Ibu Jangan Jadi Hantu

Mardi Luhung
jawapos.com

1. Buku Harian

Terus terang, ada satu hal yang mengganjal dalam hidupku. Hidup yang sudah berumur 50 tahun ini. Yaitu aku tak sempat membahagiakan ibu. Ibu yang sudah meninggal. Dan hal yang mengganjal itu telah aku tulis di buku harianku. Buku harian tebal. Bergambar wanita muda yang berleha-leha di sebuah dermaga. Dengan latar jangkar mengangkang. Jangkar besar, kukuh, kenyal, dan berminyak.

Dan wanita muda itu tampak ketawa. Giginya rancak rapi. Tapi, karena aku usil, beberapa gigi itu aku hitami dengan spidol. Jadinya, he he he, ketawa wanita muda itu pun lebih mirip ketawa nenek sihir. Nenek sihir yang kehilangan sapu terbangnya. Nenek sihir yang selalu memanjat pohon. Mencari ketinggian. Agar dapat dilihat, jika sewaktu-waktu sapu terbangnya lewat di angkasa. Lalu dipanggilnya: ”Balik, baliklah sapu terbangku!”

Tapi, karena kehilangan adalah kehilangan, maka sapu terbang itu tak pernah lewat lagi. Angkasa tetap kosong. Dan nenek sihir pun tetap begitu. Tetap sendiri dan sepi. Sendiri dan sepi! Ah, aku melihat air mata nenek sihir menetes. Dan di air mata itu sebuah perahu menyembul. Perahu yang seperti bergegas. Bergegas ke mana? Segenap arah yang ada, seperti menjelma selang-seling yang tumpang-tindih. Tak ada atas. Tak ada bawah. Apalagi samping kiri dan kanan.

2. Kaki Ibu

”Kau tak bisa terus-terusan menolak permintaan ibumu.”

”Kenapa?”

”Berdosa.”

”Berdosa?”

”Jelas. Sebab, sorga berada di telapak kaki ibumu.”

Itu nasihat tanteku. Tanteku dari garis ibu. Tanteku yang pernah mendalami beladiri. Tapi berhenti, lantaran diprotes suami dan anak-anaknya. Sebab, setiap melihat tembok selalu saja ditendang dan dijotos. Atau kadang-kadang malah ditabrak dengan tubuhnya. Sebagai latihan.

Dan, ketika mendengarnya, he he he aku jadi geli. Sebab di samping aku begitu gerah dengan sosoknya, aku juga merasa nasihat tanteku sangat basi. Dan perlu untuk sedikit digoda: ”Tapi, Tante, itu hanya cocok untuk priyayi zaman dulu.”

”Priyayi zaman dulu?”

”Ya. Sebab, priyayi zaman dulu, termasuk ibu-ibunya, kan jarang keluyuran. Kakinya pun bersih-bersih.”

”Maksudmu?”

”Begini, ibuku kan bukan priyayi. Dan sukanya pun keluyuran. Aduh, bagaimana jadinya, jika waktu keluyuran itu kakinya menginjak tai. Apa sorga tidak bau?”

Ah, tanteku muntab. ”Anak gendeng. Berdosa kau!” Terus pergi. Membanting pintu kamar. Pintu kamar pun bergetar keras. Hampir copot. Dan 10 tahun kemudian, setelah ibu meninggal, baru aku sadar jika nasihat tanteku ada benarnya. Jika aku memang berdosa pada ibu. Berdosa dengan tidak sempat membahagiakannya. Berdosa dengan belum kawin sampai kini.

3. Menyukai Lelaki

Kawin? Ya, ya, aku memang belum kawin. Padahal, masalah kawinlah yang diminta ibu padaku saat masih hidup dulu. Bahkan, saking memintanya, ibu tak segan-segan menawari aku dengan sekian wanita. Dengan sekian kecantikan dan pola. Dan dengan sekian warna kulit yang berbeda-beda.

Ada yang berkulit kuning, kuning yang mulus. Ada yang berkulit hitam, hitam yang magis. Dan ada yang berkulit cokelat, cokelat yang menggiurkan. Sampai-sampai, setiap melenggang di jalan, banyak yang merubungnya. Menjawilnya. Mencowelnya. Dan menjilatinya seperti menjilati permen cokelat kelas satu. Tapi, apakah aku mau?

Aku tetap tak mau! Dan waktu itu, ibu jadi kecewa. Sambil mendekap foto bapak yang meninggal waktu aku balita, ibu bersenggukan: ”Mas, Mas, anak tunggal kita ini lagi-lagi tak mau kawin? Mau jadi apa dia? Ayam saja mau kawin dan berbiak. Apa manusia tak mau kawin dan berbiak? Dosa apa kita ini, Mas?”

Ah, mendengar ini, aku merasa dunia tiba-tiba mengerut. Mengerut jugalah tubuhku. Tak ada suara-suara yang dapat aku dengar dengan jernih. Dan aku cuma bisa menggumam seperti ini:

”Ibu, ibuku yang tercinta. Bukan aku tak mau kawin dan berbiak. Cuma aku tak tertarik pada wanita. Termasuk pada sekian wanita yang kau tawarkan itu. Aku hanya tertarik pada sesama lelaki. Dan aku tak tahu, mengapa diriku seperti ini? Apakah aku aneh di matamu? Apakah aku aneh?”

Dan malamnya, seperti biasa, setelah menggumam aku bermimpi. Mimpi ketemu ibu. Ibu yang masih mendekap foto bapak. Di dalam mimpi itu, ibu tampak gelisah. Tubuhnya mengambang. Kedua kakinya tertutup kabut. Aku jadi ingat pada film-film hantu yang belakangan membeludak. Hiiii… apakah ibu telah jadi hantu? Hantu penasaran. Karena aku anak tunggalnya, yang tak mau kawin ini? Jangan! Jangan! Ibu jangan jadi hantu!

4. Kepindahan Tante

”Bagaimana Anak Gendeng, apa kau sudah mau kawin?” Kembali tanteku bertanya seperti yang biasanya. He he he, terus terang saja aku ingin menggodanya lagi. Karena di samping aku masih gerah dengan sosoknya, juga merasa ini tante kok begitu sangar. Sudah dempal, gawat lagi.

Bahkan, jika boleh dikata, semua kedempalannya itu bukan terbuat dari daging. Tetapi dari besi dan kawat. Lalu dilebur di dalam kawah. Dilenturkan dalam kondisi panas. Baru ditiupkan nafas ke paru-parunya. Dan nafas itu pun jika berfungsi berbunyi seperti bunyi kapal perang. Kapal perang yang gesit dan garang: tuit-tuit-grong! Seram.

Tapi, ya tapi, karena dia adalah satu-satunya tanteku yang memperhatikan aku, maka aku cuma menggeleng. Tak menjawab. Terus meninggalkannya. Rasanya, jika dia masih memperdalam beladiri, punggungku pasti ditendang dan dijotos. Atau jika tidak begitu, dibantingnya dengan keras. Seperti membanting adonan roti kesukaannya.

Adonan roti yang mesti diputar. Digulung. Diguling. Dan sesekali ditarik. Lalu dibanting. Agar telur, tepung, gula menyatu. Lalu dicetak dalam loyang. Dan dimasukkan oven. Oven dengan panas yang telah ditentukan. Biar jika matang roti tidak bantat. Melainkan, mekar-merekah. Dengan warna penuh putih-gading mengkilap. Warna langit sehabis hujan.

”Huh, benar-benar gendeng. Padahal, di kuburnya ibumu begitu mengharap!” sergahnya lagi. Dan sergahannya ini adalah yang terakhir. Sebab, setelah itu, aku dan tanteku tak lagi ketemu. Tanteku telah pindah ke luar kota. Mengikuti kerja suaminya yang pegawai itu. Dan, sebagai pegawai, suaminya harus patuh pada setiap keputusan atasannya. Keputusan yang akan menugaskannya di mana saja. Bahkan, di ujung pulau sekali pun.

Di ujung pulau yang penuh nyamuk dan kadal. Di ujung pulau yang kekurangan air bersih. Di ujung pulau yang bangunan-bangunan umumnya mulai ambruk. Di ujung pulau yang jalannya berliku. Seperti lika-liku jejak ular yang menyesatkan. Atau di ujung pulau tempat matahari teng?gelam. Dan tak akan pernah terbit lagi. Sedangkan aku? Ya, ya, aku yang ditinggal pun diam-diam menjadi sendiri dan sepi. Sendiri dan sepi seperti nenek sihir yang kehilangan sapu terbangnya itu. Nenek sihir yang ada di ketinggian. Nenek sihir yang memanggil-manggil: ”Balik, baliklah sapu terbangku!”

5. Bidadari Lelaki

Dan kini, ya, kini, aku benar-benar telah menjadi sendiri dan sepi. Tanteku telah pindah dan ibu lama meninggal. Dan anehnya, meski sendiri dan sepi, aku justru merasa bahagia dan sedih. Bahagia: he he he, karena tanteku yang sangar tidak bisa bertanya-tanya lagi. Sedih: karena (seperti yang aku ceritakan di depan), aku benar-benar tak sempat membahagiakan ibu. Sebab aku belum kawin.

Dan persoalan belum kawin itulah yang mengganjal di dalam hidupku. Hidup yang sudah berumur 50 tahun ini. Hidup yang tak lagi bisa berbiak. Sebab, aku lebih menyukai sesama lelaki daripada wanita. Dan untuk kawin dengan sesama lelaki, tentu akan menjadi soal yang rumit dan runyam.

Sebab, jika itu sampai aku terjang, tak bisa dibayangkan, ibu pasti benar-benar jadi hantu. Hantu yang tidak saja penasaran. Tapi malah shock. Lalu shock menjalar. Terus menjelma stroke. Ah, apa jadinya jika hantu ibu jadi hantu yang stroke? Hantu yang rintihannya: a-i-u-e-o…. Hantu yang mengambangnya miring ke samping. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ingin menuding tapi tak-bisa. Ingin tak-bisa tapi mesti terus mengambang.

Mengambang di antara gelas, panci, lepek, piring, pisau, telenan, dan kulkas. Mengambang di antara kamar tengah ke kamar belakang tembus ke WC. Mengambang mulai dari pojok beranda ke kebun samping. Mengambang melewati setiap lubang, celah, sela-sela kawat ram-raman. Dan mengambang. Mengambang. Mengambang terus tanpa kenal waktu siang dan malam. Apalagi waktu-yang-teringat dan waktu-yang-terlupa. Waktu milik hantu yang stroke!

Oh, jangan! Jangan! Ibu jangan jadi hantu yang stroke! Sebab hantu semacam ini tidak saja menghantui mimpi-mimpiku. Tapi terus juga bablas ke segenap arah langkah dan nafasku. Arah yang kini, mau tak mau, mesti tersengal-sengal. Terpontal-pontal. Oleh karenanya, biar-biarlah, semua keanehan yang aku rasakan ini tersimpan rapat. Tersimpan rapat di buku harian kesayanganku.

Buku harian tebal. Buku harian yang bergambar wanita muda. Wanita muda yang sebagian giginya telah aku hitami dengan spidol. Buku harian, yang di salah satu halamannya berbunyi: ”Ibu, maafkan aku. Aku memang begini. Dan sebagai si begini, aku hanya dapat berdoa. Agar matiku segera saja merapat. Terus dikubur. Lalu nyawaku pergi ke sorga. Ketemu bidadari yang terimpi. Bidadari lelaki!”

6. Umur 70 Tahun

Kawan-kawan, baik yang penyuka sesama lelaki seperti aku ataupun yang tidak. Baik yang bahagia dengan pilihannya itu atau malah tersiksa. He he he, ternyata kematianku tidak merapat-rapat. Jadinya aku belum dikubur. Nyawaku pun tidak ke sorga. Sorga yang ada bidadari lelakinya itu. Sehingga, sampai kini, aku tetap hidup. Hidup sampai ke umur 70 tahun. Umur yang kata orang-orang penuh sifat kepikunan dan ketulian.

Kepikunan dan ketulian? Astaga, memangnya orang-orang itu pernah hidup seperti aku? Sepert?i umurku? Belum pernah bukan? Tapi, biarlah. Itu hak orang-orang itu. Yang pasti kawan-kawan, di umur 70 tahun ini aku hanya duduk-duduk di beranda. Sambil membaca koran. Dan melihat setiap yang lewat. Termasuk melihat anak-anak itu. Yang ketika lewat selalu kompak berteriak: ”Om Mardi, enggak laku-laku! Om Mardi, enggak laku-laku!”

He he he, anak-anak yang nakal tapi manis. Anak-anak yang cerdas dan menggemaskan. Dan anak-anak yang selalu aku impikan agar aku menjadi seperti mereka lagi. Seperti saat ketika dulu aku digendong ibu ke pasar. Atau ke sasana beladiri bersama tanteku (Tante yang kini juga sudah meninggal akibat pilek akut). Sebuah saat yang belum membuat aku dianggap dewasa. Dan belum dianggap aneh. Sebab, ssstttt tak mau kawin-kawin. Tak mau kawin-kawin dengan wanita.

Kawan-kawan, barangkali apa yang terjadi padaku ini bukanlah hal yang perlu untuk dipikirkan. Percayalah, segala sesuatu yang terjadi selalu saja ada balasannya. Dan selalu saja ada hikmah yang dapat dipetik nantinya. Dan apakah hikmah itu manis atau pahit? Masam atau asin? Terserahlah. Tak perlu untuk direngeki jawabannya. Seperti aku yang tak mau merengeki jawaban tentang sebab kebebalan ibu yang keras. Yang sampai kini tetap menghantui mimpi-mimpiku dengan hantu stroke-nya.

Lain itu, percayalah juga kawan-kawan. Aku bukan orang yang durhaka. Meski sebenarnya tak kurang alasanku untuk menjadi durhaka. Yang jelas, di umur 70 tahun ini, aku merasa tubuhku berdikit-dikit mulai mengeriput. Dan berdikit-dikit pula kekeriputan itu tergulung dalam sebuah ikatan benang merah. Benang, yang kelak jika kalian tarik, akan menjadi terudar. Kemudian terbentang. Membentangkan setiap silang-silangnya. Yang apabila dibaca akan seperti membaca seberkas resep masakan. Resep masakan yang begitu tak jelas apa yang hendak dihidangkannya…
***

Gresik, 2009

*) Penyair. Bukunya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), pendiri Komunitas De Nagari Gresik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *