Adhitya Ramadhan
http://cetak.kompas.com/
Tasikmalaya dijuluki kota santri atau kota pesantren karena banyak sekali pesantren di daerah ini. Oleh pegiat sastra kota di tenggara kaki Gunung Galunggung ini, Tasikmalaya terus digaungkan sebagai kota sastra.
Julukan ini, selain karena banyaknya sastrawan, juga mengacu pada banyaknya acara sastra yang di gelar di Tasikmalaya. Satu komunitas yang terbilang aktif ialah Sanggar Sastra Tasik.
Adakah kaitan antara santri dan sastra di Tasikmalaya? Tidak sedikit seniman berlatar belakang pesantren. Sebut saja Acep Zamzam Noor dari Pesantren Cipasung dan Sarabunis Mubarok dari Pesantren Alhikmah, Cimerah. Keduanya di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Sebut pula grup kasidah Almanar dari Pesantren Sukahideng, juga di Singaparna.
Di bidang sastra ada Komunitas Malaikat. Anggota komunitas ini merupakan santri dari berbagai daerah, seperti Garut, Subang, dan Bandung. Ada juga Pesantren Syifaush Shudur di Garut yang menciptakan tembang pesantrenan. Tembang ini merupakan irama Cianjuran dengan muatan dakwah.
Tidak hanya di pesantren, masyarakat yang bermukim di dekat pesantren pun memiliki grup kesenian, misalnya grup dorban Cipasung, grup dorban Kembar Grup, dan Aliansi Qasidah en Dangdut (Alqaeda). Semua ada di Cipasung.
Di luar itu sebetulnya masih banyak anak muda yang aktif menggeluti berbagai bidang kesenian. Ada komunitas sastra, teater, musik, dan seni kaligrafi. Teater dan seni musik menjadi bidang seni yang paling banyak tumbuh di pesantren. Kebanyakan pesan yang disampaikan melalui seni musik bertemakan dakwah.
Kegiatan berkesenian tersebut tidak diajarkan oleh pesantren. Munculnya seniman dari pesantren, menurut Acep Zamzam Noor, tidak lepas dari dunia keseharian pesantren itu sendiri. Contoh sederhana, setiap peringatan hari besar Islam selalu ada pentas seni yang ditampilkan santri, misalnya kasidah atau teater yang bercerita tentang kisah sahabat nabi. Bahkan tidak jarang digelar lomba kesenian di pesantren.
Lebih jauh, banyak pelajaran agama yang diajarkan dalam bentuk syair, terutama di pesantren salaf. Pelajaran tata bahasa Arab dan sejenisnya dipakai untuk membaca kitab dan menafsirkan Al Quran. Kemampuan ini sesungguhnya bisa juga diterapkan untuk menganalisis karya sastra Indonesia. Dengan demikian, secara tidak langsung sebetulnya santri sudah belajar sastra.
Akan tetapi, kegiatan berkesenian ini hanya sebatas kegiatan mandiri para santri, lepas dari pengasuh pondok pesantren. Kesenian belum menjadi kegiatan yang terintegrasi dengan pondok pesantren. Dalam hal ini kiai atau ajengan memiliki peran penting yang menentukan apakah kegiatan seni boleh dilangsungkan di pesantren atau tidak.
Pembentukan karakter
Menurut Acep, masih ada masyarakat sekitar pesantren yang kurang akomodatif terhadap seni dengan alasan yang terkadang tidak jelas. “Saya pernah lari dikejar-kejar warga karena membawa gitar ke pesantren untuk kegiatan kesenian. Waktu itu gitar dinyatakan haram,” tutur putra KH Ilyas Ruhiat (alm) itu. Gitar diharamkan karena merupakan alat musik dari penjajah. Baru pada tahun 1990-an penggunaan gitar di Cipasung diperbolehkan.
“Santri salaf memiliki modal yang besar untuk menggeluti sastra. Sebab, setiap hari selama bertahun-tahun mereka belajar tata bahasa Arab dan keterampilan bahasa untuk membaca kitab dan Al Quran dengan sangat cermat. Itu sebenarnya bisa juga dipakai untuk menggali sastra Indonesia,” kata Sarabunis Mubarok.
Sayang, budaya tulis di pesantren umumnya sangat minim. Segala pengajaran agama dilakukan satu arah. Masih jarang pula ajengan yang membuka dialog dengan santrinya terkait dengan pelajaran agama. Berkesenian merupakan bagian dari proses pembentukan karakter santri.
Dengan aktif dalam kegiatan seni, kepekaan dan sikap kritis santri akan lebih terlatih. Santri akan mampu berempati pada penderitaan orang lain, peka terhadap kejadian sosial di sekelilingnya dan kritis terhadap ketidakadilan.