Dian R. Basuki
ruangbaca.com
Di mata Huntington, tidak adanya ketertiban politik dan otoritas merupakan kelemahan paling serius di berbagai belahan dunia.
Namanya lekat dengan istilah yang demikian populer di bumi yang sempit ini, “benturan peradaban” (clash of civilization). Ia berpendapat, di dunia setelah Perang Dunia, konflik kekerasan bukan disebabkan oleh friksi ideologis diantara negara-bangsa, melainkan oleh perbedaan kultural dan keagamaan di antara peradaban-peradaban besar dunia. Persis sehari menjelang Natal tahun lalu, Samuel Phillips Huntington meninggalkan dunia ini dengan tetap teguh memegang keyakinan akantesisnya itu.
Namun Huntington memiliki keluasan pandangan lebih dari itu. Sebagaimana dipujikan oleh banyak sarjana, yang setuju maupun yang tak bersepakat dengan dirinya, yang mengagumkan mengenai kesarjanaannya ialah keluasan rentang topik yang ia tulis. Terlebih lagi, betapa tiap-tiap buku yang ia telurkan kemudian menjadi referensi dalam masing-masing sub-bidang. Tanpa lelah ia mengajar dan melakukan riset, terutama, mengenai pemerintahan Amerika Serikat, demokratisasi, politik militer, strategi, dan hubungan sipil-militer, politik perbandingan, dan pembangunan politik.
Lebih dari 90 artikel akademis yang ia tulis, dan menjadi penulis utama, atau punco-author, atau pun editor bagi 17 judul buku. Yang terpenting ialah The Soldierand State untuk hubungan sipil-militer; The Common Defenseuntuk kebijakan pertahanan; Political Order in Changing Societies dan The Third Wave untuk politik perbandingan; The Clashof Civilizations and the Remaking of World Order untuk hubungan internasional; American Politics: The Promise of Disharmony dan Who Are We? The Challenges of America’s National Identity untuk politik Amerika. Bekerja sama dengan murid-muridnya, ia menciptakan sub-bidang kajian strategis- wilayah yang tidak secara serius diteliti oleh sebagian besar universitas hingga ia mengkajinya.
Buku pertama Huntington, The Soldier and the State: The Theoryand Politics of Civil-Military Relations, diterbitkan pada 1957 dan menimbulkan kontroversi besar. Buku ini telah dicetak uang 15 kali dan masih dianggap sebagai buku standar mengenai bagaimana urusan militer bersilangan dengan dunia politik. Bahkan, untuk memeringati 50 tahun terbitnya buku ini, Akademi Militer West Point menggelar simposium pada 2007. Untuk sebagian, buku tersebut diilhami oleh kritik Presiden Harry Truman atas Jenderal Douglas Mac Arthur -dan pada saat yang sama ia memuji bahwa korps perwira tetap stabil, profesional, dan netral politik.
Political Order in Changing Societies, terbit pada 1968, termasuk di antara karya Huntington yang luas pengaruhnya. Ketika itu para ahli ilmu politik terpukau oleh besarnya perubahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang “sedang berusaha menjadi modern”.Teori modernisasi dianut oleh para ahli ilmu politik dan perbandingan politik disorot dalamkonteks modernisasi.
Di tengah perdebatan mengenai teori-teori modernisasi yang menganggap penting perubahan nilai-nilai normatif menjadi modern, yang akan menghela perubahan di bidang ekonomi, politik, dan lainnya, Huntington mengajukan tesis yang berbeda. Menurut Huntington, politik berjalan dengan logika yang berbeda dari ekonomi; menjadi modern tidak berarti akan serta merta mengubah ekonomi, politik, dan hukum suatu negara-bangsa. (Dalam kumpulan tulisan yang diterbitkan pada 1976, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Juwono Sudarsono menyertakan The Change to Change, tulisan Huntington yang membahas isu modernisasi, pembangunan, dan politik).
Di mata Huntington, tidak adanya ketertiban politik dan otoritas merupakan kelemahan paling serius di berbagai belahan dunia. Lebih dari bentuk rezim politik, derajat ketertiban dianggapnya sebagai pokok persoalan. Tanpa ketertiban politik, pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial tidak akan berhasil. Dua dekade kemudian, Huntington masih membahas tema yang sama dengan perspektif berbeda. Dalam bukunya, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, yang terbit pada 1991 dan memenangi Grawemeyer Award for Ideas Improving World Order, ia menyebutkan bahwa bentuk rezim politiklah “demokrasi atau kediktatoran” yang merupakan pokok persoalan.
Dalam penilaian Francis Fukuyama, Political Order in Changing Societies mungkin merupakan upaya besar terakhir untuk membangun teori umum tentang pembangunan politik. Ketika penulis The End of History itu menjadi pengulas buku di Foreign Affairs, pada 1997, ia menominasikan Political Order sebagai salah satudari lima buku terpenting mengenai politik internasional yang diterbitkan dalam 75 tahun terakhir. Mungkin karena itulah, Huntington meminta Fukuyama untuk menulis pengantar bagi cetakan baru edisi paperback buku tersebut, yang terbit pada 2006.
Dalam buku itu, Fukuyama antara lain menulis: “Untuk memahami nilai penting Political Order secara intelektual, kita perlu menempatkannya dalam konteks gagasan yang dominan pada 1950-andan awal 1960-an. Saat itu sedang ramai-ramainya -teori modernisasi’, yang barangkali merupakan ikhtiar paling ambisius orang Amerika untuk menciptakan teori perubahan sosial manusia yang terintegrasi dan empiris. Teori modernisasi memiliki asal-usulnya dalam karya akhir abad ke-19 di Eropa, karya teoritisi seperti Henry Maine, Emile Durkheim, Karl Marx, Ferdinand Tonnies, dan MaxWeber.”
Penulis-penulis ini membangun serangkaian konsep (yakni status/ kontrak; solidaritas mekanik/ organik; otoritas rasional karismatik/ birokratik) yang berusaha menggambarkan perubahan-perubahan dalam norma dan hubungan sosial yang terjadi sebagai ciptaan masyarakat manusia dalam transisinya dari era pertanian keproduksi industri. Karya ini lahir terutama dari pengalaman modernisator awal, seperti Inggris atau AS, dan berusaha menarik hukum pembangunan sosial yang bersifatumum.
Walau Political Order dipuji oleh Fukuyama, namun The Clash of Civilizations tak bisa dipungkiri merupakankarya yang paling memancing perdebatan. Dalam perjuangan peradaban ini, tulis Huntington, Islam akan muncul sebagai tantangan utama terhadap Barat. “Hubungan antara Islam dan Kristen, baik ortodoks dan Barat, seringkali ribut… Konflik abad ke-20 antara demokrasi liberal dan Marxis-Leninisme hanyalah fenomena sejarah yang cepat berlaludan superfisial dibandingkan dengan hubungan yang terus berlanjut dan sangat berbau konflik antara Islam dan Kristen.”
Huntington mengemukakan pandangannya itu pertama kali dalam artikel yang terbit pada 1993 di jurnal Foreign Affairs. Ia mengembangkan tesisnya itu menjadi buku, The Clash of Civilization sand the Remaking of World Order, yang terbit pada 1996 dan hinggak ini telah diterjemahkan ke dalam sekitar 40 bahasa.
Pandangan Huntington itu banyak menuai kritik. Amartya Sen, dalam karyanya Identity and Violence:The Illusion of Destiny (2006), menyoroti tesis yang membenturkan peradaban, yang cenderung tertuju pada perbedaan agama sebagai karakteristik sentral yang membedakan budaya-budaya. Dalam penilaian Sen, tesis ini mempunyai cacat konseptual di dalam memandang manusia sebagai memiliki satu afiliasi saja dan mengandung kesalahan historis karena mengabaikan interelasi penting antara apa yang diasumsikan sebagai peradaban yang terpisah dan memiliki ciri berbeda.
