Heri C Santoso
http://jurnalnasional.com/
PEMERINTAH didorong membentuk lembaga penerjemah sastra sebagai salah satu upaya memperkenalkan karya sastra Indonesia di dunia. Lembaga atau badan ini ke depan bertugas menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Hal ini disampaikan sastrawan Sapardi Djoko Damono dalam Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro di Hotel Grand Candi Semarang, Kamis (29/10). “Indonesia belum punya itu. Padahal, negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura sudah punya,” kata dosen FIB UI ini kepada Jurnal Nasional.
Menurut Sapardi, lembaga penerjemah sastra juga bertugas untuk mempromosikan karya-karya sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan itu kepada bangsa-bangsa lain. Dengan adanya lembaga ini, lanjutnya, karya-karya sastra yang ditulis para sastrawan Indonesia dapat dikenal secara luas dan mendunia.
Namun, lanjut Sapardi, lembaga itu membutuhkan dana cukup besar. Tidak semua pihak dapat melaksanakannya. “Untuk itu, perlu komitmen dari pemerintah untuk mendirikannya,” katanya.
Sapardi juga mengatakan, karya sastra Indonesia punya potensi yang besar untuk dijual ke luar negeri. Namun, beberapa kelemahannya, sastrawan Indonesia banyak yang tidak menguasai bahasa asing.
Selain itu, kata Sapardi, sastrawan Indonesia juga masih lemah dalam penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Ini masalah besar bagi perkembangan sastra di Indonesia,” katanya.
Memang, selama ini ada beberapa karya sastra Indonesia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Namun jumlahnya masih sangat minim. Selain itu, yang menerjemahkan justru pihak asing yang tentu cenderung memilih karya sastra sesuai selera.
“Padahal, selera mereka dalam memilih karya sastra yang akan diterjemahkan tidak sesuai dengan selera para sastrawan dan penikmat sastra yang ada di Indonesia,” katanya.
Terkait pereduksian makna dan nilai karya sastra ketika diterjemahkan, Sapardi menyatakan, penerjemahan suatu karya sastra tidak akan mereduksi makna yang dikandungnya, melainkan justru makin memperkaya.
Ia mencontohkan, kisah Mahabarata yang telah diterjemahkan dalam berbagai versi bahasa, misalnya Indonesia, justru diperkaya dan diperkuat dengan adanya tokoh-tokoh yang tidak ada dalam versi aslinya.
“Kadang, karya terjemahan bisa menjadi lebih besar, lebih bagus, dan lebih agung dibanding karya aslinya. Asalkan penerjemah karya sastra tersebut benar-benar memahami makna dan pesan yang dibawa pencipta aslinya,” katanya.