Fahrudin Nasrulloh
jawapos.co.id
Memasuki ruang itu, rasa temaram hadir lalu meruang. Degup jantung masih tertahan dan gemerisik penonton satu per satu mengisi kursi yang kosong. Hening.
Pementasan monolog Shimpony Patet Pat pun dibuka Studiklub Teater Bandung (STB). Aktor Ayi Kurnia Iskandar tampil. Dia memerankan seorang aktor tua yang merasa nelangsa sendiri dalam hidup karena memilih melakoni hidup sebagai pemain teater.
Dia mabuk berat, menceracau ihwal dirinya kenapa kini tiba-tiba ada rasa tenggelam di lubang celaka, lubang panggung sandiwara. Cinta memang pernah hadir dalam hidupnya, tapi menolak sehidup-semati bersamanya.
Panggung yang berlubang, ada gelap, ada cahaya, namun terkadang terjerembap atas renungnya sendiri bahwa dirinya tak lebih hanya sebatang daging, seonggok sisa yang setengah membusuk. ”Aku hanya seorang tua yang tersirap oleh debu panggung,” katanya. Kurang lebih sejam, pentas pun berakhir.
Naskah itu merupakan adaptasi dari karya panggung Anton Chekov dari Rusia yang berjudul Lebedinaya Pesna atau Nyanyian Angsa. Lakon tersebut dipentaskan pada malam 26 Oktober 2009 di Taman Budaya Surakarta. Pergelaran bertajuk Mimbar Teater Indonesia (25-30 Oktober 2009) itu tentunya layak disambut gembira.
Berbagai gagasan dan diskusi digelar di sela-sela pementasan. Misalnya, diskusi bertema Melakoni Teater yang beranjak dari buku Melakoni Teater: Sepilihan Tulisan Tentang Teater (Studiklub Tetaer Bandung, 2009) yang disunting IGN Arya Sanjaya. Diskusi tersebut menghadirkan penyaji Halim H.D. dari Forum Pinilih Solo dan Pak Yoyo dari STB Bandung.
Gelaran Mimbar Teater Indonesia digagas sebagai ajang forum teater oleh teater untuk masyarakat teater dan masyarakat umum sebagai hasil kerja sama Forum Komunikasi Teater Surakarta dan Taman Budaya Jawa Tengah. Pertemuan itu, sebagaimana yang diancangkan panitia, diharapkan memantik gairah dan usaha untuk menemukan jalan lain yang solutif, yang mungkin tidak seketika. Tapi, percikan dan pernik-pernik masalah dalam dunia teater di Indonesia selama ini dapat diurai serinci-rincinya sebagai bagian dari pemetaan mozaik masalah teater dalam ruang lingkupnya yang terkait.
Buku Melakoni Teater tersebut juga menjadi penanda keberjalanan STB selama 50 tahun. Perkembangan teater bersifat sporadis, berjalan tanpa pola, sebagaimana yang diungkapkan Prof Dr Soetardjo Wiramihardja, menjadi wacana yang menarik di kemudian waktu untuk melihat kembali keberadaan teater di Indonesia.
Seperti apakah seniman teater kita memaknai diri dan kerja seninya tersebut dalam ruang dan waktu, dalam korelasinya dengan masyarakat, dalam resepsi mereka, dalam mengapresiasi warisan tradisinya, sehingga segala apa yang diterima dari warisan Barat (baca: teater) tersebut dijadikan sebagai kesadaran ”berterima” dalam konteks kebudayaan yang bersifat universal.
Keyakinan untuk tetap memilih jalan berteater tentunya merupakan hak setiap seniman. Hak untuk bersama dalam suatu pemaknaan berkesenian yang pasti tidak bermakna tunggal dan meniscayakan keberterimaan atas keberagaman kreativitas yang dieksplorasi masing-masing seniman.
Keyakinan berkesenian teater ini diungkapkan oleh sutradara gaek STB Suyatna Anirun yang mengatakan, ”Bekerja untuk teater adalah pilihan saya. Suatu kerja yang memberikan kebahagiaan. Dari situ saya belajar mengenal diri sendiri dan mengenal orang lain. Saya tak kan pernah menyesalinya. Saya selalu memperoleh kedamaian darinya.”
Tapi, mungkin tidak bagi sutradara Budi S. Otong yang berhenti berteater lantaran soal ”dapur”-nya tak bisa mengepul.
Sebagaimana di dunia sastra, apakah sebuah puisi terasing dari masyarakat? Apakah masyarakat kita menghargai buku-buku dan apa pun bentuk kesenian yang ada atau hampir punah di ruang lingkupnya? Apa pandangan masyarakat tentang teater? Seperti apakah orang-orang teater yang sekilas tampak sok ”nyeniman” dan nyentrik di mata khalayak?
Mungkin kaum awam masih mengenali tradisi yang telah lama ada di sekitarnya seperti ketoprak, ludruk, jaipong, reog, atau jaran kepang. Tapi, teater? Entahlah. Barangkali teater hanya diapresiasi oleh orang berkelas intelek tertentu dan oleh orang-orang teater sendiri.
Tentunya, banyak hal yang sedikit demi sedikit persoalan-persoalan teater terudar dalam sejumlah diskusi ataupun apresiasi di setiap pementasan teater dalam Mimbar Teater Indonesia tersebut. Misalnya, bagaimana apresiasi kita terhadap pementasan Teater Kampung Seni Banyuning dari Bali dengan lakon Cupak Tanah (26 Oktober 2009) yang disutradarai Putu Satria Kusuma.
Tradisi Bali yang unik digarap di sini. Meski terkesan menjejalkan semata pesan tentang eksistensi tradisi Bali yang mulai terdegradasi, pergulatan kreativitas Putu yang polos tersebut menjadi spirit tersendiri karena bentuk itulah yang dia pilih dan lakoni.
Yang lebih saskartis namun eksistensialis adalah pertarungan gagasan sutadara Nandang Aradea dari Banten dalam garapannya yang berumbul Perempuan Gerabah (28 Oktober 2009). Sedangkan diskusi dalam upaya penggalian teater rakyat bertajuk Opera Batak sangatlah menarik dan membukakan perspektif baru bahwa sebenarnya ”manusia teater” Indonesia perlu merenungi kembali kepada tradisi yang telah ada.
Hal itu telah dibuktikan oleh Thompson H.S. dari Medan yang membeber inspirasi baru dalam upayanya merevitalisasi Opera Batak sebagai teater rakyat yang kini kembali eksis dalam masyarakat.
Ada delapan grup teater tanah air yang diundang dalam acara itu. Selain yang telah saya sebutkan, teater lainnya adalah Teater Eks Surakarta dengan lakon Hampir Manusia (25 Oktober 2009), sutradara Nusa Cahyadi; Masyarakat Batu menghadirkan Ritus Plastik Kota Batu (27 Oktober 2009) yang disutradarai Zulkifly Pagessa dari Palu; Ladang Perminus (28 Oktober 2009) dari Main Teater Bandung yang disutradarai Wawan Sofwan; Teater Payung Hitam dengan Puisi Tubuh Yang Runtuh (29 Oktober 2009), sutradara Rahman Sabur; dan Kelompok Kerja Teater Surakarta yang menampilkan lakon Ronggo… (30 Oktober 2009) dengan disutradarai Gigok Anurogo. Pilihan pengurasian semua grup akan menjadi catatan penting untuk pergelaran Mimbar Teater Indonesia selanjutnya.
Pentingnya pemetaan dan pencatatan secara personal maupun kolektif akan keberjalanan setiap grup teater dapat dijadikan pijakan bagaimana kita melihat kembali dan terus melacak kembali apa yang selama ini diyakini bahwa berteater bagi seniman adalah jalan hidup.
Kenapa berteater diyakini sebagai jalan hidup? Juga pilihan-pilihan estetika dalam menggarap pementasan teater? Tidaklah gampang menjawab hal itu.
Tulisan Halim H.D. bertajuk Lalu Batu, Lalu Waktu, Lalu Angin: Debu (wawancara imajiner dengan Suyatna Anirun) dalam Melakoni Teater seperti menyaran lirih kenapa berteater masih saja disetiai sebagai keyakinan. Suyatna Anirun menjawab, ”Anda tahu air laut itu asin; dan bagaimana Anda bisa mengetahuinya jika Anda tidak mencobanya, dan bagaimana Anda bisa mencobanya jika Anda tidak memasuki dunia rasa asin itu; keyakinan adalah tindakan, how to act; dan ketika kita merasa yakin kepada sesuatu sesungguhnya bukan bagaimana kita menerimanya; tapi bagaimana kita melacak dan mempertanyakan, menggugat, merasakan, dan melakukannya dengan sepenuh diri. Jika tidak, teater hanya fiksi dari kaum pelamun; tak ada bau dan rasa keringat; dan itulah kenapa keringat asin, karena ia ada dengan dan di dalam laut dalam diri kita; gelora dan gemuruh serta keheningan dari kedalaman yang kita wujudkan dalam pertemuan dan penjadian itu.”
*) Peminat teater dan bergiat di Komunitas Lembah Pring, Jombang.