Adri Sandra dan Gus tf, Dua Penyair Muda dari Payakumbuh

L.K. Ara
sinarharapan.co.id

Kabupaten Limapuluh Kota dengan ibukota Payakumbuh, setidaknya telah melahirkan dua penyair yang kini sedang giat menelorkan karya berupa puisi. Mereka masing-masing adalah Adri Sandra (38) dan Gus tf (39). Melihat usia kedua penyair ini tergolong sedang mengalami masa produktif. Ini dibuktikan oleh misalnya karya-karya Gus tf berupa puisi dan cerpen bertebaran di hampir seluruh mas media Ibukota.

Adri Sandra kelahiran Padang Japang, Payakumbuh, Sumatra Barat, 10 Juni 1964 dikenal sebagai penyair. Ia menulis sejak tahun 1981. Namun selain menulis puisi ia juga menulis cerpen dan artikel. Bidang kegiatannya lebih meluas ke wilayah musik, teater bahkan melukis.

Sebagai penyair karya-karya puisinya telah dimuat di berbagai mass media yang terbit di Ibukota dan daerah. Bahkan sejumlah puisinya sudah dimuat dalam antologi puisi bersama, seperti, Rantak 8 (1991), Rumpun (1992), Antologi Penyair Sumatera Barat (1993), Berlima di Sudut Kampus (1995), Kuda-kuda Puisi (1996), Gender (antologi 10 puisi terbaik Lomba Cipta Puisi se Indonesia, Sanggar Minum Kopi, Bali, 1993), Sekayun (antologi pemenang penulis puisi se Indonesia, Yayasan Teraju, Sumatera Barat Padang, 1994).

Ketika berlangsung Mimbar Penyair Abad 21 yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta di Jakarta tahun 1996, beberapa puisi Adri Sandra dimuat di dalam antologi yang diterbitkan Balai Pustaka itu. Salah satu sajaknya di dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 berjudul Dalam Satu Perahu. Sajak ini bertema perjalanan menuju keabadian. Perahu merupakan simbol kenderaan menuju keabadian itu. Puisi itu dimulai penyair dengan baris-baris sebagai berikut,

Naiklah ke perahuku, jauh jalan di lautan
Mari berdayung sampai ke pinggir langit
Angin dan layar menyentuh bulan berbentuk sabit
Tabuhlah rebanamu dalam pengembaraan ini
Tabuhlah
Dendangkan Sahara dari Sinai di samudra bersama alun gelombang
Sebentar lagi bulan tenggelam, perahuku tak tahu di mana
Kan menepi
Marilah kita berzikir karena pantai dan waktu tertinggal
Hanya sejengkal
Menjelang sampai ke keabadian Nya
Yang direntang tanda-tanda tanya

Dalam bait tadi telah dapat kita lihat penyair menawarkan ajakan kepada pihak lain untuk ikut berlayar bersamanya. Untuk menimbulkan gelora semangat ia juga menghimbau agar menabuh rebana. Dan ketika pantai sudah mendekat ia meminta supaya berzikir. Karena keabadianNya sudah akan dijelang.
Tapi bagaimana sebenarnya perjalanan perahu yang ditumpangi itu penuh dengan halangan seperti topan, cuaca gelap, senyapnya pengembaraan dapat kita lihat dalam baris-baris berikut ini,

Di laut inilah, dalam satu perahu yang meluncur
Kita melipur musim, topan, gelap, terang dan senyap pengembaraan
Kita catat sejarah dari perjalanan yang ditinggalkan waktu
Di belakang hari yang bergelombang
Pun di depan jari-jari waktu kian menajam
Tuhan, seribu galau di laut ini tak menemukaan pantai dan tujuan
Jauh jalan di lautan, kita semakin dekat untuk kembali
Teduh mataNya dilindung kelepakan sayap burung-burung
Merpati
Menuju sorga keabadian

Penyair membayangkan satu perahu meluncur menghadapi topan, cuaca gelap, dan keadaan sepi. Ini merupakan pengembaraan yang sungguh senyap di tengah lautan yang luas. Perjalanan ini semakin terasa berat apabila mulai berhitung dengan waktu. “Waktu kian menajam” ujar penyair.

Sementara itu perahu belum menemukan pantai dan tujuan belum tercapai. Saat seperti itulah makhluk biasanya kembali ingat Tuhan. Saat itu pula terasa Tuhan sungguh meneduhkan hati yang gelisah.
Pelayaran dan pengembaraan yang panjang sangat meletihkan. Tapi apabila orang tabah biasanya ia akan memperoleh hasil. Hal ini akan terbayang pada bait-bait berikut ini. Kata penyair, dalam keletihan, adakah tersimpan seribu ketabahan?

