Rhoma Dwi Aria Yuliantri
http://jurnalnasional.com/
Pengantar
Tahun 2007 adalah seabad pers nasional. Tarikh ini dihitung sejak Medan Prijaji terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan Prijaji adalah tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi. Dan dua kegiatan itu menjadi gong yang ditalu dengan nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu: Raden Mas Tirto Adhi Surjo.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Sementara pada 2006, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyempurnakan gelar itu menjadi Pahlawan Nasional atas jasanya menggerakkan kesadaran merdeka lewat jalan organisasi modern dan pergerakan nasional.
Memperingati seabad pers itulah Jurnal Nasional menghadirkan 365 koran terpilih yang pernah/sedang ikut membangun nasionalisme dan tradisi berbangsa dalam 365 hari terbit. Terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2007.
Horison yang hadir hari ini adalah majalah sastra yang terbit setelah pertikaian mazhab berkesenian redup dengan tersungkurnya Lekra. Majalah ini pula membawa harapan baru bahwa tradisi sastra kian mengkilap dan menjadi hero di pentas dunia. Mungkin karena tiada saingan yang berarti, prestasi majalah ini mendorong kreativitas menjadi majal. Ia menjadi satu-satunya “penentu” hitam-putihnya cara bersastra. Namun kini kehadirannya mulai redup karena datangnya gelombang zaman di mana sastra mengalami pluralisasi medium rekam.
(Taufik Rahzen)
“Selalu aku berdoa kiranya HORISON kita tidak sampai menghadapi kebangkrutan. Namun tampaknya majalah sastra ini tidak maju-maju juga, bahkan tidak lebih baik isinya ketimbang tahun-tahun tujuh puluhan dahulu, kalau tidak dikatakan lebih buruk.”
Surat itu tersiar di rubrik “Surat-surat” majalah Horison No. 6 tahun 1986, dua puluh tahun lebih sejak majalah sastra itu pertama kali terbit. Penulisnya Aliefya M. Santrie, cerpenis asal Bandung. Kini, bagaimana keadaan Horison?
Bangkrut, jelas tidak. Masih kerap telat terbit, dengan kualitas cetak yang tak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, majalah ini “berjaya” seperti ditulis Santrie: “Dengan begitu aku berdoa untuk kejayaan HORISON kita di tengah-tengah relatifnya kriteria penilaian sastra.”
Didirikan dua sastrawan (Mochtar Loebis dan Taufiq Ismail), seorang pelukis (Zaini), seorang pengusaha media (P.K. Ojong), dan seorang sosiolog (Arief Budiman), Yayasan Indonesia menerbitkan Horison perdana pada Juli 1966. Edisi yang didanai P.K. Ojong ini masih amat bersahaja, dengan kertas koran dan hitam putih, tidak menggunakan mesin offset pula. Namun demikian, tetap muncul tunas harapan akan lahirnya ruang kesusastraan baru pascaruntuhnya Orde Lama. Dalam edisi 2 Agustus 1966, HB. Jassin menulis “Angkatan ’66 Bangkitnya Satu Generasi”.
Begitulah, Horison lahir untuk melahirkan generasi-generasi sastra baru. Ruang itu saban tahun semakin kukuh. Nama-nama seperti Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM., Hamid Jabbar, Hamsad Rangkuti, dan Sutardji Calzoum Bachri, yang didaku sebagai sastrawan-sastrawan terbaik negeri ini, tak dimungkiri tumbuh bersama Horison.
Sebagai ruang publikasi sastra, Horison “berjaya” berkat “keberuntungan”. Dia tumbuh nyaris tanpa pesaing. Beberapa tahun sejak lahirnya Horison, majalah-majalah kebudayaan lain pailit dan ambruk. Tahun 1968 majalah Cerpen bangkrut, tahun 1969 majalah Sastra menyusul. Horison sendiri lahir pada tahun-tahun yang mulai tenang, setelah riuh-tikai antarmazhab kesenian padam dengan kemenangan satu mazhab tertentu. Di sinilah kemudian ruang sastra ini tidak lagi bersih, tetapi mengandung bibit intrik dan acap pula permainan mata.
