Benda-benda Urban sebagai Basis Bahasa Puitika

Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/

Puisi-puisi Afrizal Malna dari buku puisi Abad yang Berlari (1984) hingga buku puisi mutakhirnya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002) telah memberikan suatu gambaran, citraan, atau sosok yang lain dari berbagai kecenderungan yang pernah berlangsung dan menonjol dalam arus utama khazanah perpuisian Indonesia modern yang telah umum dikenal masyarakat kita selama ini. Perhatikan judul-judul puisi yang disusun dari diksi dan idiom yang tak lazim sepanjang sejarah bahasa penulisan puisi modern kita selama ini, misal ?Kota-kota dalam Tas Koper?, ?Aku Terbang Bersama Kipas Angin?, atau ?Hujan dari Sebuah Dapur?.

Jika kita selama ini hanya mengenal sosok utama puisi Indonesia modern lewat Amir Hamzah (?Padamu Jua?), Chairil Anwar (?Derai-derai Cemara?), Sutardji Calzoum Bachri (?O, Amuk, Kapak?), Goenawan Mohamad (?Interlude?), Taufik Ismail (?Trem Berkelenengan di San Fransisco?), dan Rendra (?Nyanyian Angsa?) kemungkinan besar kita akan merasakan sesuatu yang sangat berbeda jika membaca puisi Afrizal Malna ini.

Afrizal Malna merumuskan dan memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan ?masuk akal?, sehingga struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sehingga, membaca puisi Afrizal harus selalu ekstra waspada dan siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini dan terasa ?kacau?, agar bisa tetap mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan puisinya.

Contoh, Padamkan api. Aku sedang menunggumu di wartel. Kompor/ sudah disiapkan,bukan untuk memasak seekor anjing. Ah,/ negara, mungkin hanya sebuah dusta bersama. Bangsa yang/ menyimpan gergaji di lehernya. Mungkin kekasihmu telah/ pindah kerja, dan sekarang bekerja sebagai penjaga toilet di/ bandara. Mungkin dia sudah punya anak dengan orang lain./ Mungkin dia sebenarnya adalah ibumu, yang bajunya pernah/ kau pakai dalam sebuah pesta pernikahan.// (puisi ?Enam Paragraf dari Ibu?).

Bagi Afrizal Malna, puisi tak selalu harus diperlakukan dengan cara mempraktikkan keketatan disiplin berbahasa dan berpuisi yang harus koheren, sinkron, mematuhi prinsip-prinsip sintaksis maupun semantik konvensional. Sebab, menurut penyair ini, kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa pada dasarnya medan komunikasi sehingga setiap hal yang menyimpan atau menyampaikan pesan kemungkinan besar menjadi bahasa atau sudah menjadi bahasa dalam keseluruhan dirinya

Konsekuensi dari itu semua adalah puisi mestinya memiliki pendaman ?misteri?, memiliki kekuatan untuk menghubungkan berbagai ingatan pembaca ke dalam bentukan semantik tertentu. Pembaca bisa membuat permainan baru dari korespondensi antaringatan-ingatannya sendiri. Sebab puisi tak hidup dalam dirinya sendiri, puisi hidup dalam diri pembaca yang terbuka terhadap ingatannya atau berbagai pengalaman pribadi dan sosial.

Kata, bagi penyair ini, selalu memiliki ruang luar dan ruang dalam. ?Ruang luar kata? adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini. Sifatnya sangat umum dan pragmatis. Mitos dan berbagai pandangan stereotip, wacana , dan ideologi, dibawa ke ruang ini lebih sebagai pengukuhan dan stabilitas publik dalam menjalankan berbagai mekanisme hubungan yang telah dilembagakan. Kediktatoran bahasa mungkin terjadi di ruang ini yang mereduksi kualitas kehidupan publik.

Sedangkan ?ruang dalam kata? sifatnya pribadi dan subjektif. Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang yang terbatas. Karena itu pengejaran dalam pelaksanaan kebebasan tersebut cenderung bergerak ke dimensi kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Puisi menjadi menarik karena ia sesungguhnya merupakan produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar menemui publik. Kehadiran puisi di antara mitos, berbagai pandangan stereotip, wacana atau ideologi mungkin seperti orang asing yang tak mau tunduk ke dalam konvensi hubungan-hubungan publik yang berlangsung di ruang luar itu.

Puisi sesungguhnya mencoba merajut kembali hubungan antara ruang luar dan ruang dalam sebagai representasi pembagian kerja kebudayaan dan peradaban yang dilakukan manusia.

Citraan benda-benda dan kosmos urban (kota) juga menjadi salah satu karakter yang menonjol dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Selain sebagai instalasi kata-kata, puisi Afrizal Malna juga menggambarkan suatu instalasi benda-benda urban. Contoh, Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung/ seperti kaos kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas/ itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dari dan/ mengurus makanan anjing./ (puisi ?Persahabatan dengan Seekor Anjing?), atau, Ia baru saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur/ dadar. Pagi ini, ia sangat sibuk membuat tokoh-tokoh baru/ di atas tempat tidur, terdiri dari perempuan dan lelaki./ (puisi ?Aku Lahir dalam Kardus?).

Benda-benda urban itu menjadi sosok atau subjek yang ?hidup?, memiliki ?biografi? tersendiri sebagaimana makhluk hidup pada umumnya dan membangun personifikasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Benda-benda telah menjadi lingkungan semiotik yang sangat sensitif, membangun bahasa imajinasi tersendiri yang khas, menyusun rangkaian-rangkaian pengucapan yang membawa asosiasi pembaca ke sebuah wilayah yang bernama urban.

Afrizal Malna tentu kurang fasih bicara lewat bahasa dari lingkungan khazanah alam-agraris, misal kabut, batu, langit, daun, angin, atau bulan, yang biasa dipakai penyair kita kebanyakan selama ini. Ia menulis puisi lewat lingkungan bahasanya dan kosmosnya sendiri, yang dia kenali dan akrabi secara alami, yaitu lingkungan urban. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *