Nurel Javissyarqi
http://www.facebook.com/nurelj
Indonesia terdiri beberapa pulau atas kerajaan-kerajaan lama menuju tenggelam di bawah tumpukan debu masa, legenda kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Kalinggapura, Kahuripan dan lainnya, tinggal abu berserak. Tiada kenang menjamin saksi kejadian, perputaran kekuasaan secepat pergantian musim wacana rindu yang semu. Inilah jerih payah penjajah mengusung simbul keilmuan ke negerinya yang kering dari keringat kerja. Pun pula wujud penguasa di Nusantara yang mudah tertipu gemerlap kembang gula.
Tiada dalam sejarah, bentuk apa pun pemerintahan langgeng, segala remuk berkebosanan. Manusia bangsa pencari dan tidak puas menjadi watak tidak tertandingi dari bangsa celeng. Tokoh-tokoh sejarawan telah menciumnya, hanya keheranan, watak dari bangsa beragama, meski berpeluk kepercayaan, namun tinggal nama dan tradisi semata. Sudah ratusan agama mati di atas bumi, hanya agamanya para intelek bernafas sampai kini, meski terjadi perang ideologi serta peminuman darah sesama tidak pernah selesai (agama intelek semisal ajaran tuhan yang tidak kesampingkan nalar bekerja).
Indonesia salah satu yang berserakan di muka bumi. Ketepatan di garis katulistiwa, kelahiran yang patut disyukuri, nyatanya digunduli, pepohonan ditebangi, pencarian ikan tanpa melihat dampak lingkungan, pengawetan makan yang membahayakan kesehatan. Terpandang sekilas, bangsa yang sehat mampu menjaga sumberdaya, ini didominasi kekuasaan modal, berperut buncit memenuhi kursi sarapan.
Kajian atas bangsa-bangsa Yunani, Mesir, India, Cina, Arab seterusnya, telah tampak dalam tranformasi budaya. Namun bagaimana dengan negeri Timur Jauh? Puluhan kerajaan tumbang, catatan banyak terhilangkan, atau tergadai oleh watak ketakpedulian akan sejarah, dan bagian terbesar diusung bangsa pewarna. Lalu apa patut dikaji pada lempar diri ke hadapan kekinian?
Sebelum kiamat, mari berusaha mengambil puing berserak, meski jatuh di negeri seberang. Bangsa besar bukan hanya menghargai pahlawannya, kalau tidak ingin distempel bangsa preman. Tapi juga menghargai karya anak bangsa, dari jerih kesungguhan sebagai pribadi berbangsa bernegara.
Setiap bangsa menghimpun watak anak-anaknya dengan tampakan adat istiadat. Tetapi anehnya, watak anak-anak selalu silau gemerlap, aliran baru, ideologi anyar, sebab tidak memantabkan jatidiri. Lalu apa patut dibangga dari tidak turut menghargai karya bangsa sendiri. Tranformasi sungguh indah, tapi saat kepribadian ditanggalkan lantas minum racun westernisasi tanpa pengolahan jiwa, usaha kritik diri atau mawas depan cermin menyendiri.
Seakan penggembaraan tanggung, malu sebab pribadinya sekedar tampang. Yang menentukan menjadi ialah bungkus tanpa ada tekat tangguh. Atau perlu dijajah lagi, agar sadar kepahitan berguna, ketika kemewahan menjadi cermin pembodohan yang mematikan mental, melahirkan sikap bergantung pada bangsa yang dianggapnya mapan, padahal hanya memberi hutang. Kita bertenaga harusnya mewarnai dunia, lewat menghargai keringat petani, pelaut, petambak dan lainnya. Kalau tidak, bangsa ini dirayu watak-watak korup.
Kita berotot, namun kenapa mengunyah ideologi diet, pembungan lemak berlebih hingga nalar tidak kritis. Sisi lain senang bertirakat, namun kenapa sudut tersebut terlalu runcing, sehingga tiada jalinan cantik, yang timbul acuh tak acuh, bantah membantah tanpa kerucutan kesadaran bahwa perbedaan ialah rahmat tuhan. Ini bangsa aneh yang iri sesamanya, namun tak dengan bangsa yang dianggapnya matang. Kenapa kita condong kepada bangsa yang ompong, yang kenyang pengalaman sehingga seenak udelnya berbuat onar. Bukankah bangsa asing sudah cukup mengocok penalaran yang mengaduk di antara ideologi kita.
Kita kerap terpatahkan mereka, walau pun tidak memungkiri adanya perlu diambil, tapi tidak lantas melupakan gagasan awal yang timbul dari kesadaran berbangsa. Indonesia serupa perempuan cantik mudah dirayu, namun penyimpan sifat keglamoran konsumtif. Bangsa penyuka kulit terang sebab kulitnya sawo matang. Sayang, tertarik keasingan namun tidak berakrab lantas mengunggulinya. Tidakkah warna kulit ini tempaan matahari sebelum mereka. Timur sebuah nilai dan Barat sekedar penilai, masak penilai lebih tahu dari yang dinilai? Mari kita putar hukum yang menyudutkan!
Sampai bahan pendidikan pun mengkonsumsi, yang nyatanya tidak bersesuaian. Hukum yang ada warisan penjajah yang pintar mendekte sebab melanglang buana. Namun tidakkah dengan percaya diri; saatnya telah tiba! Berilah wejangan yang sungguh milik kita. Apalah kelebihan di sana? Mari tanggalkan kesilauan memandang, Albert Camus sendiri dalam bukunya Resistance, Rebillion & Death, berkata: ?Prancis dan Eropa sekarang harus menciptakan suatu peradaban baru, atau jika tidak akan binasa, 1988.? Mari menggali cahaya pribadi, sampai kedirian terang menggetarkan. Kudunya kita belajar ketegasan, penentuan sikap dinilai. Kalau prilaku mencla-mencle mudah dirayu, akan menjadi mainan sampai akhir masa.
Kita seharusnya lebih makmur jika melihat kekayaan alam. Tidakkah menganggur itu awal dosa menuju bencana. Namun kenapa tidak berusaha keras, apa orang tua tidak perbolehkan? Menginginkan yang wajar, makan, tidur, mati. Tidakkah nikmat hayat pada perjuangan? Lalu apa terwariskan kepada anak-anak terhormati nanti? Apa penjiplakan, atau watak paling buruk yang belum pernah ada, sebab tidak memiliki yang sebenarnya. Tidakkah pembentuk watak itu kesungguhan ikhtiar? Atau diganti nama saja guna tidak sia-sia, seperti Nusantara? Syukurlah jika ada yang tidak berkenan, sebab penolakan merupakan penampakan sesungguhnya. Tapi kalau sekedar lewat, apakah pantas dibalas. Ingat, kita memilikinya; danau yang indah, rawa-rawa menawan, laut megawan, kepulauan rentet sekalung putri raja. Tetapi dengan apa kita suguhkan, jika masih pulas mendengkur atas mabuk kekuasaan.