Aris Kurniawan*
http://www.prakarsa-rakyat.org/Republika
Sejak setidaknya satu dekade terakhir blantika sastra Indonesia diramaikan dengan fenomena tumbuhnya sastrawan perempuan yang demikian marak. Fenomena ini bukan semata pertumbuhan perempuan pengarang yang begitu subur secara kuantitas (meskipun sampai sekarang tetap tidak sebanding dengan jumlah laki-laki pengarang), melainkan karena karya-karya mereka dianggap telah melakukan terobosan.
Terobosan yang dilakukan para perempuan penulis terutama menyangkut keberaniannya membicarakan tubuh secara vulgar, blak-blakan, yang kemudian memunculkan kontroversi. Antara lain, Ayu Utami, dengan Saman-nya menjadi ikon menandai kehadiran mereka, yang kemudian disusul oleh Supernova Dewi Lestari, Mereka Bilang Saya Monyet Jenar Maesa Ayu, trilogi Atap, Jendela, Pintu Fira Basuki, Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch Dinar Rahayu.
Di pasar buku fiksi karya-karya perempuan pengarang ternyata juga disambut antusias, terbukti dengan terus terbit dan diserapnya buku-buku mereka. Buku-buku karya Helvy Tiana Rosa, Dee, Nukila Amal, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia, Yetti AK, Ucu Agustin menghias rak toko-toko buku. Puluhan penerbit berlomba menerbitkan karya-karya mereka. Tak ketinggalan Penerbit Republika yang tahun ini memilih membukukan cerpen-cerpen perempuan pengarang bertajuk Dokumen Jibril yang disunting oleh Ahmadun Yosi Herfanda.
Buku itu terbit sebagai bentuk perhatian kepada penulis perempuan supaya mereka terus terdorong untuk setidaknya meng-counter penulis laki-laki yang apa boleh buat merupakan jumlah mayoritas dan dominan dalam khazanah sastra Indonesia sejak awal sejarahnya. Simpulan ini sesuai yang tertulis dalam pengantar buku bahwa sejauh ini peran perempuan dalam pelbagai bidang kehidupam masih dalam posisi subordinasi, sehingga perlu kiranya perhatian untuk mendorong keberadaan mereka.
Judul buku diambil dari cerpen Ucu Agustin. Cerpen Ucu bisa dikatakan sama sekali tidak mewakili tema yang diangkat dalam buku. Jadi, kiranya pertimbangan mengambil judul tersebut semata karena lebih memiliki nilai jual di samping terdengar agak mistis puitis dan juga memang saya kira cerpen tersebut terkuat dari 20 cerpen yang termuat dalam buku.
Buku itu menawarkan tema yang cukup beragam dengan sebagian besar mengangkat peristiwa sosiologis faktual. Tetapi, setidaknya peristiwa sosiologis faktual tersebut terbingkai dalam dua tema besar yang mewarnai cerpen-cerpen karya perempuan pengarang dalam buku ini. Pertama, ide pemberontakan atas ketidakadilan gender; dan kedua, mistisisme religius. Dari dua kecenderungan tersebut, ide pemberontakan perempuan yang menjadi jargon gerakan feminisme dan arus besar kecenderungan perempuan pengarang terkini tampak menjadi semangat utama dan mengambil porsi terbesar buku ini.
Dengan sudut pandang dan persoalan yang beragam, ide pemberontakan dan ketertindasan perempuan atas kultur tampak pada Gugur Daun Mapel karya Abidah Al Khalieqi, Cinta Sarkowi karya Titik Sugiarti, Sebilah Pisau karya Maya Wulan, Pertemuan di Taman Hening karya Helvy Tiana Rosa, Ranti Menderas karya Asma Nadia, Langit Zahra karya Dianing Widya Yudhistira, Cermin karya Djenar Maesa Ayu, Laki-laki di Atas Tembok Berlin karya Pudji Isdriani K, dan Mata karya Titi Said.
Mistisitisme religius, baik yang secara tersamar maupun terang-terangan, muncul dalam cerpen Lelaki yang Hadir Tengah Malam karya Evi Idawati, Dokumen Jibril karya Ucu Agustin, Perahu Nuh karya Ratna Indraswari Ibrahim, dan Pohon karya Dewi Sartika. Secara umum kisah pemberontakan perempuan tidak memberi sesuatu yang baru dan menjadi sesuatu yang rutin, begitu pula pilihan bentuk pengungkapan yang dipilih para pengarang. Ia hadir kiranya semata memperpanjang deretan buku-buku perempuan pengarang yang telah terbit, kecuali satu dua cerpen.
Kisah pemberontakan yang hadir dalam cerpen Gugur Daun Mapel misalnya, tampil dengan kalimat-kalimat puitis dalam jalinan cerita romantis yang menyodorkan banyak informasi tentang struktur sosial keluarga Arab yang paternalistik. Persengketaan Nabila Al Habsyi dengan ibu dan kakak perempuannya yang setia pada tradisi dan mengagungkan kelas sosial dalam beberapa titik tertentu seringkali menggulung cerita menjadi sekadar pernyataan-pernyataan pengarangnya yang kering dan bombastis.
