Sebuah Antologi Jejak Sastra Indonesia

Judul buku : Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan
Penulis : An. Ismanto, dkk.
Penerbit : I:BOEKOE, Yogyakarta
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 1001 hlm
Peresensi : D. Suryadi
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Harus dipahami baik-baik bahwa buku ini tidak bermaksud mengajukan suatu daftar “buku-buku terbaik” ataupun “buku-buku terpenting”. Tujuan utama buku ini ialah pertama-tama untuk menemui buku-buku karya sastra yang menjadi penopang utama Pax Literaria Indonesia. (A.N. Ismanto)

DARI Student Hidjo yang ditulis Mas Marco Kartodikromo pada 1919 hingga karya fenomenal Andrea Hirata, Laskar Pelangi yang terbit pada 2005. Dua buku itu menjadi awal dan akhir dari buku yang diterbitkan I:BOEKOE dalam Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan.

Buku yang menurut salah seorang editornya, An Ismanto, mencoba merangkum jejak-jejak yang tertoreh lewat karya sastra, baik dalam kategori sastra lama maupun sastra masa kini. Menurut Ismanto, terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk memilah dan memilih karya-karya sastra yang dianggap patut dimasukkan ke daftar, antara lain: karya sastra berbahasa Indonesia dari semua genre, kemudian berkategori “mengguncang” dunia kesusastraan Indonesia, serta memberi pengaruh pada masyarakat. Dengan bersandar pada ketiga kriteria tersebut, buku atau karya sastra yang dipilih tidak memperhatikan klasifikasi ihwal sastra serius atau sastra populer. Yang diutamakan lebih pada upaya merangkum semua gejala sastra di Indonesia.

Buku-buku tersebut, kata dia, dipilih tanpa begitu mementingkan periodisasi yang telah baku maupun siapa pengarang yang telah menciptakan karya. Ismanto mengatakan, “Memang ini bukan cara membicarakan sastra yang “ilmiah”, namun paling tidak dengan cara ini telah dibuka suatu ruang dialog untuk bertegur sapa dengan sang karya dan juga dengan penilaian yang beragam atasnya.”

Kategori “mengguncang” itu misalnya, bisa kita dapatkan dari buku Student Hidjo, yang barangkali relatif jarang kita dengar saat berbicara tentang karya sastra lama. Padahal, buku tertua dalam daftar Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan ini ternyata memiliki sejarahnya sendiri. Pada masanya, Student Hidjo dikategorikan sebagai “bacaan liar”, yaitu golongan bacaan yang dianggap “menyebar kebencian kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda”. “Keliaran” itu kian kental bila mengingat novel ini ditulis Marco sewaktu dibui oleh pemerintah kolonial lantaran kasus pers. Sebagian kalangan masih mengkategorikan novel ini sebagai karya sastra, dengan mengklaim sebagai salah satu perintis sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Dalam konteks demikian, buku tersebut memberi catatan penting kala kita kemudian mencoba mengkaji perkembangan karya sastra negeri ini dari masa ke masa.

Tentu saja, akan muncul pertanyaan seberapa “empiris” klasifikasi dalam menyusun “daftar” seratus buku sastra ini. Nuansa subjektivitas akan kental terasa oleh para editornya yang terdiri atas An. Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M. Dahlan, dan Taufik Rahzen. Dalam acara peluncuran buku tersebut beberapa waktu lalu, penyair muda Tia Setiadi, misalnya, mempertanyakan kenapa buku bergenre seperti Cintapucino, cerita-cerita silat, Karmila, dan komik –ada sekitar sepuluh buku jenis ini– juga diikutsertakan. “Mestinya ada buku sendiri untuk mengungkap fenomena itu,” kata Tia.

Di luar itu, bagaimanapun, seratus buku dalam buku ini merupakan pilihan dari ratusan buku sastra Indonesia yang pernah terbit sejak awal abad ke-20 hingga kini. Dengan ketebalan 1001 halaman, kiranya bisa menjadi rujukan sudah sejauh mana perjalanan karya sastra Indonesia dalam rentang seratus tahun. Paling tidak, ia mencoba merangkum semua gejala sastra Indonesia yang pernah ada dan terdokumentasikan dalam bentuk buku.***

Leave a Reply

Bahasa ยป