http://jurnalnasional.com/
Seseorang yang Berjalan Tengah Malam
pada malam yang runcing
seseorang mengusung hutan di punggungnya
berjalan dari kota ke kota
berhenti di setiap jalan yang terbelah
menggelar kusut wajahnya
dan membiarkan tubuhnya menjadi mangsa
lelehan larva kota di sepanjang malam
ia mengingat-ingat jalan yang hilang
menyesali waktu yang terbenam di kakinya
kota ia telah lama jadi bara
matahari tumbuh di setiap rumah
bapak-bapak mencangkul limbah di balik beton
ibu-ibu menjemur dada di bibir pabrik
dan anak-anak menggembalakan mimpi
di kubangan asap yang pengap
sementara malam terus merambat
adakah pilihan tentang hari dan esok pagi
kecuali bermimpi barangkali kelak,
ada sungai yang merambat ke hulu
dan menghantam balik kota mereka
Am, 2009
Orang-orang Kardus
tubuh-tubuh kardus yang tirus
terus berlari memutar malam
meracik rincik hujan
jadi dendang tengah malam
berhentilah sejenak
tlah kugelar selembar teras rumahku
berbaringlah selayaknya nyawa
maka lupakan sejenak
huru-hara waktu di hatimu
biarlah ia pulas ditating mimpi
kelak saat subuh rubuh
kita longok kebun di jauh bukit
sepetak kebun
jauh dari nyeri dan rasa sakit
Am, 2009
Malam di Cikapayang
sebelum subuh jatuh di punggungku
aku menggambar angin di desir malam
mencoreti ceruk trotoar yang lapar
taman cikapayang
bising oleh nyanyian perlawanan
kami dendangkan dengan hidmat
sesekali mencibir para musafir
atau mengumpat mualaf negeri
negeri kami serupa lautan kenalpot
berpusing di cemas perempatan
merah kuning hijau di kebun hatiku
tak pernah jadi mawar yang merekah
atau juga anggrek yang solek
hidup ada dalam satu dua pilihan
terpanggang api heroik
atau beku dalam hujan yang tragik
Am, 2009
Secangkir Kopi di Suropati
kupu-kupu liar
siar dari jalan ke jalan
patah dan berpusing di taman
ke taman suropati aku menepi
merasakan gigil jalan
gemeretak gedung-gedung
menghimpit linglung langkahku
pada secangkir kopi
aku ingin menyimpan mimpi
biar tumbuh di tubuhku
pulau-pulau tanpa cerobong asap
langit-langit tanpa lubang hitam
tanah dan laut tenang terbentang
Am, 2009
Layang-layang
aku kembangkan layang-layang
di atap magrib
menyusuri mega-mega hitam
ada gambar wajah kita
kuyup dibius malam
layang-layang terbang
diombang-ambing malam
bocah, janganlah kau menunggu
sebab benang terus terulur
jauh membumbung
barangkali kita lupa
jarak kematian kita?
Am, 2009
Surat Malam
kusematkan lelahku pada setiap alamat
namun jalan-jalan raib. hanya magrib
terpasang usang pada kopiah bocah-bocah
aku mencarimu dalam larik-larik sengal
dilantunkan kakek, ketika subuh surup
aku seperti diinstal ajal-disayat sekarat
tubuhku dipenggal jadi baris huruf-huruf
kata-kata dimutilasi, dan aku merasa entah
di manakah lagi rumah bagi para pejalan?
Am, 2008
Malam-malam Menyusun Matahari
tidakkah salah, kami menyusun matahari
pada setiap malam yang penuh cemas
walau sudah sayup dan mengatup
mata ini ingin terus berbincang, sayang
bahwa api terus berkecamuk di negeri ini
tunggulah esok, sebongkah anak-anak sunyi
sedang siap-siap, berkemas dan berbaris
juga berebut terik matahari. revolusi!
Am, 2008
Revolusi Itu
apa yang liar di matamu, tepikanlah
sampai tubuh ini berhenti berguncang
sebab malam-malam hanyalah lengang
pergi memburu mimpi di telaga pagi
tempat luka-luka merangkai bom waktu
kelak meledak di tubuh kita, hanyalah
puing-puing yang tak sempat dicatat
sebagai rencana atau masa lalu
namun, begitulah nyanyi revolusi
adalah bom yang sunyi, mencari ibu waktu
tempat kita berteduh dan bersandar
Am, 2008
Kantata Pagi
ada yang diam-diam bernaung di saung hatiku
adalah pagi yang terus berkecamuk
merenung murung meremas ulu hati
tahukah, betapa kini aku merasakan rindu yang luap
rindu nyanyian ibu di sela gelap
yang tak kujumpai di lebat keramaian ini
sungguh, di perjumpaan waktu
aku ingin mencipta nada pada kantata pagi ini
dan menyanyikan tembang kepenatan
Am, 2009