http://jurnalnasional.com/
DONGENG LEBARAN
tak sekedar maaf, tentu, yang ingin
kusampaikan padamu
juga cerita lama yang tak sempat dikisahkan
oleh leluhur kita:
di depan rumah ada sebuah lorong
tiap pagi kita mendengar ringkik kuda
dan langkah orang yang tergesa
?mereka mengasah parang,? katamu
di ujung ada sebuah bukit
dengan bongkahan-bongkahan batu hitam
yang satu persatu melayang bagai kapas
menimbun kolam di bawahnya
dari jauh, seorang tua menatap dengan mata
berkaca-kaca, menghadapi kenangan yang
terkubur ? lalu menjelma bukit-bukit baru
dengan batu-batu lebih cadas
tak sekedar takbir, tentu, yang ingin kulafalkan
juga sepotong doa
agar setiap lorong dipenuhi sayap-sayap malaikat
yang tiap saat mengkepak-kepakkan butir-butir hujan
Depok, 15 September 2009
PUISI PANJANG
lain kali, aku akan datang sendiri
memanjat tugu dan membaca puisi di pucuknya
kota lalu diam.
maukah kau menemaniku
memungut huruf-huruf yang luruh
lalu mengeras
maukah kau memotretku dari jauh
menghentikan waktu sejenak
kali code beku
aku ingin menulis puisi panjang
menjadi beribu rangkaian kereta
tapi aku tak ingin menjadi penyair!
Solo-Semarang, 31 Maret 2009
PONCOL
siapakah yang membelah bumi malam-malam
di stasiun itu
derumnya mengirim ngilu sampai sumsum
siapakah yang membelah hati semalam ini
di stasiun itu
getarnya membuat kangen sampai pekat
siapakah yang membelah sunyi malam begini
di stasiun itu
durinya mengirim perih sampai jantung
Semarang, 31 Maret 2009
PIRING YANG SUNTUK
aku sudah makan, katamu,
ketika kita tiba di warung itu
sungguh, itu pertanyaan tua:
adakah kafe yang menyediakan rendang mars
atau balado pluto
kita selalu kebingungan menghadapi
meja makan
menunya itu-itu juga:
suara pidato, derum mobil,
anyir keringat, juga lidahmu yang kelu
tak henti berdoa
maukah kau mengirimkan menu baru
untuk piringku yang suntuk dan selera
makanku yang makin buruk
aku minum saja, katamu,
ketika tiba di warung itu, sambil
melepaskan seribu kupu-kupu
Yogya-Jkt, 29 Maret-2 September 2009
SOP BECAK
apakah bapak mau pesan gorengan aspal?
tidak, katamu, bapak ini ingin mencoba
sop buntut becak, minumnya jus andong
maaf, pelayan terbelalak, pasokan becak
dari jakarta sudah lama terhenti
di jogja ada larangan menyembelih becak
duduk menghadap jalanan, aku mencuri
bola matamu dan menyaksikan kota tumbuh
seperti manik-manik biru
pukul empat aku ada ujian di kampus,
katamu, kau harus segera mengembalikan
bola mata cantikku
sekarang, nikmati dulu pecel itu.
Yogya-Jkt, 29 Maret-4 April 2009
DIAM
di stasion tugu
kita mengeja diam:
kau tak mengenalku
aku tidak cukup
mengenalmu
Yogya, 28 maret 2009
CODE
gardu listrik mendadak meledak malam itu
menyuguhkan biji-biji api
code menjadi gelap
disini tidak ada pocong, katamu,
mari kita teruskan merayakan cinta
aku menambah teh hangat lagi
jam segini, seharusnya kita sudah tidur
tapi kereta datang terlambat
hotel sudah tutup
malam telah menggulung lapak
kau mau mie instan, sate, roti bakar
atau kesunyian?
ah, mengapa kantuk berubah jadi biji salak
lagumu begitu lucu
seharusnya kita tak tidur di matamu
Yogya, 29 Maret 2009
KAYU BAKAR
ada yang datang dalam mimpi membawa
anggur dan kayu bakar
ludahmu sudah terlalu dingin, katanya,
sebentar lagi hujan
kepalamu harus dikeringkan
Depok, 16 Februari 2009
seseorang diam-diam menghilang
masuk ke dalam mimpi dan tak pernah kembali
karena malam sudah begitu sialan
Depok, 16 Februari 2009
KOLAM
: hasbi burman
penyair, mengapa kolammu tak lagi
kau gali, seperti petani di desamu: tiap pagi
menggotong cangkul mengolah ladang
aku melihat kata-kata berlompatan bagai biji hujan,
menyeberang kumis tebal, menjadi becak di jalanan:
tertatih-tatih dan tertindih
kota itu telah menjadi pasar maha luas, penyair
tempat beragam uang dilemparkan: orang-orang datang
membikin rumah dan mencipta kenangan
tak perlu puisi, apalagi rambut kita yang makin uban,
mereka meminum anggur dan menjadi penyair itu sendiri
bersajak tentang kangen dan tanah lapang
lihatlah jalanan tempat kita terperosok malam-malam:
kegelapan makin mencekam. Atau di deretan meja plastik Rex:
kopi tak lagi manis untuk diseduh
kau tahu penyair, kota itu telah menjadi harimau
kita makin terasing: terusir ke Seulimum, ke pelosok kampung,
terpaksa membikin rumah di hutan Seulawah
aku tak lagi membaca isyarat daun dari bibirmu, bulan yang
tenggelam di payau-payau, angin yang menampilkan tarian daun
di Gue Gajah, dan untaian yang bergulir di atap Peunayong
duh penyair, kolammu tak lagi dalam
meniupkan hawa sejuk pegunungan
angin mati.
Depok, Juli 2006