Muhammad Tazli
http://www.hariansumutpos.com/
Si Burung Merak kini telah kembali ke hutan. Ke alam yang lebih bebas baginya untuk terbang. Tinggallah bulu-bulu indahnya, bersama kita di sini. Sesuatu yang sulit untuk dilupakan maupun dihilangkan.
Kita akan merasa memiliki setelah sesuatu telah hilang. Ungkapan ini tampaknya boleh dipinjam untuk hal ini. Ialah WS Rendra. Para sastrawan sangat kehilangan dengan meninggalnya ?Bapak Teater Modern Indonesia? tersebut. Sebagai bentuk untuk menyampaikan hasrat rindu, sastrawan Medan menziarahi karya Rendra seraya memanjatkan doa untuk mengenangnya.
Pada malam 19 Agustus lalu, para sastrawan yang bermukim dan menelurkan karyanya di gubuk Taman Budaya Sumaetra Utara (TBSU) mengadakan ?Ziarah Kita untuk Rendra?. Acara itu digelar di panggung terbuka TBSU di dalam cahaya remang diterangi beberapa teplok, obor, dan penerang ala kadarnya, tentu menjadi khidmat.
Beberapa sastrawan dipersilahkan membacakan sebuah karya milik Mas Willy ini, sapaan akrab Rendra. Tak ketinggalan sastrawan senior Medan semacam Barani Nasution dan Bersihar Lubis yang menghaturkan kata-kata pujian diselingi puisi.
Dalam kata-kata yang dilontarkan Barani, ia menceritakan sejarah hidup Rendra, cita-cita, karakter hingga pencekalan. Bahkan, Barani sangat berani mengatakan pencekalan itu merugikan.
?Bagi saya pelarangan atau pencekalan Rendra, baca puisinya atau karyanya adalah kerugian nasional,? ungkapnya.
Barani bilang, demokrasi Indonesia tidak tahan kritik. Menurutnya Rendra yang terang-terangan mengkritik pemerintah, karena dia memiliki rasa, rasa yang dirasakan masyarakat.
Irama pujian dan rasa salut juga terasa di kalam Bersihar Lubis. Sampai-sampai di dalam sambutannya ia menyebutkan pernah kehabisan kata-kata memuji panggung Rendra.
?Saya kehabisan kata-kata memuji panggung Rendra. Ia begitu prima. Terutama pada 1986, saat pentas Oedipus di Istora,? kata Besihar.
Di akhir bincangnya, Bersihar, penulis senior ini mengatakan, bahwa Rendra akan selalu dikenang lewat karyanya. ?Mas Willy, apapun itu, kami selalu mengenangmu. Temuilah Tuhanmu, dan katakan, bahwa kami masih menyimak sajak dan lakon dramamu di Medan, kota yang pernah kau singgahi beberapa kali pada waktu yang lalu,? ungkapnya menutup kata.
Tampaknya malam itu, sastrawan TBSU seperti orang yang jatuh cinta. Namun, seorang yang dicinta telah tiada, tak ayal Teja Purnama pun menggelegar saat membacakan salah satu puisi karya Rendra itu.
Hafiz Ta?adi, seorang seniman yang pernah diasuh selama setahun di Bengkel Rendra tak ketinggalan menziarahi karya Rendra yang berjudul Pamplet Cinta. Saat ditanya kenapa memilih judul ini, apakah ada kesan yang tertinggal di puisi ini, Hafiz mengatakan tak ada pertimbangan apa pun, hanya atas dasar suka, itu saja.
Hafiz yang mondok di Bengkel Rendra di sekitar 1990 ini, punya pengalaman yang berkesan. Sesuatu yang menjadi pelajaran berarti. Ia bersama tujuh orang temannya, diantaranya Porman Wilson Manalu, Cipto, Amruzal, Ris Eneste, Kalong Hsb dan seorang lagi yang telah almarhun, Saring Tengka, mengasah kemampuan di bengkel ini. Ketujuh murid itu digelari ?Seven Samurai?.
Yang menjadi kesan buat Hafiz. Ia selalu dibuat iri oleh Rendra, entah apa sebabnya. Jika keenam temannya diberi sesuatu, seringnya pakaian, Hafiz sendiri tidak. Karena merasa pandai, Hafiz pun membuat sendiri pakaian-pakaian untuk pementasan berbekal kepandaian ala kadarnya.
Namun, di suatu hari. Rendra mengajak Hafiz ke perpustakaan di bengkel itu, perpustakaan miliknya. Di tempat itu Rendra memberikannya sebuah buku yang berjudul Cara Menjahit Pakaian Pria dan Wanita.
?Dia bilang, kalau kuberi kau yang sudah jadi, kau tak tak akan bisa ciptakan ratusan pakaian,? tiru Hafiz.
Begitulah, kecerdasan berpikir seorang Rendra, hingga ia terus dikenang meski jasadnya telah dikubur di dalam tanah.
Keharuan tak bisa disembunyikan dari malam itu. Apalagi, saat sastrawan berkumpul memanjatkan doa. Terasalah, kita sudah kehilangan sosok cerdas seorang seniman yang tak hanya menyeni, seorang sastrawan yang tak hanya penulis.
Sayangnya, kembali ke ungkapan di atas: kita akan merasa memiliki setelah sesuatu telah hilang. Kenapa momen seperti ini baru diadakan setelah para sastrawan andal itu sudah tiada. Bukan berarti acara ini tidak bagus, sangat bagus malah. Namun, kenapa tak ada persembahan doa untuk Hamsad Rangkuti, sastrawan Medan yang membanggakan atau doa bagi sastrawan muda yang sedang berproses menciptakan karya. Kenapa harus menunggu mati. Bukankah doa itu akan lebih afdol dipersembahkan kepada mereka yang masih bernyawa? (*)