Kepiawaiannya menjalin kalimat-kalimat lembut yang memberi nafas puitik adalah unsur yang cukup menolong cerpen ini untuk dinikmati dengan suguhan romantisme kisah cinta dua manusia yang sesungguhnya terlampau klise, namun mampu memberi kesegaran lain. Pergolakan batin yang dialami Nabila diungkap hampir memakan sebagian besar cerpen.
Kultur pathriarkis telah melahirkan cara berpikir sangat diskriminatif yang kemudian melembaga dalam sistem hukum, baik dalam bentuknya yang formal maupun tidak. Sih, perempuan dalam Pertemuan di Taman Hening merupakan korban kekerasan seorang suami. Sih tak berdaya, bukan saja karena ia perempuan yang lemah secara fisik, melainkan juga pandangan masyarakat yang tidak adil terhadap perempuan sehingga ia hanya mampu melakukan pemberontakan dalam ilusinya.
Tetapi dalam ilusi pun ternyata Sih tidak dapat melepaskan diri kekuasan yang dibangun laki-laki, bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus dilindungi laki-laki: Sih mendambakan laki-laki yang bisa melindunginya dengan kehangatan cinta kasih. Sih jelas merupakan presentasi dari perempuan yang jadi korban empuk kekuasaan laki-laki yang tanpa disadari Sih sendiri sebagai kebenaran.
Perempuan dalam Sebilah Pisau lebih tragis lagi. Ia tidak menemukan cara memberontak kecuali mengakhiri hidupnya dengan menerjunkan diri ke dasar jurang berbatu. Begitu pula cerpen Ranti Menderas, Langit Zahra, Cermin, dan Mata. Dalam dominasi tema perempuan sebagai korban kekuasaan, cerpen Lelaki di Atas Tembok Berlin menyodorkan arah yang berlawanan. Perempuan dalam cerpen tersebut tampil begitu berkuasa. Laki-laki di sana hadir sebagai pecundang. Cerpen ini berkisah tentang Bismo Kumbara, lelaki yang ditindas istrinya. Bismo tidak berdaya sebagai suami yang mestinya mengendalikan Gendari, istrinya.
Kekecewaan menghadapi istrinya yang keras kepala ia tumpahkan pada seorang pelacur. Tetapi kemudian pelacur pun menolaknya setelah dibayar lebih tinggi oleh Gendari supaya menjauhi Bismo. Meskipun kekuasaan perempuan di sana tidak bertolak ideologi feminisme seperti yang diusung Nawal el Sadawi misalnya, namun mampu memberi warna lain, meski penggarapannya nampak kedodoran. Terutama pada alur dan percakapan tokoh-tokohnya.
Pengarang yang memilih tema mistis religius nampaknya juga terperangkap dalam kesadaran paternalistik. Lihatlah, cerpen Lelaki yang Hadir di Tengah Malam, ia hadir justru makin mempertegas dominasi laki-laki sebagai realitas yang tidak bisa ditolak. Aku-narator, yang seorang perempuan dan bersuami, mencintai lelaki lain. Meskipun lelaki tersebut hanya berwujud lebih sebagai sosok simbolik, si perempuan merasa berdosa kepada suaminya. Sebagaimana cerpen yang disarati beban ideologis, cerpen ini jatuh dalam pola pemikiran religiusitas formalistik yang membosankan.
Dokumen Jibril dan Sikat Gigi, merupakan dua cerpen yang menawarkan hal yang tidak terlalu klise. Dokumen Jibril, tampak kekuatannya pada tempo bercerita yang cepat dengan eksplorasi bahasa yang menarik membalut plot cerita yang meliuk-liuk menjadi semakin mengasyikan. Ucu juga pandai membuat metafora-metafora menyegarkan, meski tidak selalu sinkron. Dengarlah satu paragraf berikut ini:
Seperti kue yang sejak dari proses cetak tak pernah mempunyai hak untuk protes, lantai itu pun tak pernah ditanyai apakah ia mau menjadi penjajah abadi dari kehidupan tanah yang ada di bawahnya? Campuran kasar yang terdiri dari semen, pasir, kerikil itu seolah ditempel begitu saja, direnggut keakuannya, diputus dari masa lalunya. Seolah mereka tidak mempunyai sejarah; kerikil diputus dari batunya, pasir digerus dari sungainya, semen ditambang dari pabriknya.
Pada cerpen Sikat Gigi, Dewi Lestari bertutur ringan namun mendalam mengenai hubungan persahabatan dua orang berbeda jenis yang melibatkan sikat gigi. Uniknya, keterlibatan sikat gigi menjadi sangat menentukan hubungan keduanya. Kehadiran sikat gigi sebagai benda penting namun sering diabaikan ini menjadikan cerpen ini memiliki pola ungkap yang lumayan personal.
Begitulah, lagi-lagi sesuai yang tertulis dalam pengantar, buku ini tampaknya memang tidak bermaksud membuat gebrakan atau apalah namanya. Meskipun demikian keragaman tema yang ditawarkan setidaknya memperlihatkan dinamika penulisan fiksi oleh pengarang perempuan dalam memberi warna terhadap blantika sastra Indonesia yang apa boleh buat telanjur didominasi penulis laki-laki.
*) Kurator Komunitas Kebon Nanas.