Pendekatan ini juga mengabaikan heterogenitas afiliasi agama yang mencirikan kebanyakan negaradan, terlebih lagi, kebanyakan peradaban. Pendekatan ini, di mata Sen, bisa menjadi persoalan yang amat besar, sebab orang-orang yang menganut agama yang sama sering kali menyebar di banyak negara yang berlainan dan di sejumlah benua yang berbeda. Sen mencontohkan, India mungkin dilihat oleh Samuel Huntington sebagai “peradaban Hindu”, namun dengan hampir 150 juta warga muslim, India adalah negara muslim terbesar ketiga di dunia. India memiliki jauh lebih banyak penduduk muslim dibandingkan dengan negara-negara yang oleh Huntington dikategorikan sebagai “dunia muslim”.
Sen mengingatkan, sejarah dan latar belakang bukanlah satu-satunya cara melihat diri kita dan kelompok yang kita menjadi bagian darinya. Ada sangat beragam kategori di mana kita secara serentak menjadi bagian kategori-kategori itu. Pada saat yang bersamaan, kata Sen, “Saya bisa menjadi orang Asia, warga India, orang Bengali dengan moyang Bangladesh, penduduk Amerika atau Inggris, ekonom, orang yang iseng berfilsafat, penulis, berbahasa Sanskrit, sangat meyakini sekularisme dan demokrasi, seorang pria, feminis, hetero seksual, dari latar belakang Hindu, bukan kasta Brahma, dan orang yang tidak memercayai hari kemudian.”
***
Huntington lahir pada 18 April 1927 di Kota New York, putra dari Richard Thomas Huntington- seorang editor dan penerbit- dan pasangannya, Dorothy Sanborn Phillips, penulis. Ia memperoleh BA dari Yale University (1946), memasuki dinas militer, lalu memperoleh MA dari University of Chicago (1948), dan Ph.D dari Harvard pada 1951. Ia mengajar di Harvard tanpa jeda sejak 1950 dan sempat menjadi associate professor di Institute of War and Peace Studies di Columbia University.
Huntington agaknya seorang sarjana yang menikmati betul profesinya sebagai pengajar. Dalam surat pensiunnya kepada Presiden Harvard pada 2007, ia menulis, antara lain, “Sulit bagi saya untuk membayangkan karier yang lebih menghargai atau lebih menyenangkan dari pada mengajar di sini, khususnya mengajar mahasiswa tingkat sarjana. Saya menghargai setiap tahun dari tahun-tahun yang saya jalani di sini sejak 1949.”
Namun Huntington juga tak bisa menampik daya tarik politik praktis. Tatkala Jimmy Carter memasuki Gedung Putih, ia bergabung sebagai koordinator perencanaan keamanan untuk Dewan Keamanan Nasional (1977-1978). Ketika itu Zbigniew Brzezinski menjadi Penasihat Keamanan Nasional Carterdan ia adalah kawan dekat Huntington. Pada 1964, Brzezinski bersama Huntington sebagai co-author, menulis Political Power: USA-USSR, yang merupakan kajian utama mengenai dinamika Perang Dingin dan bagaimana dunia dapat dibentuk oleh dua filsafat politik yang saling bertentangan.
Hingga akhir hidupnya, potensi konflik yang melekat dalam kebudayaan begitu menonjol dalam mengambil tempat pada pemikiran Huntington. Sebelum kesehatannya merosot, pada musim gugur 2005, ia mulai mengeksplorasi isu agama dan identitas nasional.
“Sam itu sejenis sarjana yang membuat Harvard universitas besar,” kata sahabat Huntington hampir enam dasawarsa, ekonom Henry Rosovsky. “Orang-orang di seluruh dunia mempelajari dan memperdebatkan gagasannya. Saya yakin, ia salah seorang political scientist paling berpengaruh dalam 50 tahun terakhir.” (Berbagai Sumber)
***