Maka, ketika majalah ini membiak besar, ada yang menyesalinya. Bibit resistensi muncul sejak tahun 70-an. Pada 8 September 1974 para penyair di Bandung menggelar Pengadilan Puisi. Slamet Sukirnanto mendakwa Horison sebagai “majalah keluarga” yang menjerumuskan perpuisian Indonesia pada kondisi penuh manipulatif lewat anutan estetika tunggal.
Peristiwa itu menyiratkan begini: “Pengadilan Puisi”, yang padahal isinya “pengadilan Horison”, menunjukkan majalah itu menjadi representasi puisi Indonesia. Sastra Indonesia ya Horison. Boleh saja Budi Dharma berpendapat kelahiran seorang sastrawan punya syarat memublikasikan sastra di koran atau majalah atau menulis buku sastra atau bergiat di kesusastraan, tapi adagium “kesastrawanan seseorang baru diakui bila sudah menulis di Horison” tampaknya kadung menguat.
Kalau pada masa-masa itu Horison hadir tanpa pesaing, pada 1990-an dia mulai digerogoti kehadiran rubrik-rubrik sastra di koran. Selain itu, majalah yang berkantor di Jakarta ini direcoki pula oleh semangat ketidakpercayaan atas pusat sebagai mitos dan legitimasi nilai, hingga memicu munculnya gerakan revitalisasi sastra pedalaman.
Maka, Horison mesti berubah, meski perubahan itu mendekat pada kisruh. Di tengah isu perubahan pengelolaan, pada 1993 Horison ditinggal beberapa orang pendiri dan anggota Yayasan Indonesia serta beberapa redaktur, yaitu Ali Audah, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, dan Aristides Katoppo.
Namun, perubahan harus tetap berjalan. Dan Horison kemudian bersiasat untuk menggarap wilayah usia belia. Sejak tahun 1996, Horison mengadakan gerakan yang dinamai Sepuluh Gerakan Horison, dengan target generasi muda. Gerakan ini berisi program: penerbitan sisipan Kakilangit, Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB), pendidikan dan pelatihan MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra), Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP), dan Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS).
Selain itu, ada Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM), Sanggar Sastra Siswa Indonesia dan Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSSI dan SSRI), penerbitan antologi Horison Sastra Indonesia (HSI), penerbitan antologi Horison Esei Indonesia (HEI), serta Lokakarya Pengembangan Apresiasi Sastra Daerah (LPASD).
Siasat tersebut tentu saja juga terkait dengan pendanaan. Penyuplai dana Horison di antaranya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan begitu, programnya tentu disesuaikan dengan semangat departemen itu. Kedubes Jerman pernah pula mendanai penerbitan Horison. Hasilnya, satu edisi penuh majalah bulanan ini berisi tokoh sastra Jerman serta cerpen hasil lomba yang diadakan oleh Kedubes Jerman. Adakah kemudian yang muncul sebagai sastrawan baru? Belum pasti.
Buktinya, sampai kini pun majalah yang intens menggarap kebudayaan dan kesusastraan di Indonesia masih itu-itu juga: Horison. Tak banyak yang mau berkecimpung-berenang di wilayah ini. Dan entah idealisasi, merasa cukup diri dengan suntikan donasi, atau sebab tak pandai, Horison tak memanfaatkan peluang mencari uang. Nyaris tak ada iklan penangguk di lembar-lembarnya.
Tanpa saingan di negeri berpenduduk dua ratus juta lebih-yang kata Taufik Ismail, satu-satunya pendiri dan orang yang masih aktif berkiprah di majalah ini, mestinya punya 240 majalah sastra-memang acap membuat nyaman. Barangkali saja demikian. Tapi, bila Anda percaya ungkapan tak populer ini: tanpa saingan membuat tak kreatif, Anda akan merasakan perbedaan. Itu yang dirasakan Aliefya M. Santrie dua puluh tahun lalu: sebab dialah satu-satunya bukti sastra Indonesia ada, berharap Horison tak bangkrut; sekaligus pesimis masa depan langit sastra Indonesia tak penuh sengkarut.