Achiar M Permana
suaramerdeka.com
PUISI acap kali diemohi karena dipandang tak gampang dinikmati. Anggapan orang, puisi kebak kata-kata bertebaran, penuh simbol di sana-sini, kadang kala dengan diksi arkaik yang sulit dipahami. Di sisi lain, ketika muncul dalam wujud pembacaan puisi, sering kali tidak dihadirkan dalam kemasan yang merak ati.
Namun, jika Anda menonton “Demak dalam Puisi” di pendapa Kabupaten Demak, beberapa waktu lalu, kesan puisi tak menarik hati boleh jadi menjauh pergi. Kehadiran penyair Sosiawan Leak, yang berkolaborasi dengan kelompok musik Temperente, menghadirkan pertunjukan puisi-musik yang menarik dinikmati.
Pertunjukan itu digelar Komunitas Wartawan Demak (Kawede), dalam rangka HUT Ke-505 Kabupaten Demak. Selain Leak, hadir pula Jurnalis Baca Puisi dari Semarang, antara lain Abbas Effendi (Wawasan), Slamet Priyo (Cempaka/Radio Rasika), dan Edhie Prayitno Ige (Radio Elshinta). Bupati Tafta Zani dan Wakil Bupati KH M Asyiq juga membacakan puisi.
Malam itu, Leak membacakan lebih dari enam puisi yang diambil dari antologi Dunia Bogambola. Semua puisinya dihadirkan dalam wujud puisi-musik, kolaborasi dengan Temperente yang malam itu tampil atraktif.
Leak memang tak terlihat berusaha berindah-indah dalam puisi-puisinya. Mulai dari “Kau Menyiapkan Barisan”, “Kemana Perginya Sejarah Papua” hingga “Dunia Bogambola” yang menjadi penutup hadir dengan pilihan kata yang bersahaja. Namun tetap saja, ketika puisi-puisi itu dideklamasikan Leak dan ditingkahi tetabuhan rancak Temperente, daya pikatnya muncul.
“Kau menyiapkan barisan di luar rumah/sementara aku bermimpi/membangun pagar lidi/yang di ujungnya tertancap palawija dan rempah-rempah/perisai bagi anak isteri/dari gangguan setan dan hujan kimia/juga serangan babi hutan atau semacam pasukan yang tidak jelas kesatuannya…”
Multimedia
Puisi Leak memang tampil semacam pamflet, yang “menyerang” banyak hal di sekitarnya. Lewat kata-kata, para pejabat yang rajin korupsi, masyarakat yang tidak punya pendirian dan karena itu mudah diombang-ambingkan, eksploitasi kekayaan alam tanpa kearifan, hingga agamawan yang membuat umat terpecah-belah.
Selain kolaborasi dengan musik, Leak meningkahi pembacaan puisinya dengan tayangan-tayangan yang selaras. Ketika puisi “Kemana Perginya Sejarah Papua”, misalnya, di layar hadir tayangan tentang ekploitasi yang dilakukan PT Freeport di Papua.
Yang menarik, Leak memilih puisi yang dibacakannya hingga membentuk “plot” cerita. Di sesela puisi, dia menelangkai dengan semacam orasi yang menjadi pengantar kisah yang akan diucapkannya. Sayang, malam itu, Leak terlampau mengobral kata pengantar sehingga nyaris “menenggelamkan” puisi-puisinya yang sebetulnya menarik.
Walaupun, jika dibandingkan dengan pentas “Dunia Bogambola” serupa di tempat lain, pementasan malam itu terasa kurang menggigit. Dibandingkan dengan ketika dia tampil di Festival Cak Durasim (FCD) Surabaya atau Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta, November tahun lalu, kali ini penampilan Leak terasa jauh lebih menurun.
***