PENGANGGURAN DAN PEPERANGAN

Nurel Javissyarqi

Jika membaca sejarah panjang penjajahan, tentu tidak bermalas-malasan terlelap di ketiak kecengengan, sebab setiap tarikan nafas atas jerih payah tetesan keringat, kucuran darah para pejuang. Sejuknya hawa kemerdekaan berasal pengabnya jeruji penjara atas anak-anak bangsa terbaik nan terhormat.

Kenapa membludak pengangguran? Tentu banyak alasan, ada jawaban tegas pun remang. Setelah melempar jejaring pertanyaan, negara ini banyak pengangguran, sebab sejak dulu dimanja keayuan alam? Jika begitu aku bertanya, apakah setelah peperangan berkeindahan? Apakah bangunan berserak, tatanan berantakan itu pemandangan cantik? Apakah pembangunan berarti berleha-leha? Antara soal di atas, kita dapat menarik simpul rambut pertiwi yang menawan.

Apakah bangsa pemalas, orang tua gila hormat, suatu tradisi yang tidak mendidik, menjelma pembusukan yang menularkan penyakit di dalam bermasyarakat. Anak-anak sejak kecil dimanja, belajar hanya di bangku sekolah, ketika menerjuni kehidupan, hanya bermain sampai tua. Padahal permainan itu kegiatan yang sedikit tanggung jawab akan masa depan.

Mayoritas kita beragama, ini pewarnaan timpang, saat ditaruh di kanvas saling-singkur kualitas dengan kuantitas. Mungkin masyarakat majemuk di negara ini, salah menarik benang mendasar sedari keyakinan, seperti takdir, nasib, tradisi atau lainnya. Yang mana berkejiwaan pesimis, suatu lekan mata terbuka sedikit, atas kesilauan cahaya berbinar dari luar.

Atau memahami nilai dengan keliru, memaknai instrospeksi berdiam diri, mengartikan peribadatan hanya di rumah-rumah ibadah, amal baik jika ada iming-iming kembali di dunia pun akhirat, tampaklah di sini watak pesimis bermental penjudi. Tidakkah memberi sesuatu dengan berharap imbalan, merupakan judi terselubung?

Ada pula mengatakan kita bodoh sebab dijajah bangsa tolol, bukan yang berdedikasi tinggi memerdekakan hak asasi. Aku fikir pendapat putusasa, keterpurukan menerima nasib dengan menyalahkan yang lain, menganggap diri akibat. Ini kepengecutan atas sulitnya mempelajari diri, lalu berkesimpulan dari luar mempengaruhi, apakah penjajah atau makanan kurang gizi. Kenapa perubahan di luar tidak diakrapi sehingga mengungguli, bukan tersingkir dan terasing. Ceburlah dalam pemahaman diri menyungguhi nasib.

Ada yang beranggapan banyaknya pengangguran, sebab terlalu muda mengenal tanggung jawab, baru tersadar hakikat kemerdekaan. Untuk persolan itu kujawab, anggaplah bangsa-bangsa maju sudah jompo keriput, yang terlihat gemerlap hanya baju, sedang kejiwaannya pikun, atau nenek rentah memakai busana perayu. Lantas aku bertanya, cukupkah membujuk saudara?

Yang tampil hipnotis keremangan, waktu siang tidak berani terlihat dirinya ompong? Maka berhati-hartilah, atau jangan-jangan ia sudah mencuri keterpikatan kita, diambilnya sebagai senjata demi melawan keberadaan kita. Jalinan intelektualnya sebenarnya telah ada dalam kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang sekarang malu menampilkan kekayaan spiritual. Kelebihan bangsa tua tidak memiliki rasa malu, berpakaian laiknya muda mudi pencuri kalbu, membawa hasil rempah keringat kita yang mewangi.

Kita lebih muda, di dasar ini seharusnya memantabkan kedirian, menarik segala menjadi landasan, demi mengecoh pandangan bagi jawaban yang telah membubuhkan nilai-nilai kita menjauh. Saat mereka nilai permasalahan secara lembut, yang tampil hanya permukaan, jika diletakkan di meja, kita memiliki penilaian dan mereka segera berlalu.

Penculikan anak-anak di kota, disekap di gudang nasib tergelap, lalu diperkerjakan. Ini premanisme, di waktu tidak jauh berselang, anak-anak lupa orang tua. Jangan-jangan para preman telah menghapus ingatannya akan wajah masa depan. Ini salah kaprah, sekapan di barak atau pabrik, lantas di keluarkan menjadi pengamen, peminta-minta, sebagai hasil olahan prodak gulita. Atau penganggur itu berasal kejiwaan pemimpin tidak mau berkerja. Ini melanda, pandangan picik menempati kursi di ruang yang kian berjubel.

Atau watak preman, hasil kejiwaan deladapan menerima kelahiran tidak merasa istimewa. Penganggapan salah, menuntut kekeliruan seterusnya. Ini takkan berhenti kecuali ditimpa timah panas, terbunuh penguasa yang lebih memiliki pribadi pengangguran. Ini generasi memalukan di atas kubur para pahlawan yang sungguh perjuangkan harga diri bangsa mati-matian, sedang begundal menghiasi udara lewat mencipta tiran.

Jangan-jangan kita kurang lama berperang, sehingga masih terjangkit feodalisme. Ini harus digarap serius oleh anak bangsa yang telah kenyam pendidikan. Agar selepas kuliah tidak menganggur, atau membuat lapangan pekerjaan seperti preman. Sering kita berpandang terbalik, yang kuat itu benar, yang lemah selalu salah. Tidakkah ada makolah, kebathilan terorganisir sanggup mengalahkan kebaikan yang tidak terkendali.

Revolusi dibutuhkan, agar tiada lagi anak bangsa berhianat. Dengan bersatu derita tercetuslah pengertian, kesadaran memiliki tanah tumpah darah syah. Mungkin lahirnya pengangguran, sebab sering penggusuran dengan tidak manusiawi. Lapangan pekerjaan terhilangkan karena kepentingkan tata letak kota, sedang tiada bangunan penyeimbang -penampung. Kalau terus terjadi, jangan salah jikalau anak-anak bangsa saling tikam menjajah.

Mungkin bangsa ini cerminan orang yang sering hilang kesadaran, ketika sadar merasa berbudaya, saat tidak seperti bebas tanpa aturan. Ibarat siang-malam mempengaruhi kejiwaan pemula. Harusnya giat memaknai gemerlap atau kumuh, menyingkirkan cemooh tidak mendidik. Umpatan hasilnya bukan penyadaran, tapi kuatnya arus kegelapan, sebab pemberantas bermata buta. Yang berkacamata hitam, merasa paling unggul ugal-ugalan memerintah tatanan, padahal seyogyanya bijak hati atas tradisi alamnya tumbuh bersahaja.

Harusnya merevolusi diri, tanpa itu karat beracun menjalar menjadi penyakit gula, tidak bisa terobati kecuali diamputasi, semisal Timur-Timur menjadi Timur Leste. Sebenarnya tanggal 20 Mei 1998 merupakan peluang baik menggodok kejiwaan, tetapi yang tampil semua merasa pintar, merasa mampu memimpin. Itukan kesempatan dikerucutkan egois, keyakinan diri berlebih sehingga tidak percayai orang lain sanggup bekerja. Atau itu hanya pesta perayaan, tidak merapikan meja dari tumpahan wedang. Sungguh kesempatan disiasiakan akan menjadi kesepian tidak berarti, lebih parah lagi semrawut tiada memiliki masa depan.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *