Nini Maryana R. Sari Dewi
kendaripos.co.id
Aku tak ingin disalahkan atas segala peristiwa yang menimpaku ini. Ya Tuhan, apa aku tengah sekarat? Di mana sebenarnya aku tengah berpijak kini? Surgakah? Nerakakah? Ataukah mungkin bukan keduanya? Ya Tuhan, betapa tersiksanya rasa ini. Ya Tuhan, apakah sekarang Engkau tengah tersenyum melihat deritaku? Ataukah Engkau tengah mencaci maki karena segala kebodohanku di masa lalu? Ya Tuhan, aku yakin Engkau tengah mengawasiku. Saat ini, hanya Engkau yang kuandalkan untuk menolongku.
Pemuda sakaw itu terus berkomat-kamit, tetapi ucapannya nyaris tak terdengar. Suara lirihnya terus saja menyebut-nyebut nama Tuhan sembari memeluk tubuh lunglainya. Ia bahkan tak mampu lagi melangkahkan kakinya. Ia berpindah tempat dengan menyeret tubuhnya yang telah kotor oleh tanah dan lumpur. Dan belasan detik kemudian, kesadaran itu hilang dari tubuh si pemuda sakaw yang malang. Ia pingsan.
**
?Tolong Sultan, Pa, Ma! Sultan masih ingin hidup.? Si pemuda sakaw itu menangis dengan ekspresi memelas. Siapa pun yang melihatnya akan bergidik karena prihatin dan iba. Tubuh tegapnya dulu telah aus termakan efek obat-obatan terlarang. Tak berlebihan jika kini Sultan diberi gelar mayat hidup yang menyedihkan. Kedua orang tua Sultan hanya bisa menangisi kelalaian mereka dalam mendidik putra tunggalnya itu.
?Pa, Ma, Sultan butuh obat itu untuk bisa bertahan hidup,? pinta Sultan.
?Justru obat-obatan itu yang akan membunuh kamu, Sul,? sela Didit sahabat Sultan.
?Dasar bodoh! Yang paling aku butuhkan saat ini adalah obat-obatan penenang itu. Hanya itu! Aku butuh obat-obat itu lebih dari kebutuhanku akan Bapak dan Ibu yang terhormat ini,? teriak Sultan sembari menunjuk ke arah kedua orangtuanya.
?Penenang katamu? Pil setan itu kamu sebut penenang?? Didit tidak dapat mengendalikan emosinya. Bukan karena marah pada Sultan. Tapi karena perasaan sedih dan bersalah yang luar biasa.
Adu mulut di panti rehabilitasi pecandu narkoba itu terus berlangsung dan berakhir dengan injeksi penenang bagi Sultan.
Didit menghela nafas panjang. Keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. Bukan saja karena kelelahan meladeni amukan Sultan. Tapi juga karena rasa shock yang mendalam, sedih dan perasaan bersalah luar biasa. Sebagai sahabat terdekat Sultan, ia sadar tak sepatutnya ia lalai akan segala hal yang berkaitan dengan Sultan. Dialah yang seharusnya yang pertama kali tahu keterlibatan Sultan, sahabatnya, dengan obat-obatan haram itu.
?Maafkan Didit, Om, Tante,? Didit membuka percakapan, ?seharusnya Didit bisa lebih perhatian sama Sultan.?
Mendengar kalimat tulus Didit, Pak Handi dan isterinya merasa semakin bersalah. Merekalah yang semestinya lebih bertanggung jawab atas Sultan ketimbang Didit.
Kebisuan menyergap koridor panti rehabilitasi Satu Asa itu. Dan linangan air mata tiga orang yang menyayangi Sultan.
?Pak Handi, Bu Handi, bisa minta waktunya sebentar?? Sebuah suara menghentikan episode penyesalan yang tengah mengalun rapi dalam ruang imaji ketiga orang itu. Suara seorang lelaki muda, kira-kira belum berusia kepala tiga.
?Tentang Sultan, Mas?? sela Didit.
?Benar,? jawab pria itu.
?Saya Deni,? pria itu memperkenalkan dirinya, ?saya salah seorang terapis di sini.?
Didit pun memperkenalkan dirinya.
