Rakhmat Giryadi
surabayapost.co.id
Jika ke huma membawa pepah
Pepah bertiti berpagar duri.
Alamnya indah rakyatnya ramah
Inilah Negeri Laskar Pelangi
PANTUN di atas diucapkan Gubernur Bangka Belitung H Eko Maulana Ali pada awal sambutan. Sontak ruang Mahligai Serumpun Sebalai riuh rendah oleh tepuk tangan hadirin, para sastrawan seluruh Indonesia.
Sang gubernur pun melanjutkan pantunnya, “Andai tumbuh bunga di laman, Semat pinang mari menari. Wahai tuan para sastrawan, Selamat datang di negeri kami.” Pantun ini juga disambut tepuk tangan.
Ruang Mahligai Serumpun Sebalai merupakan bagian dari Gedung Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Air Itam. Letaknya di Jl Pulau Mendanau, sekitar 1 km dari Kota Pangkalpinang. Di tempat itulah, “Temu Sastrawan Indonesia II 2009” dibuka Kamis (30/7 malam dan berakhir Minggu (2/8) besok.
“Di tangan para sastrawan perkembangan peradaban bangsa dapat ditentukan. Sastrawan punya tanggungjawab besar untuk membantu proses pembangunan bangsa,” tutur Gubernur Eko Maulana Ali dalam kesempatan ramah tamah.
Malam itu, Gubernur Eko Maulana Ali menyambut para sastrawan dengan kekhasannya sebagai orang Melayu. Gubernur menyatakan, kehadiran sastrawan di Babel akan menjadi agent of change yang berperan membangun Bumi Serumpun Sebalai, Negeri Laskar Pelangi.
Selain musik gambus berirama Melayu, duet pantun Saad Toyid dan Karyo Kurawa menghibur para sastrawan. Keduanya dikenal duet pemantun yang sudah cukup dikenal di ranah Melayu. Kedua pemantun ini sempat meraih prestasi pemantun terbaik se-Asia Tenggara. Kehebatannya dalam berpantun ditunjukkan saat berbalas pantun dengan cerpenis Hamsad Rangkuti. Hamsad pun “knock out” di tengah jalan, karena kehabisan kata-kata untuk merangkai pantun.
Tidak kalah menariknya pembacaan puisi bahasa daerah Bangka oleh Wahar Saxsono. Meski sulit dicerna, pembacaan Wahar mendapat sambutan dari para sastrawan, karena penampilannya yang ekspresif.
Inilah yang kemudian dikatakan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Babel, Yan Megawandi, bahwa sastra lokal mempunyai andil besar dalam perkembangan sastra kontemporer Indonesia. Eksistensi sastra lokal, kata Yan Megawandi, harus dipertahankan sebagai bagian dari khazanah dan peta sastra Indonesia kini.
Usai perang pantun dan sambutan dari Yan Megawandi, para sastrawan disuguhi makanan khas Bangka. Kemplang (kerupuk), pantiaw, model, empek-empek, panekuk, otak-otak, dan tekwan yang disajikan secara prasmanan, ludes dilahap undangan.
Sebenarnya, nuansa Melayu sudah ditawarkan sejak menyambut sastrawan datang di Bandara Pangkalpinang, Depati Amir. Dengan pakaian adat khas Bangka Belitung, penjemput membentangkan karton bertuliskan “Temu Sastrawan Indonesia 2.” Di lobi penjemputan bandara yang dikelola PT Angkasa Pura II dan baru dibuka tahun 2007 lalu itu, dipasang bener bertuliskan Visit Bangka Belitung Archiphelago 2010.
Meski hanya memiliki satu trak, bandara Depati Amir tergolong sibuk. Dalam sehari, terdapat sepuluh kedatangan pesawat dari Jakarta. Sriwijaya air saja misalnya, Jakarta-Pangkalpinang pulang pergi mempunyai jadwal 4 kali penerbangan. Sementara maskapai yang lain, rata-rata mempunyai jadwal penerbangan 2 kali dalam sehari.
Sementara itu di hari tertentu dua maskapai lain datang dan pergi dari Palembang-Pangkalpinang. Inilah yang unik, mereka yang datang dari Riau, Lampung, Padang, yang datang dengan pesawat terbang, terpaksa harus lewat Jakarta baru terbang kembali ke Babel. “Kalau lewat laut, bisa sampai 8 jam perjalanan,” cerita Tarmizi sastrawan Batam, Kepulauan Riau.
Temu Sastrawan Indonesia II diawali hari Jumat (31/7), membahas tiga tema besar. Antara lain “Merumuskan Kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas”, “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial”, dan “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subjek Pascakolonial”.
Dalam diskusi hari pertama kemarin, memang tidak terusmuskan kembali sastra Indonesia baik dalam definisi, sejarah, maupun identitasnya. Dalam kesempatan itu muncul pertanyaan sekaligus gugatan terhadap kanonisasi sastra yang dihembuskan oleh kelompok tertentu.
Kanonisasi sastra merupakan bentuk “koloni” baru bagi sastra Indonesia. Menurut Saut Situmorang, kanonisasi sastra Indonesia memiliki agenda politik terselubung, yaitu eklusivitas sastra. “Politik ini menaifkan karya yang berada di luar kanon,” kata Saut.
Agus R. Sarjono juga ragu-ragu merumuskan sastra Indonesia pascakolonial seperti apa. Persoalannya pembacaan sastra pascakolonial begitu rumit. Para ahli pun, menurut Agus, banyak berbeda pendapat mengenai istilah pasca, kolonial, dan pascakolonial.
Agus malah menggambarkan sastra Indonesia didominasi gambaran rumah yang hilang, retak, hancur, atau tak tergapai. Artinya, kata Agus, selepas kolonialisme para sastrawan Indonesia sebagaian besar tak berumah.
Kajian atas lahirnya bangsa sebagaimana direpresentasikan dalam novel Keluarga Gerilya (Paramudya Ananta Toer) dan Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), menurut Agus, berakhir pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri tanpa rumah.
Keragu-raguan Agus berakhir pada harapan, “Selepas pertemuan ini, ada baiknya para akademisi mulai bersungguh-sungguh mengkaji masalah ini agar kita mendapat gambaran memadai atas status pascakolonial sastra kita.”
***