Achmad Hairuddin
http://www.surabayapost.co.id/
Sampai saat ini, Hairuddin Sastra masih mengelola tabloid lokal bernama Dinamika Madura. Meski tabloid ini berbahasa Indonesia, namun Hairuddin tidak melupakan bahasa daerahnya. Ia pun membuat rubrik khusus berbahasa Madura. Meskipun ada pemasang iklan maupun pelanggan yang mangkir dari kewajiban membayar, Hairuddin berupaya sekuat tenaga untuk tetap menghidupkan tabloidnya.
Jiwa kewartawanannya memang sudah mendarah daging sehingga Hairuddin tak pernah ingin berhenti menjadi insan pers. Mantan wartawan Surabaya Post era 80-an yang pernah mendapat penghargaan sebagai wartawan teladan tingkat Madura dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Sampang pada 1984 itu bertekad akan tetap bergelut dengan dunia jurnalistik sampai akhir hayatnya.
Ketika bercerita tentang karir jurnalistiknya, Hairuddin mengungkapkan kalau ia merintis karier sebagai reporter Radio Republik Indonesia (RRI). Waktu itu jumlah wartawan di Madura masih sangat minim, sehingga Hairuddin Sastra terpaksa merangkap menjadi wartawan media cetak. Berangkat dari pengabdian tersebut, pensiunan Kepala Tata Usaha SMAN 1 Sampang itu semakin mencintai dunia jurnalistik.
Dari berbagai pengalaman selama menekuni dunia wartawan, ia menuturkan ada sebuah pengalaman yang paling berkesan. Dia pernah mendapat ancaman dari salah seorang pengurus koperasi yang tidak suka dengan isi beritanya yang dimuat Surabaya Post yang dinilai terlalu memojokkan pengurus tersebut.
“Bahkan saya pernah dipanggil Kejaksaan karena menulis tentang terdakwa kasus pencurian mobil yang divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Pamekasan. Terdakwa tidak terima dengan tulisan saya sehingga melaporkan kepada Kejaksaan dengan tuduhan saya telah melakukan pencemaran nama baik,? kenang Hairuddin.
?Saking santernya kasus itu, sampai dibawa ke Dewan Pers, apalagi terdakwa menuntut secara perdata dengan ganti rugi uang sebesar Rp 100 juta. Untungnya nara sumber dari Polwil Madura ikut bertanggung jawab atas isi pemberitaan itu. Pihak Kejaksaan akhirnya tidak melanjutkan gugatan itu karena data yang saya sampaikan cukup akurat,” tutur Hairuddin mengenang kejadian 1984 silam itu.
Dibandingkan dengan wartawan di era sekarang dengan berbagai fasilitas teknologi informasi yang sudah sangat canggih, fasilitas di zamannya jauh berbeda. Dengan fasilitas yang sangat minim, kata Hairuddin, wartawan saat itu justru memiliki semangat profesionalisme dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
?Secara pribadi saya sangat menyayangkan sikap wartawan generasi muda yang sering melanggar kode etik jurnalistik, sehingga terkesan tidak profesional. Keberadaan wartawan karbitan yang kini semakin menjamur juga sangat memprihatinkan. Hanya bermodal kartu pers tanpa didukung media yang jelas, mereka sekadar mengejar materi. Tentu saja ulah oknum wartawan yang tidak terpuji itu akan mencoreng citra profesi wartawan sebagai penyampai informasi yang bertanggung jawab,” kata bapak empat anak itu.
Dia mengimbau agar kebebasan pers jangan disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas, lalu seenaknya menabrak norma-norma sosial dan budaya. Kebebasan pers adalah yang bertanggung jawab dan tetap mengedepankan kode etik dengan pemberitaan yang seimbang tanpa ada unsur yang bersifat tendensius.