Wawan Setiawan*
http://www.jawapos.co.id/
ADANYA pesuruh, pegawai, guru, kepala sekolah, dan ketua yayasan dalam sebuah lembaga pendidikan adalah sesuatu yang alamiah. Mereka telah menduduki posisi yang memang selayaknya ada di sana. Fenomena alamiah ini wajar, tetapi setelah proses interaksi nilai-nilai, posisi-posisi itu kemudian menjadi terasa sangat terbedakan dan bahkan seolah-olah kurang terhubungkan.
Posisi, sebutlah kursi, yang diduduki pesuruh sangat menyakitkan karena di situ mungkin ada atau ditaruh sejumlah paku. Sedangkan, kursi yang diduduki ketua yayasan sungguh nyaman, prestisius, penuh aroma wangi. Masyarakat dengan segala nilai yang dibawanya kemudian ikut memperkuat citra enak dan tidak enaknya kursi-kursi tersebut. Semakin ke bawah kursi itu berada semakin menyakitkan, buram, kering, dan tanpa masa depan.
Dalam kasus rumput, semak belukar, sampai pohon-pohon besar, tidak ada masalah baik dan buruk di sana. Namun, setelah itu dihubungkan dengan kepentingan tertentu manusia, muncullah baik dan buruk. Kasihan hidup keluarga rumput yang menghijau dan segar itu diinjak-injak. Betapa membanggakan menjadi pohon besar, anggun, dan dihormati, meski di pucuknya angin kencang menerpa. Akhirnya, ada orang yang berjuang untuk menjauhi sang kursi. Sebaliknya, ada juga, bahkan paling banyak, yang berjuang mendekatinya untuk merangkulnya erat-erat.
***
Iwan Simatupang, salah seorang novelis kenamaan Indonesia, dalam novel Ziarah mengatakan bahwa peradaban diciptakan oleh orang-orang yang hidupnya banyak duduk. Di gedung-gedung pemerintah, kampus-kampus, atau lembaga-lembaga lain di masyarakat, disediakan banyak kursi di sana. Di situlah tempat para pemikir duduk menancapkan ide-ide yang cemerlang ke perut bumi demi perkembangan kehidupan manusia seumumnya. Bisa sangat eksklusif kursi-kursi itu bagi yang mendudukinya maupun yang melihatnya.
Terlihatlah dalam sejarah, Buddha di bawah pohon bodhi memperoleh pencerahan dalam pose duduk padmasana-nya yang terkenal itu. Demikian juga, Muhammad pada usia-usia awal kenabiannya banyak duduk di Gua Hira. Lao Tse, si genius Tao, banyak menghabiskan waktu di perpustakaan karena kebetulan dia juga pejabat perpustakaan. Patung Sang Pemikir ciptaan Rodin (Prancis) juga duduk dengan pose tertentu. Bahkan, dalam era Oda Nobunaga di Jepang, ada sebuah kuil yang dibakar yang para biksunya rela mati di dalam kuil itu tetap dalam posisi duduk meditasi.
Memang selain posisi duduk, ada dua posisi lain yang dilakukan manusia, yaitu berbaring dan berdiri. Tidur-tidur senyap dan sanggama-sanggama sakral atau profan yang terjadi setiap hari dalam kehidupan manusia banyak dilakukan dalam posisi berbaring. Petualang-petualang besar, seperti Sang Iskandar Agung atau Marcopolo, adalah ekspresi dari posisi tubuh yang berdiri dan variasinya seperti berjalan dan berlari. Namun entah kenapa, posisi duduk tetap menjadi sangat penting dalam percaturan peradaban.
***
Di Indonesia saat ini, begitu ramainya tokoh-tokoh -baik tokoh yang benar-benar tokoh, setengah tokoh, maupun tokoh karbitan- memperebutkan kursi di tiga lembaga terhormat negara. Kursi-kursi itu bernilai, mahal, dan prestisius. Saat sebuah kursi diperebutkan dan kemudian diduduki, terangkatlah status sang penakluk, keluarga, dan kelompoknya. Yang sebelumnya sudah menduduki sebuah kursi dan kemudian berhasil mempertahankannya, maka sang penakluk, keluarga, dan kelompoknya akan semakin mantap dan mapan. Semakin kukuh otoritasnya.
Semoga produk-produk mereka, selain membuat makna peran kursi semakin efektif, benar-benar mampu menjawab persoalan-persoalan di depan mata yang mengusik nurani dan mengganggu akal sehat. Ada bermacam ekspresi wajah-wajah mereka yang berhasil menduduki kursi itu. Ada yang lega dan juga tak kurang yang payah. Namun, baik yang wajahnya lega maupun payah semoga mampu melihat gajah di pelupuk mata sampai yang tak terlihat dan mampu mendengar teriakan-teriakan di mikrofon sampai yang tak terdengar.
Demikianlah dalam kehidupan manusia, khayalan dan sensasi tentang kursi demikian kuat. Kursi menjadi sesuatu yang menyedihkan sehingga harus dijauhi atau dihindari. Selain itu, kursi telah menjadi mitos tak terkalahkan, diperjuangkan, dan diperebutkan dengan segala daya yang dimilikinya. Daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik manusia telah bergerak serempak seiya sekata. Semoga daya-daya manusia yang sudah ditambah dan dikurangi oleh ajaran nilai itu tidak melupakan hakikat kursi yang sebenarnya, semacam posisi wajar dalam hierarki alam. Tidak lebih dan tidak kurang. (*)
*) Cerpenis dan staf pengajar FBS Unesa Surabaya.