Karena bulan berbentuk sabit akan tenggelam
Tabuhlah rebanamu di sinar kelam
Tabuhlah!
Kumandangkan zikir ke batas sampai
Agar perahuku, perahu kita yang satu berlayar
Meluncur deras ke surgaNya

Padang, 1993.

Meski cuaca tak terang, dan sinar akan kelam rasa optimisme masih ada. Karena suara rebana akan menimbulkan semangat. Sementara itu suara zikir yang dengan khusuk dikumandangkan tak henti-henti. Zikir membasahi lidahmu kata orang bijak. Dan dengan zikir itulah perahu, meluncur deras ke surgaMu.

Gus tf

Tapi inilah laut segalanya dilayarkan/Pada kesetiaan perahu pertemuan, perahu perpisahan/Mengangkat sauh demi penyaksian tarian ini, o, perjamuan! Baris-baris ini merupakan kalimat awal dari puisi Gus tf berjudul Tirai Laut.
Penyair kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat ini melanjutkan puisinya dengan baris-baris yang menceritakan ada yang bangkit dari debu. Dalam perjalanan memberi salam ke tempat yang asing. Sementara ada yang berkata ada yang lenyap di tengah-tengah alam yang luas. Ada juga orang yang mabok kemudian diserap kebesaran tetapi kemudian selalu terdampar.
Bangkit dari debuku, kudayung diri: menyalami keterasingan
Seperti katamu, kelenyapan di tengah keluasan “o, kebatinan!”
Orang-orang mabuk, diserap kebesaran namun selalu terdampar
Dalam dimensi ruang dan kesementaraan

Tapi inilah laut – segalanya dilayarkan pada kesunyian
Dalam keramaian di gemuruh ombak tiap puncak zaman o, kerinduan
Mereka labuhkan doa di sembarang dermaga, mereka nyalakan iman
Di sembarang taman seperti katamu, mereka lahir, tumbuh
Hanya untuk berguguran

Ada permintaan dan harapan yang selalu diminta orang. Yakni sesuatu yang dinamakan akal. Selamatkan akal. Karena akal diharapkan kelak dapat menyelamatkan apa yang disebut dengan peradaban.

Tutur penyair,
“pohon ruh, selamatkan akal!”
“pohon akal, selamatkan peradaban!”
peradaban yang lalu, kutabuh diri: genderang kepergian
tinggalkan rumus, teori benda-benda, “o, pengetahuan”
selamat jalan
telah kauperkenalkan, orang-orang yang membangun kehidupan
dengan menghancurkan
tapi, inilah laut segalanya dilayarkan
kematian, kelahiran, evolusi kegaiban
dan kefanaan

Payakumbuh 1991, Padang 1991
(dari Sangkar Daging, Grasindo, Jakarta 1997)

Gus tf dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965 dari ayah Bustamam dan ibu Randjuna. Selepas SMA di Payakumbuh, ia melanjutkan studinya di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang dan tamat 1994.

Tertarik dan menulis puisi ketika masih duduk dibangku SD, pada usia sekitar 12 atau 13 tahun. Sajak-sajak pertamanya banyak dimuat di majalah Hai (Jakarta) dan ruang kebudayaan surat kabar Singgalang (Padang) awal tahun 80-an. Pada usia 22 tahun ia diundang DKJ mengikuti Forum Puisi Indonesia 87, dan sejak itu mulai sering menghadiri berbagai pertemuan penyair, di antaranya “Istiqlal Internasional Poetry Reading 1995”.

Puisinya dimuat dalam antologi Ketika Kata Ketika Warna yang diterbitkan oleh Yayasan Ananda. Sejumlah puisinya pernah memenangkan sayembara, di antaranya Pemenang I sayembara penulisan puisi Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan RI 1990.

Juga pernah memperoleh penghargaan dalam bidang penulisan esai, di antaranya dari Panitia Pekan Budaya Minangkabau 1993 dan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1996.

Antologi Sangkar Daging merupakan kumpulan puisinya yang pertama. Beberapa sajak dalam antologi pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris dan Jerman.

Tentang kelahiran sajak-sajaknya, di dalam kata pengantar antologi Sangkar Daging Gus tf menyebutkan bahwa sebagian besar sajak-sajaknya lahir dalam perjalanan atau ketika sedang bepergian. Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa demikian.

Masa-masa yang subur untuk itu adalah tahun 1982 dan 1985, saat libur panjang tamat SMP dan SMA. Sebuah puisinya yang ditulis di Padang 1985 – Payakumbuh 1987 berjudul Penyair Ompong.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป