KEMENYAN DAN KEKUASAAN

Nurel Javissyarqi
http://www.facebook.com/nurelj

Tradisi seakan lahir dari kesamaan hobi. Ini tampak ringan, namun marilah terbang setinggi awan, membanjiri kota sebab individualitasnya, atau murka tuhan tak lekang dari pandangan. Setelah kesamaan kehendak bersepakat, yang menonjol dijadilah tetua. Jika mukanya pada gelap, yang berdahi cemerlang didaulat memimpin, dengan pemberian kemenyan sampai gandaruwo (begundal) mengamini.

Bangsa ini terdiri beberapa kesalahan menuju ambruk kepunahan. Sepuluh pegawai, sembilannya oknum. Sepuluh pendidik, sembilannya pengusaha tanda kutip. Sembilan orang melarat, satunya pengusaha hebat, sampai mampu kabur entah. Sepuluh hakim, sembilannya makan beling kayak kuda lumping. Sembilan dari sepuluh anak-anak bangsa ialah TKI; tenaga kerja ingusan, tenaga kerja ?idaman,? lainnya membludak pengangguran.

Jaman ibarat musim, permainan kanak tidak dapat dicegah oleh orang tuanya. Perlu diingat, ibu selalu mewanti-wanti makanan. Dari sini merujuk ke muka, pemegang kuasa tergantung jamannya. Saat jaman kesatria, kekuasaan terpegang jawara. Ketika yang berkuasa pesulap, beramai-ramai mendekati ahli nujum. Sewaktu yang kuasa ulama, berbondong ke kyai. Semasa yang kuasa pistol, ngelukru ke tentara. Inikan pencarian keamanan cukup gampang, membawa wajah babu, sudi diinjak sepatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan.

Sejenis musim buah dari daerah satu ke seterusnya. Utara panen anggur, selatan panen pisang. Timur panen intelektual agama, barat panen senjata. Transformasi ini terhenti sebentar atas datangnya perhitungan perut. Inilah kasus kanak sampai dewasa, anak-anak cepat lupa dengan permainan baru, atau bobot timbangan egonya tipis, menjadikan guyup menebarkan senyuman. Saat yang dewasa merasa tua, watak buatan dari pemotretan salah, menambah runcing atas penentuan pribadi.

Memang tidak lepas pengalaman hayat mewarnai jati diri, tapi kerap terlupa permainan, maka berjaraklah di antara yang dimainkan. Sebagai kebijakan mengambil sikap atas kekuasaan ruang-waktu pada pundak kesadaran. Tidakkah sering tersandung persoalan sepeleh sebab menuntut akal dianggapnya paling. Berpandanglah sepadu padan, menyaksikan hidup keseluruhan pelajaran. Ini kerap dilupa, membangun mekanika tercerah, inikah senyum jelita?

Atau sangking traumatik penjajahan menjadi minder berkemampuan, meski bekerja keras ataupun pucat. Kenapa kemenyan mendominasi kekuasaan, berangkat dari kurang percaya atas kekerasan telah membudaya. Suap ialah jati diri hilang dimunculkan dengan pembelian kemenyan. Akan patut bila yang diberi bawahan, namun terbaliklah muka jika pada atasan. Tidakkah fitroh turun mengidam sahaja. Bagaimana pun mengangkat gunung, tentunya lelah.

Dulu hanya kemenyan Belanda, Jepang, kini telah banyak beredar lainnya. Ini terlahir serentak di segala bidang, tidak luput wacana mengambil kemenyan luar. Lebih parah pembakarannya tidak dilakukan sendiri, namun kritisasi tangan ke tangan, maka pemulung dapat tempat subur di sini. Sengaja tidak diberi contoh, agar menjangkau ke segala arah, ke segenap yang terjadi, tidak menuju tujuan sepihak. Frekuensinya dihadirkan lewat gelombang tidak senafas judul mematikan, atau terjangkau tanpa dibacakan.

Di sini disinggung sebab bangsa ini suka ramalan, kejadian mendatang atau togel. Perlu diwaspadai kedirian jauh merasa matang, tanpa perhatikan senyum belia; pemberhentian renung terdalam. Demi mencapai tahap kemungkinan dari pengambilan yang tersampaikan. Kudunya mawas bercermin atas kekuasaan menyerang, menyadari posisi berbangsa di arus menghimpit yang kerap ngelindur.

Harapannya kemenyan tidak diberikan pada penguasa, namun didayagunakan demi rakyat jelata untuk kesetaraan, agar sanggup menguasai diri sendiri, sehingga mampu mengontrol kedudukannya sebagai oposisi. Tidakkah arus perjalanan berganti, perguliran ruang-waktu menuju kepala hati, menentukan mapan atau gemetaran yang sungguh melupakan.

Leave a Reply

Bahasa ยป