Rakhmat Giryadi
surabayapost.co.id
Sastra Indonesia dibangun dari sub kultur yang menyebar di seluruh Indonesia. Sastrawan lokal memiliki andil besar dalam khasanah sastra Indonesia.
Mencermati perkembangan kesusastraan Indonesia belakangan ini, kiranya jelas bahwa poros-poros kesusastraan Indonesia di berbagai daerah makin mengukuhkan keberadaannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kesusastraan Indonesia secara keseluruhan.
Dari poros-poros itulah sesungguhnya kesusastraanh)Indonesia, tidak hanya menegaskan jati diri sastrawan di berbagai daerah, tetapi juga merepresentasikan warna-warni keindonesiaan dengan berbagai kultur etniknya.
Di sinilah pentingnya memahami lanskap kesusastraan Indonesia secara lengkap, dan tidak secara sepihak menempatkan Jakarta sebagai representasi Indonesia. Itulah konsekuensi pemberlakuan otonomi daerah yang pada gilirannya akan dapat pula menghancurkan usaha-usaha sentralitas dari komunitas tertentu.
Maka, pahamilah sastra Indonesia dari dinamika keseluruhan yang terjadi di pelosok Tanah Air. Itulah semangat multikulturalisme, semangat merayakan keberbedaan dan kesetaraan kultur etnik sebagai kekayaan Indonesia.
Sastra Indonesia adalah lanskap warna-warni sebagai potret keindonesiaan. Potret itu menggambarkan dinamika sastra Indonesia di berbagai daerah dengan segala problem sosial-budaya tempatan.
Perkembangan kesusastraan di daerah-daerah di luar Jawa yang dalam beberapa dekade menempatkan Jakarta sebagai pusat orientasi, seperti Pekanbaru, Tanjungpinang, Aceh, Banjarmasin, Jambi, Padang, Makasar, Bali, kini seperti tak peduli lagi pada Jakarta.
Aktivitas kesusastraan di Taman Ismail Marzuki atau beberapa komunitas lain di Jakarta yang kerap ditempatkan sebagai standar capaian estetik, bahkan juga dimitoskan sebagai legitimasi bagi sastrawan di luar Jakarta, kini tidak lagi diperlakukan demikian.
Begitu juga lomba penulisan novel yang biasanya heboh dan diburu sastrawan dari berbagai daerah lantaran dipandang dapat mengangkat para pemenangnya dengan reputasi nasional, kali ini gagal memposisikan dirinya sebagai salah satu tonggak penting perkembangan novel Indonesia.
Sementara itu, di kota-kota besar di Pulau Jawa sendiri, seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Banten, bahkan juga Depok, gerakan yang dilakukan para sastrawannya, makin menegaskan posisi Jakarta hanya sebagai salah satu sekrup dalam mesin raksasa yang bernama Sastra Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman kita tentang kesusastraan Indonesia kini, mutlak juga mencermati dinamika dan perkembangan kesusastraan di berbagai daerah itu.
Kesusastraan Indonesia kini, jelas tidak dapat mengabaikan peranan berbagai komunitas, kantong-kantong budaya, dan dewan kesenian yang bertebaran di seluruh Indonesia. Lihat saja serangkaian kegiatan sastra yang diselenggarakan di sejumlah kota di luar Jakarta. Mengawali tahun 2008, misalnya, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) menyelenggarakan perhelatan sastra di Kudus (20 Januari 2008) yang melibatkan lebih dari 200 sastrawan dari berbagai kota di Indonesia.
Apa maknanya perhelatan itu? Selain sebagai ajang komunikasi antarsastrawan, juga sekaligus dapat digunakan sebagai ajang unjuk prestasi, pertukaran karya, dan rencana penerbitan antologi bersama. Langkah ini tentu saja memudahkan usaha melakukan pemetaan tentang data sastrawan Indonesia berikut karya-karyanya.
Bagaimanapun juga, sejumlah perhelatan sastra itu tidak saja menunjukkan terjadinya semacam kebangkitan sastra di berbagai daerah itu, tetapi juga makin menegaskan, bahwa peta sastra Indonesia kini, tidak lagi terpusat di Jakarta.
Oleh karena itu, terlalu gegabah jika muncul klaim-klaim yang menyebutkan beberapa gelintir sastrawan Indonesia sebagai mewakili prestasi keseluruhan sastra Indonesia. Klaim itu telah menafikan keberadaan dan kebangkitan sastrawan Indonesia di berbagai daerah.
Karena itu penyelenggaraan Temu Sastrawan Indonesia II 2009, 31 Juli-3 Agustus di Pangkalpunang provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mempunyai arti strategis. Mempertimbangkan perkembangan sastra Indonesia belakangan ini, TSI II bolehlah digunakan sebagai momentum untuk, menyuburkan semangat kedaerahan dan kultur etnik dalam lanskap keindonesiaan yang juga tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan sastra dunia.
Menegaskan jati diri sastra dan sastrawan di berbagai daerah di Nusantara ini Emelalui karyanyaIsebagai bagian yang tidak terpisahkan dari identitas sastra Indonesia.
Menggencarkan publikasi khazanah sastra di berbagai daerah sebagai salah satu usaha pendokumentasian, sekaligus untuk melengkapi peta sastra Indonesia. Salah satunya melalui penerbitan antologi bersama yang merepresentasikan keterwakilan komunitas, poros sastra, dan sastrawan daerah.
Memberi ruang kepada sastrawan di berbagai daerah dalam setiap perhelatan nasional dan internasional, dan tidak lagi memanfaatkan sastrawan daerah sebagai Tuan Rumah yang bertindak sekadar menjadi penonton.
Menumbuhkan semangat kompetisi melalui berbagai kegiatan lomba dan isu-isu aktual untuk menciptakan polemik yang bertujuan menyemarakkan suasana kehidupan sastra Indonesia lebih dinamis. Cara ini juga kerap melahirkan berbagai pemikiran yang cerdas.
***