Sejurus kemudian kedua orang tua Sultan dan Didit telah berada di depan pintu ruang isolasi tempat Sultan dirawat layaknya tahanan penjahat yang tengah disekap. Tangan Sultan terikat, begitu pula dengan kakinya. Tak ada lagi keprihatinan yang mampu terangkum dalam kalimat. Semuanya telah tertumpah dalam tiap tetes air mata. Dan sesal berkepanjangan tetap saja tak akan mampu menjalankan mesin waktu untuk kembali ke masa lalu dan mengubah segalanya menjadi lebih baik.
?Inilah cara terbaik untuk mengembalikan Sultan, putra Pak Handi dan Ibu seperti semula,? Deni sang terapis memecah kesunyian.
?Sultan harus diterapi. Ia harus mendapatkan multivitamin psikis untuk memulihkan kelabilan jiwanya.?
?Multivitamin psikis? Apa itu, Mas?,? tanya Didit kurang mengerti.
?Support full dan perhatian ekstra dari orang terdekat,? jawab sang terapis.
?Sultan harus dikunjungi setiap hari. Dia harus merasa tengah berada di rumah sendiri. Dengan upaya rehabilitasi ini, Sultan tidak boleh merasa kehilangan orang tua dan sahabat. Apalagi selama ini Sultan telah menghabiskan masa remajanya tanpa kehadiran sosok orang tua yang ia harapkan akan menjadi pengarah dalam tiap langkahnya.?
Kedua orang tua Sultan termenung. Mereka baru menyadari kesalahannya. Keegoisan mereka dalam mengumpulkan lembar-lembar rupiah, telah membuat mereka kehilangan putra tunggal mereka yang sehat.
**
Pemuda bertubuh tegap itu melangkah pasti. Sesekali matanya menatap puas pada lembar-lembaran kertas dalam genggamannya. Tak jarang senyumnya mengembang ketika menatap ke depan.
?Sultan!? Suara itu menghentikan langkahnya. Sultan menolehkan kepalanya ke belakang. Disambutnya sosok yang berlari kecil mendekatinya itu dengan sebuah senyuman.
?Hei, what?s up Bro?? sapa sang pemuda yang baru saja datang.
?Fine, Alhamdulillah!? jawab Sultan mantap.
?Sepertinya sedang tidak bisa diganggu, ya?? ujar si pemuda yang tak lain adalah Didit, sahabat karibnya.
Didit meneliti setiap inci penampilan Sultan.
?Oh, tentu saja bisa. Apa sih yang tidak bisa untuk kamu, Dit?? Sultan menjabat erat tangan sahabat yang telah dikenalnya sejak berstatus sebagai siswa sekolah menengah pertama itu.
?Ah, gombal,? canda Didit.
Mereka akhirnya tertawa berderai-derai.
?Sedang terburu-buru ya, Sul?? tanya Didit.
?Ah, tidak juga. Cuma sedang bersemangat saja. Jadinya, terlihat agak terburu-buru,? Sultan mencairkan kekhawatiran sahabatnya itu. Ia bisa membaca bahwa sahabatnya itu sangat ingin melepas rindu dengannya. Sama seperti dirinya, yang ingin sekali mendengar kisah kembalinya Didit ke Indonesia.
Setengah jam kemudian, kedua pemuda itu telah menjejakkan kaki tanpa alas mereka di hamparan pasir lembut Pantai Kuta.
?Siapa sangka setelah kita berpisah di panti rehabilitasi Satu Asa Bogor, akhirnya bisa bertemu di Bandara Ngurah Rai?, Didit membuka percakapan.
Sultan hanya tersenyum. Sebuah senyuman penuh arti.
Bagaimana kabar kamu, Sul??
?Alhamdulillah, seperti yang kamu saksikan.?
Didit tersenyum bahagia melihat kondisi fisik sahabat yang telah bertahun-tahun tak ditemuinya itu.
?Oh ya, aku penasaran dengan kisahmu,? Didit antusias.
?Aku beruntung, Dit. Allah memberiku kesempatan kedua. Kesempatan yang tidak datang pada semua orang. Bisa kamu bayangkan apa jadinya jika nyawaku terenggut karena pil-pil haram itu,? mata Sultan menerawang jauh hingga ke ujung pandangannya. Sesekali ia menghela napas.
?Satu lagi, kepala sekolah kita yang bijaksana itu memberi aku kesempatan untuk ujian akhir susulan. Aku sangat beruntung,? lanjut Sultan.
