Gunjingan Dua Belas

: kepada para penggunjing

Hasan Al Banna
lampungpost.com

ini gunjingan pasal yang pertama:

izinkan ini gunjingan mengganti gurindam,
agar gurindam tetap secerlang pualam.
kenali ini gunjingan bukan sebagai lawan,
agar dendam tiada meruncing menajam.
bukan bersebab gurindam surut bernasihat,
para penggunjing itu yang makin lihai bersiasat.
bukan bersebab gurindam kehilangan khasiat,
para pengunjing itu yang kian gemar berkhianat.
berbilang gunjingan bukan rekayasa belaka,
ialah isi pasal pertama.
berbilang penggunjing bagaimana cirinya,
sila baca pasal selanjutnya.

ini gunjingan pasal yang kedua:

mata siapa itu hai senyala saga?
yang mengerling sampai ke liang noda.
hidung siapa itu hai selahap gua?
yang menghidu sampai ke kerak hina.
telinga siapa itu hai sejangkau jala?
yang meringkus segala prasangka,
mulut siapa itu hai sebuas serigala?
yang mengaingkan sejagat dusta.

ini gunjingan pasal yang ketiga:

abjad disusun menjelma kata,
ternyata diberai menjadi serpihan kaca.
kata direkat mencipta kalimat,
ternyata dikerat menjadi gerombolan ulat.
kalimat diikat membentuk kisah,
ternyata dilepas sebagai sungai serapah.
kisah ditimba menebus dahaga,
ternyata dituang sebagai pasir sahara.

ini gunjingan pasal yang keempat:

kalianlah wahai yang mengait-ngait seuntai kata,
kata dieja bersimpul celaka.
kalianlah ei yang meraup-raup kerumun makna,
makna dihambur mengabarkan nista.
kalianlah wahai yang menjahit-jahit perca cerita,
cerita dihampar bercorak nista
kalianlah ei yang meracik-racik cuka.
cuka disiram ke jantung luka

ini gunjingan pasal yang kelima:

apabila lidah kalian bermain api,
maka terbakarlah ranggas tubuh ini.
apabila hati kalian bersimbah dengki,
maka tercerabutlah tunas puji ini.
apabila akal kalian sewujud gari,
maka terkuncilah angan tangan ini.
apabila pikir kalian selancip belati,
maka tersayatlah hasrat kaki ini.

ini gunjingan pasal yang keenam:

ini aku deraikan serenyah tawa,
kalian umpamakan itu rentetan sendawa.
ini aku sodorkan sekedipan mata,
kalian misalkan itu isyarat sengketa.
ketika aku ajukan sapa sedenting,
kalian ibaratkan gonggongan anjing.
ketika aku sempurnakan mata berpicing,
kalian amsalkan muslihat kucing.

ini gunjingan pasal yang ketujuh:

jika aku kirim sejulur salam melalui tangan,
siapa gerangan yang menyambutnya dengan sengatan.
jika aku mulai sejejak langkah lewat kaki kanan,
siapa gerangan yang menyandungnya dengan rintangan.
jika maaf datang dari jemariku yang terjalin,
siapa gerangan yang menerkanya bak bangkai patin.
jika rampak datang dari tarianku bernama zapin,
siapa gerangan yang menaksirnya bak lenggok jin.

ini gunjingan pasal yang kedelapan:

alahai semurni budiku mereka sepuh imitasi,
tentu sebiji aib mengilapkan keji.
aduhai sebiji aibku mereka asah ribuan kali,
lah riwayat badan menanggung nyeri.
amboi riwayat badanku mereka tabur duri,
tentu makam kelak tak diziarahi.
ohoi makamku mereka sebut belukar sunyi,
lah nisanku tak perlu diberi.

ini gunjingan pasal yang kesembilan:

tiada guna rahasia diri aku pagari,
tentu ada yang menebas dengan gergaji.
tiada manfaat rerumput alpa aku siangi,
senantiasa ada yang memupuk setiap hari.
apalah arti sabun sewaktu mandi,
jikalau wangi disebut aroma basi.
apalah makna cermin saat berhias diri,
jikalau rapi diucap penyakit hati.

ini gunjingan pasal yang kesepuluh:

tatkala lirikanku adalah embun sejernih,
mereka katakan jarum sepedih.
tatkala riangku adalah siul sehembus,
mereka namai kentut seletus.
tatkala pandanganku ialah payung seteduh,
mereka tafsirkan gelagat teluh.
tatkala senyumanku ialah danau sebening,
mereka olok ranting kering.

ini gunjingan pasal yang kesebelas:

sekali masa aku rentakkan ketepak marwas,
mereka anggap ceracau yang pedas.
sekali masa aku dentingkan dawai gambus,
mereka seru irama yang tandus.
tiba masa aku kenakan teluk belanga selaras gaun raja,
mereka kata sempurna jelata.
tiba masa aku pamerkan lukisan alam laksana surga,
mereka kasih ponten neraka.

ini gunjingan pasal yang kedua belas:

pernah aku hidangkan sajak bergelimang irama,
mereka tuding onggokan tinja.
pernah aku lantunkan pantun raja penuntun,
mereka tuduh tumpukan racun.
pernah aku dendangkan syair lipatan empat,
mereka gelar selaksa umpat.
telah aku nandungkan gurindam milik Raja Ali Haji,
mereka cemooh fakir arti.
maka akan aku sajikan gunjingan dua belas ini,
meski mereka cela bait-bait nazi.

Medan, 2008

*) Lahir di Padangsidimpuan, 3 Desember 1978. Menulis di Lampung Post, Suara Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Koran Tempo, Kompas, Horison, Tapian, dan Gong. Salah satu cerpennya berjudul Tiurmaida terangkum dalam antologi 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 versi Anugerah Pena Kencana Award.

Leave a Reply

Bahasa ยป