Linearitas Cerita dan Sublimasi Bahasa*

Cerpen-cerpen Raudal Tanjung Banua

Satmoko Budi Santoso *
Media Indonesia

WILAYAH cerita bukanlah area yang memaksudkan dirinya menjadi tak bebas nilai. Wilayah cerita tetaplah berada di dalam koridor keterikatan ruang dan waktu, pengejawantahan aktualitas, dan sederet konvensi lain yang tak begitu saja melepaskannya sebagai fiksi. Wilayah cerita tetaplah mengemban visi dan ideologi tertentu, pandangan dan pesan moral, sehingga aspek fiksionalitas harus ditawar, jika memang aspek ini selalu ingin diunggulkan karena keyakinannya yang (hanya?) bersandar pada kekuatan metafor, imaji, dan ambiguitas makna.

Konsekuensi semacam itulah yang menyungkup kaleidoskop proses kreatif Raudal Tanjung Banua dalam kumpulan cerpennya yang bertajuk Pulau Cinta di Peta Buta (Penerbit Jendela Yogyakarta, 2003) ini. Betapa ia, sebagai pencerita, amat konsisten mengemas khazanah konflik yang beragam, mulai dari yang bertendensi “tanpa beban”, sampai yang “berat”, katakanlah konflik dengan latar persoalan sosial-politik yang peka, misalnya pada cerpen Pertemuan di Jakarta dan Nyonya Helena Da Costa. Kedua cerpen yang membawa pembaca pada ingatan gejolak revolusi yang ada di Timor Leste.

Atau, barangkali saja malah sebuah kesengajaan bahwa di dalam antologi ini Raudal memang sengaja membaurkan wilayah cerita yang tak tunggal, tak seragam. Dalam konteks ini pula lazim diberlakukan pengamatan lebih lanjut bahwa Raudal memang memahami pola relasi antara pengarang dan pembaca: sebuah alternatif tawaran adonan cerita sebagai bagian transformasi produksi peristiwa sosial-politik masyarakat ke dalam bentuk fiksi. Konsekuensi positifnya, masyarakat akan merasa terlibat dalam cerita yang tersuguhkan. Tanpa wajib mengenal seseorang yang menjadi pemandu wacana pola relasi antarteks sebagai bagian varian estetisasi yang mengambil bagian dalam ranah produksi sosial yang bernama Janet Wolf, Raudal telah berkompromi dalam menggarap keberjamakan wilayah cerita agar pembaca mendapatkan cermin refleksi yang beragam.

Risikonya, tentu saja, adanya sejumput pertanyaan, seberapa jauh penggarapan linearitas cerita yang terbangun mampu menunjukkan pencapaian sublimasi bahasa: adanya kemampuan mengolah cerita sebagai bentuk pencapaian cara ungkap yang “aduhai, lihai, dan maestrois?” Apakah sublimasi bahasa dalam sebuah cerita hanya mungkin dicapai ketika cerita itu sendiri terbebaskan dari pesan moral dalam konteks sosial-politik, misalnya, dan hanya berkepentingan the playing in the game (bermain dalam permainan) dalam koridor fiksionalitas, seperti yang diidealkan salah seorang kritikus sastra Indonesia bernama Nirwan Dewanto?

Keberagaman cerita yang digelontorkan Raudal dalam halaman per halaman di dalam buku ini tak luput menyeret penafsiran pada usaha menyuguhkan aspek antropologi dan sosiologi pengetahuan yang serius, seperti terbuktikan dalam cerpen-cerpen yang berjudul Jalan ke Bukit Sudah Berubah, Lembah yang Riang dan Kemilau Mata Air, Dongeng Pulau Dewata, maupun Pulau Cinta di Peta Buta. Sebuah orientasi dan kompromi estetik yang seolah-olah jadi mutlak diemban para pencerita terkini, sebagai imbas rasionalisasi wacana cultural studies, yang dalam banyak hal sungguh menyelamatkan sekian jumlah pencerita karena masih ada wilayah garapan cerita yang berada di dalam asumsi “tak tersentuh”.
***

Leave a Reply

Bahasa ยป