Afnan Malay*
http://www.jawapos.com/
IVAN Haryanto, perupa pengusung gaya pop art, memamerkan 18 lukisan cat minyak terbarunya di Emmitan CA Gallery Surabaya, 8-22 November 2009. Kesemuanya merengkuh representasi utama kota-kota yang kini tumbuh di belahan dunia mana pun, tidak terkecuali Surabaya. Representasi itu dihadirkan Ivan melalui visiblecity berupa lanskap bangunan gigantis, pendaran gemerlap lampu kota. Dan seperti kata Wahyudin, kurator pameran, sebagai relief globalisasi (mal-mal, McDonald’s, Carrefour). Apakah Ivan menyodorkan realitas yang jengah?
Sama sekali tidak. Ivan memang angkatan perupa 70-an yang pernah menjadi eksponen kelompok Seni Rupa Berkepribadian Apa. Gerakan yang sempat menyuarakan kritik atas realitas sosial yang berlangsung. Secara visual pokok perupaan garapan Ivan tidak berhubungan dengan apa yang terjadi dalam proses berkeseniannya pada masa lalu. Mungkin, benang merah yang tersisa, hanyalah teknik realisnya.
Karena itu, yang utama, kepedulian Ivan lebih tertuju untuk menyuntuki detil demi detil objek-objek yang dilukisnya. Setidaknya, untuk menguji kecintaan Ivan pada detil dapat dikisahkan dengan baik dalam The Reflection Of The Doors At Plaza Surabaya dan Reflection Of Panglima Sudirman Street Jakarta. Juga The Expo Text At The Gramedia Building, The Reflections In Front Of Galaxy Mall Surabaya, McDonald’s Surabaya Plaza. Objek-objek mengilap itu tidak diberati pretensi apa-apa, apalagi ideologis.
Sekalipun kita tidak mungkin berkelit dari benda-benda dan panorama yang menjadi objek lukisan Ivan merupakan buah kerja panjang kapitalisme global. Fenomena globalisasi mulai merangsek pasca bangunan Soviet secara sistematis digerogoti sendiri oleh pemimpinnya: Mikhail Gorbachev (1985-1991). Gorbachev menawarkan tiga pilar, yaitu glasnost (keterbukaan politik), prestroika (restrukturisasi ekonomi) yang sangat populer, serta uskoroniye (percepatan pembangunan ekonomi).
Itulah masa awal ketika murid-murid sekolah kita beradu cepat menghapal globalisasi. Sesuatu yang pada mulanya disangka banyak orang gejala alamiah belaka: tak ubahnya hujan. Tetapi di sana-sini sebenarnya ada yang menampik. Sebutlah sepenggal marjunal yang sempat saya saksikan, sebuah kelompok masyarakat di Thailand yang menamakan dirinya Assembly of the Poor menggalang demonstrasi masif menolak pembangunan dam yang menenggelamkan kampung halaman mereka (2000). Saat mereka berdemo di Bangkok poster kecil terselip di kerumunan massa. Bunyinya, globalization is tyrant.
Rentetan penolakan globalisasi selalu mengiringi setiap kali pemimpin negara-negara kapitalis bertemu mendesakkan siasat baru. Menghasut negara-negara sub-kapitalis untuk memberi kata sepakat. Kita saksikan, aktivis anti-globalisasi, bahkan mengepalkan tangannya pada sang panutan global di Eropa (Barat) dan Amerika.
Karya-karya Ivan tentulah tidak sedang memeriksa apakah globalisasi itu tiran atau ilusionis penyulap kota-kota dunia yang nyaris seragam. Ivan tidak dalam upaya kembali mengasah ketajaman kritik (visualnya) atas realitas sosial yang menggeliat. Sebab, siapa pula, hari-hari ini, setidaknya para penghuni kota yang kikuk sewaktu menyeruput kopi di ruang kafe-kafe berpendingin? Atau sesekali menyeruak di sela mobil-mobil bisu saat melintasi show room atau rekayasanya yang biasa menjelma dalam ruangan luas di mal-mal. Bisa pula sekadar mengayun langkah sambil mematut diri laksana kurcaci di hadapan rimbunan gedung-gedung?
Realisme global itu sungguh menyita kanvas Ivan. Pertaruhan Ivan pada akhirnya terletak pada seberapa kuat disiplinnya menjaga detil objek lukisannya. Situasi yang tentu saja menghidarkan Ivan dari beban memunguti kontrakdiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik sekujur tubuh realisme global: melucuti kesetiaannya kepada detil.
Tetapi, pada Emotionalsign With The Newspaper rigiditas detil benda-benda realis Ivan sedikit longgar. Ia tergoda membuat kombinasi lewat empat koran yang sebenarnya tidak relasional. Kombinasi merupakan bentuk improvisasi. Masih adakah peluang yang membuka ruang bagi improvisasi dalam realisme global? Atau tidakkah yang kita saksikan dalam arus globalisasi adalah keragaman yang dipandu (dirijennya negara pemilik paten kapitalisme) daripada keragaman yang satu? Objek lukisan Ivan sepantasnya mengabaikan godaan improvisasi. Kekuataannya terkunci teknis realis yang mengabdi detil.
Begitulah, tumpuan realisme global kurang lebih senapas dengan lukisan realis yang dikerjakan Ivan: detil yang rinci, tampilan yang resik, dan bersifat terukur. Ivan tidak eksplisit terlibat untuk menyodorkan interupsi terhadap rangkain aktivitas komersial yang terwakili dalam objek lukisannya. Misalnya, mal dan gedung (lokasi), hamburger, McDonald’s, Bread Talk (konsumsi), mobil-mobil dalam pajangan (transportasi).
Sungguh, tidak ada alamat yang hendak dituju Ivan. Sekalipun bisa saja lukisan Ivan yang gagah nan kinclong itu ketika kita masuki mewartakan kehampaan. Realisme global merupakan pertunjukan yang hiruk sekalipun tidak inspiratif: memasalalukan kelengangan yang reflektif.
Seturut keindahan yang memenuhi kanvas Ivan kita melihat realisme global menggandeng benda-benda yang menyirat: kaku, angkuh, otonom. Tapi, siapa yang bertugas menghadangnya? Bukankah kekakuan- keangkuhan-otonomitas adalah pesona realisme global yang (mungkin diam-diam) ingin kita rengkuh? Karya-karya Ivan memang tidak mempercakapkkan kontradiksi-kontradiksi –setidaknya– pada ikon-global globalisasi. Tugas pertama-tama perupa, dengan atau tanpa imbuhan ideologi apa pun, adalah menghadirkan pesona visual. Dan itulah yang telah dikerjakan Ivan. (*)
*) Pemerhati seni rupa, pernah kuliah di ISI Jogja.