Indra Tranggono *
kr.co.id
MESKIPUN sering mengaku menjunjung tinggi kebudayaan, bangsa kita belum menjadikan kebudayaan sebagai basis pembangunan. Pendekatan yang dipakai cenderung parsial: politik dan ekonomi yang kurang mempertimbangkan asas demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Politik menjadi primadona pada era kekuasaan Orde Lama Soekarno. Atas nama “revolusi belum selesai” dan character building, Soekarno menggunakan politik sebagai panglima. Kehidupan partai politik/parpol pun sangat semarak. Bukan hanya jumlah partainya yang banyak, tapi juga ideologi yang beragam: nasionalisme (antara lain PNI), agama (Masyumi, NU), sosialisme baik yang berhaluan demokrasi (PSI, Murba) maupun yang berdasarkan Marxisme-Leninisme (PKI). Selain itu, tidak ada massa mengambang dan parpol mengambang: parpol dan konstituen berada dalam satu dinamika. Kelompok-kelompok sosial “diwajibkan” menjadi anggota atau pendukung parpol yang sesuai pilihannya.
Pada era rezim Orde Baru-Soeharto, politik dan ideologi dijinakkan dan digantikan panglima baru: ekonomi. Bermula dari menyusutnya parpol menjadi sembilan buah ditambah Golongan Karya pada Pemilu 1971, selanjutnya jumlah parpol mengalami perampingan menjadi tiga: PPP, Golkar dan PDI. Selain itu, keberadaan parpol direduksi menjadi sekadar OPP (Organisasi Peserta Pemilu) yang mengambang, seiring dengan kebijakan politik floating mass. Ideologi parpol pun akhirnya diseragamkan: Pancasila, namun dalam tafsir tunggal Orde Baru.
Tak ada lagi busa-busa ideologi. Tak ada arus dan gelombang politik yang berarti. Orde Baru-Soeharto melaju kencang dengan pembangunan ekonomi: masuknya modal-modal asing, pembangunan industri dan lainnya. Lahirlah: “kapitalisme negara”.
Rezim berganti rezim, namun main stream pembangunan negeri ini tetap pada ekonomi kapitalistis.
Kebudayaan sebagai Subordinasi
Kurang dihiraukannya kebudayaan dalam politik pembangunan di negeri ini, menurut budayawan Rendra terkait juga dengan disiplin ilmu para pendiri negeri ini yang tidak memiliki latar belakang humaniora. Kebanyakan mereka yang menginstall negeri ini, berlatar belakang ilmu-ilmu eksak (Soekarno, insinyur teknik), ekonomi (Bunga Hatta, ekonom), hukum (Sutan Sjahrir), kedokteran dan lainnya. Sangat jarang yang mempelajari humaniora/kebudayaan (Rendra: 2007).
Belajar dari masa lalu, sejumlah budayawan di Jakarta melakukan dialog untuk mengkaji dan menilai visi kebudayaan capres dan cawapres. Tujuannya antara lain, agar pembangunan negeri ini lebih memiliki visi kebudayaan. Bukan hanya menekankan pada faktor ekonomi atau hal-hal material.
Selama ini, kebudayaan cenderung menjadi media pengukuhan identitas suku bangsa, legitimasi kekuasaan (terutama nilai-nilai tradisi) dan eksotisme yang dikomodivikasi melalui industri pariwisata. Dalam perlakuan itu, kebudayaan diposisikan sebagai subordinasi ekonomi dan politik. Ia dipakai hanya ketika dibutuhkan untuk kepentingan pragmatis. Tekanannya cenderung pada kebudayaan yang tampak (tangible) dan kurang memperhitungkan kebudayaan yang tidak tampak (intangible).
Visi kebudayaan merupakan cara pandang berdasarkan nilai-nilai kebudayaan di dalam menjawab tantangan kehidupan masyarakat/kebangsaan. Kebudayaan bisa dipahami sebagai sistem nilai yang berfungsi untuk membangun peradaban manusia. Di dalamnya terkandung tiga hal mendasar yakni budaya ide (nilai-nilai), budaya ekspresi/perilaku dan budaya hasil (material).
Budaya ide mengacu pada idealisasi nilai-nilai kehidupan, di mana terjadi keniscayaan: manusia (juga bangsa) memiliki harkat dan martabat yang berbasis sistem ilmu pengetahuan, etika, moralitas, hukum, hak asasi, kesetaraan dan lainnya.
Budaya ekspresi/perilaku secara estetis dan non estetis mengacu pada pencapaian nilai ideal (berkualitas) yang berbasis etika, logika dan estetika.Sedangkan budaya hasil mengacu kepada nilai makna secara simbolik dan nilai guna secara praktis.
Menjadikan kebudayaan sebagai basis pembangunan peradaban bangsa berarti mem-break down nilai-nilai dasar baik yang berasal dari kearifan lokal (budaya suku-suku bangsa) maupun yang berasal dari budaya dunia luar (nilai-nilai universal) yang relevan dengan persoalan kebangsaan. Tekanannya adalah: melahirkan manusia Indonesia yang merdeka (berdaulat), mandiri, kreatif, memiliki karakter/identitas/integritas dan bermartabat. Tentu saja seluruh sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik harus diorientasikan kepada pencapaian itu.
Mengacu pada Universal Declaration of Human Rights dan Covenants of Human Rights yang telah diterima PBB, setiap warga negara harus dijamin hak-hak asasinya secara individual (hak kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan bergerak/aktualisasi diri); hak asasi ekonomi (hak memiliki, hak manfaat, hak membeli, hak menjual, hak memproduksi); hak asasi sosial dan kebudayaan (hak mendapatkan pendidikan hak mengembangkan kebudayaan); hak asasi keadilan (hak mendapatkan keadilan/peradilan, hak mendapatkan perlindungan); hak asasi politik (hak untuk dipilih, hak untuk memilih hak untuk berserikat).
Untuk mewujudkan semua hak warga negara. kekuasaan harus distributif. Kunci utama pembangunan berdasarkan kebudayaan adalah keadilan dan pemerataan. Bisakah para capres dan cawapres yang bertarung merebut RI-1 dan RI-2 mewujudkan hal itu? (1166-2009)
***
*) Pemerhati Kebudayaan.