?Dalam proses penataan hidup itu, aku mencari kamu, Dit.?
Didit terdiam. Ia tak sabar mendengar kelanjutan kisah pahit sahabatnya itu.
?Kata guru-guru, kamu dapat beasiswa di Jepang. Tapi aku selalu ingat pesan kamu saat menemani aku di panti rehabilitasi dulu,? Sultan menatap sahabatnya itu lekat. Didit membalas tatapan itu. Kini mereka saling melempar senyum.
?Bahwa hidup ini harus berlanjut seberat apa pun keadaannya?, kedua sahabat itu melafalkan kalimat yang sama dengan serentak.
?Sejak saat itu, aku jalani hidup seperti remaja kebanyakan.?
?Tapi karena merasa aku wajib melakukan sesuatu biar bumi ini tidak lagi diisi oleh Sultan-Sultan yang lain, aku bikin yayasan yang bergerak di bidang pembinaan mental anak-anak yang drugs addicted. Aku dibantu Mas Deni. Masih ingat?? Sultan berpanjang lebar.
?Terapismu di panti rehabilitasi dulu?? Didit nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Sultan tersenyum. ?Itulah yang sebabnya mengapa sekarang aku berada di Bali. Panti rehabilitasi garapanku itu berpusat di sini. Bali adalah gerbang utama penyebaran virus AIDS di Indonesia.?
?Wow, luar biasa, Sul!? mata Didit berbinar-binar karena haru bercampur bangga.
?Yah… semuanya berjalan sesuai harapan sampai…,? kalimat Sultan terhenti.
?Sampai apa?,? tanya Didit penasaran.
?Sampai aku tahu bahwa virus HIV sudah bersarang di tubuhku,? tutur Sultan tanpa ekspresi.
?Apa?? Didit tak percaya.
?Ya, sekarang sahabat kamu ini adalah ODHA,? tegas Sultan sembari tersenyum pasrah.
?Satu kenyataan pahit yang mau tak mau, harus aku terima,? lanjutnya.
?Bagaimana bisa?? Didit tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
?Yah… Prinsip satu untuk semua yang dianut para budak drugs ketika menggunakan jarum suntik,? ungkap Sultan pahit.
Didit langsung paham apa yang ingin disampaikan sahabatnya itu. Ia terdiam dalam suasana batin yang sangat terpukul.
Kini mereka berhadap-hadapan dalam bisu.
?Bagaimana dengan kamu, Dit?? Sultan memecahkan kebisuan itu.
?Aku berhasil meraih impianku, Sul. Sekarang kamu punya seorang sahabat insinyur lulusan Jepang,? tutur Didit sendu. Ia tak pernah membayangkan akan menceritakan kebahagiaan itu di hadapan sahabatnya yang tengah bermain dengan deadline usianya.
?Selamat, Dit,? Sultan menyalami tangan sahabatnya itu dengan perasaan bangga bercampur haru.
?Jujur, aku tidak ingin menceritakan kebahagiaan ini di hadapanmu yang tengah….?
?Jangan dipikirkan berlebihan begitu, Dit,? potong Sultan meredam kegalauan sahabatnya itu.
?Bagaimana pun pahitnya, hidupku harus terus berjalan. Cepat atau lambat kematian itu akan membawaku pergi. Dengan atau tanpa penyakit ini. Sekarang pilihan ada di tanganku. Bagaimana harus menjalani hari-hariku,? Didit terdiam. Dirangkulnya sahabat yang sangat disayanginya itu.
Senja tengah menyelimuti langit sore. Dan seperti senja di kala itu, sebuah simfoni syahdu tengah mengalun indah di alam imaji keduanya. Alam imaji yang hanya bisa ditembus oleh jiwa yang berhiaskan kepasrahan dan keikhlasan. Jiwa yang di dalamnya terdapat bejana-bejana mimpi. Mimpi yang tengah diwujudkan oleh sosok-sosok tegar seperti Sultan. Mimpi untuk menapaki hari hingga sebuah ketetapan yang tak dapat dicegah harus menghentikan episode hidupnya. Hingga nanti, namanya akan terukir di lembaran kisah anak manusia yang tak berdaya di hadapan Sang Penulis Takdir.
**