberapa larik Surat Seorang Perantau (1959) yang ditujukan kepada pujaan hatinya di rumah. //Istriku yang tercinta…//Kenanganku akan lari padamu/rindu di rumah bersamamu//Hujan di genting/ angin di pintu//Kita rapat bersanding/dan kutatap matamu//…Aku ini burung sekarang/dan rumah kita sarang// Ke mana pun si burung terbang/ lelah dan ajal pasti pulang//
Bahasa Grafis
Dalam dunia kepenyairan Rendra, dia me?nempatkan diri sebagai kitab yang terbuka. Saat zaman memintanya, Ren?dra tergerak untuk menyuarakan apa yang menimpa rakyat kecil -mereka yang dimarginalkan atau tak beruntung da?lam setting politik dan ekonomi Orde Ba?ru. Dia menjadi suara zamannya.
Rendra membangun puisinya dengan ba?hasa grafis. Kata Rendra, bahasa itu digunakan untuk menundukkan per?soal?an analitis yang melingkupi persoalan eko?nomi, politik, sosial, dan se?te?rusnya. Bahasa grafis adalah sesua?tu yang jelas, gambaran yang jelas, ken?dati tetap imajinatif. Rendra tak sekadar menyalin dan menggambar persoalan-persoalan di sekitarnya dalam sa?jak-sajaknya. Dia menyaksikan, me?ngen?dapkan, dan lalu menerjemahkannya dalam bahasa-bahasa grafis (Keti?ka Ren?dra Baca Sajak, November 2004).
Perhatikan Sajak Sebatang Lisong yang dibacakan Rendra di depan mahasiswa ITB pada 1977: Menghisap lisong// Melihat Indonesia Raya//Mende?ngar 160 juta rakyat// Dan di langit/dua tiga cukong mengangkang/ berak di atas mereka// Matahari terbit// Fajar tiba/ dan aku ?melihat 8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan// Aku bertanya// Tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet/ dan papan-papan tulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan//
Tak ada eufemisme di sana. Rendra berteriak sekeras-kerasnya. Kritiknya membuncah hebat. Tubuhnya memang di depan mahasiswa ITB, tapi jiwanya melintas jauh hingga ke langit. Dengan begitu, dia ingin meninju langit kesa?dar?an penguasa -seperti seorang de?monstran di tengah terik matahari. Apa yang diteriakkan Rendra itu masih manifes.
Rendra tak pernah takut pada kekuasaan, termasuk tank dan panser, yang coba menundukkan akal sehatnya. Dia per?caya betul pada kata. Namun, dia sadar bahwa sajak tak bisa mengubah keadaan karena sajak bukan organisasi -seperti halnya partai politik atau organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan. Sajak hanya mengubah kesadaran. Hanya membantu, menyumbang ke arah yang menyadarkan masyarakat. Itu?lah fungsi katarsis sosial alias penyadaran terhadap masyarakat, baik itu kor?ban maupun publik luas, yang menjadi misi kepenyairan Rendra.
Bukan tanpa alasan jika Paus Sastra In?donesia H.B. Jassin menyanjungnya setinggi langit. Menurut kritikus sastra itu, Rendra menyuarakan batin ma?syarakat. Karyanya makin luas. Sudah meliputi alam semesta. ”Dia punya kon?sep, puisinya bertakhta di atas a?ngin… Rendra adalah Chairil Anwar yang lebih matang. Lebih luas jangkauannya,” puji Jassin (Mutiara, 14-17 Desember 1985).
Zaman yang meminta Rendra mengisi sajaknya dengan pamflet. Tapi, cara itu terbukti manjur di tengah rezim re?presif yang menghendaki penyeragaman. Buat saya, perjalanan kepenyairan Rendra bertumbuh. Dia menjawab tantangan zaman dengan kesatria. Ren?dra bukanlah penyair salon. Dia kepala batu, menerjang segala klise. Dengan itu, dia mewariskan satu hal: gairah -se?suatu yang ia sebut sebagai daya hidup!
Bangsa ini seyogianya belajar dari je?jak-jejaknya. Saya mengajak kita se?mua keluar dari ”jalan lurus” dalam me?mahami Wahyu Sulaiman Rendra dan karyanya. (*)
*) Anggota Klub Buku dan Film SCTV.