Sirikit Syah*
http://www.jawapos.co.id/
Membaca kumpulan puisi Setetes Air di Lokalisasi, terbitan Balai Bahasa Surabaya dalam rangka Bulan Bahasa 2009, membuka mata hati kita tentang para perempuan penghuni lokalisasi. Tak terlalu mengherankan bila ide puisi-puisi di buku ini agak kering. Harap maklum, kehidupan para PSK memang amat terbatas. Secara sosial, politik, dan ekonomi mereka terpinggirkan. Secara fisik pun mereka dibatasi tembok-tembok hunian.
Yang cukup menakjubkan, ada banyak puisi yang berkisah tentang ibu. Hampir semua ”penyair” dalam buku ini memiliki catatan tentang ibu: ungkapan cinta atau pemujaan terhadap ibu. Ada juga yang berupa penyesalan, permohonan maaf. Seperti yang diungkapkan dalam geguritan (puisi berbahasa Jawa) karya Erna:
Anak panjenengan nyuwun pangapunten
Sak menika anak panjenengan
Ngelampahi lelakon ingkang awon
Sebaliknya, tak terlalu mengejutkan bila mereka menulis tentang anak-anak mereka. Salah satu geguritan tentang anak ditulis oleh Tumir Rahayu dengan nada mengharukan:
Dhuh anakku
Sampek kapan
Uripe Mak-mu sing kaya ngene
Sampek anakku wis gedhe-gedhe
Kok durung dhuwe omah dhewe
Tak banyak tulisan tentang Tuhan dalam puisi-puisi mereka. Entahlah, apakah mereka memang jarang ingat Tuhan atau takut menyebut-nyebut nama Tuhan. Bila ada puisi tentang Tuhan, biasanya berisi rasa penyesalan dan permohonan ampunan atau rasa putus asa atas nasib malang yang menimpa mereka.
Pengalaman dan kesan mereka tentang terminal dan angkot jauh lebih banyak daripada tempat kerja mereka. Kutipan karya Elly di bawah ini mungkin dapat mewakili puisi-puisi tentang angkot:
Malah kadhang karo pak sopir
Ditumpuk kongkon pangku-pangkuan
Ben penumpang amot akeh
Dhasar angkutan desa
Hampir tidak ada gambaran tentang kehidupan dan pekerjaan mereka sekarang, baik secara fisik/lokasi maupun secara psikologis (pengalaman batin). Sepertinya, mereka sengaja menghindari topik yang mungkin ”tidak menyenangkan” ini. Sesuatu yang selalu membuat mereka ”guilty feeling”, ”berdosa”, ”kotor”, dan sebagainya.
Para perempuan penghuni lokalisasi ini juga banyak bercerita tentang kehidupan sehari-hari sampai hal-hal paling sederhana. Ada yang bercerita tentang binatang piaraan, kelinci atau kambing. Tentang lelaki berkepala botak yang kerap dijumpai, para penyair PSK ini juga punya sense of humour:
Biarpun kepalanya botak tapi kan seksi
Gundul-gundul tapi menawan
(Susan)
Ada juga yang tampak berusaha serius, lalu berbicara tentang politik:
Saiki akeh wong susah
Golek pangan angel
Ora kaya jamane Pak Harto
(Ita)
Salah satu geguritan yang menyentuh rasa iba adalah karya Elly berjudul Omahku. Puisi tersebut berkisah tentang mantan suami yang hendak merebut kembali gubuk yang dibangun sang mantan istri menjadi rumah indah dari hasil kerjanya sebagai PSK.
Dari segi topik atau materi cerita, para penyair baru ini terasa kurang eksploratif, kurang daya fantasi. Dari segi proses kreatif, puisi-puisi dalam kumpulan ini tampaknya tak mengalami masa inkubasi yang panjang. Tak adanya proses inkubasi, ditambah ”miskin” pengalaman berbahasa, puisi-puisi dalam buku ini kelihatan terlalu sederhana. Keragu-raguan menggali potensi diri dan mengeksplorasi khayalan juga membuat karya mereka cenderung membosankan. Tak hanya topik yang seragam, pilihan kata (diksi) para penyair dalam buku ini juga tidak bervariasi. Untuk menyebut pria idaman, misalnya, kosakata yang digunakan oleh hampir semua penyair adalah ”wong bagus” (pria tampan).
Saking sederhananya ekspresi penyair, puisi-puisi ini juga seperti sekadar menulis catatan harian. Nyaris tak ada sentuhan gaya bahasa seperti hiperbola, klimaks-antiklimaks, metafora, dan paralelisme. Namun, justru itulah kekuatan puisi-puisi mereka. Puisi mereka jujur. Kata-kata bermakna seperti seharusnya.
Meskipun bahasanya sangat biasa, seorang penyair bernama Yanik bercerita tentang Kutang dengan menarik:
Kutangku enak sekali
Harganya tiga ribu
Kupakai nyaman sekali
Mudah-mudahan bisa untuk mencari rezeki
Ada juga yang menggunakan gaya bahasa persamaan atau simile, menyamakan tubuh perempuan dengan springbed (aku gemuk seperti spring bed) dan tripleks (kurus seperti tripleks), karya Titin S. Ini ungkapan-ungkapan khas lokalisasi yang dapat membuat kita tersenyum.
Gorys Keraf dalam Diksi dan Gaya Bahasa (Gramedia Jakarta, 2007) mengatakan, gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan santun, dan menarik. Betapa pun indahnya seniman mengolah kata, semua mesti berawal dari kejujuran.
Pada awal 2000-an, banyak pengarang perempuan yang mengejutkan dunia sastra Indonesia dengan keberaniannya mengumbar kata-kata vulgar, jorok, tak senonoh, hingga segala ungkapan tentang alat kelamin dan kegunaannya ditulis tanpa tedeng aling-aling. Para PSK di kumpulan puisi ini justru terbebas dari perangkap vulgarisme itu. Mereka jujur dan santun.
Meskipun gaya bahasa puisi-puisi di buku Setetes Air di Lokalisasi ini kurang indah atau kurang puitis, buku ini tetap enak dibaca. Sebab, karya seni bukan sekadar persoalan medium (warna, nada, atau kata-kata); melainkan tentang kehidupan itu sendiri. Karya seni yang hebat dapat memengaruhi dan menggerakkan pembacanya. Mudah-mudahan kumpulan puisi dwi-bahasa ini juga menjadi ”setetes air” dalam upaya pengentasan kehidupan para penyairnya menuju kelayakan dan kesejahteraan. (*)
*) Penyair Surabaya.