Berharap kepada Perempuan Penulis

Imam Cahyono
sinarharapan.co.id

Fenomena mutakhir pergumulan sastra kita yang diwarnai dengan tema seks, tak habis-habisnya menjadi pergunjingan. Berbagai media massa, ramai membincangnya, berusaha membedah fenomena itu. Hal yang sama juga terjadi di berbagai forum diskusi dan kajian, seperti Diskusi Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Seks dalam Sastra Kita Kini, di Taman Ismail Marzuki (TIM), 21 Oktober 2003 lalu, yang diramaikan oleh tiga pembicara, Sirikit Syah dari Surabaya, Apsanti Djokosujatno dari Jakarta dan Faruk dari Yogyakarta.

Gairah perempuan penulis sastra adalah fakta yang tak bisa ditolak. Di satu sisi, hal ini dapat dimaknai sebagai upaya perjuangan sastra perempuan yang selama ini terpinggirkan. Sebagai sastra pemberontakan, perempuan ingin unjuk gigi bahwa mereka juga merupakan bagian sah, yang tak bisa diremehkan dalam khazanah sastra dan kebudayaan. Masyarakat (baca: pasar) pun ternyata sangat antusias dan responsif terhadap fenomena ini, terlebih ketika tema seksualitas mendominasi.

Yang pasti, fenomena ini telah menjadi tren sejak diprakarsai oleh Ayu Utami dengan Saman. Ayu Utamilah the creative minority -meminjam istilah Arnold Toynbee- yang kemudian diikuti oleh sederet perempuan penulis lainnya yang juga mengeksplorasi tema senada seperti Djenar Maesa Ayu, Dewi Dee Lestari, Herlinatiens dan masih banyak lagi. Seks yang selama ini dianggap tabu untuk diperbincangkan didekonstruksi, dibongkar. Spirit perlawanan untuk menggugat mainstream kemapanan tampaknya terus membara dan berkobar.

Pada sisi lain, gairah perempuan penulis juga tak lepas dari permasalahan. Apa yang disampaikan oleh sebagian besar perempuan penulis hanya berkutat pada masalah itu-itu saja, terutama pada seputar wilayah seksualitas keperempuanan. Persoalan seks, kelamin, gay menjadi fokus perhatian utama. Hasilnya, alih-alih ingin menjadikan sastra sebagai wahana pembebasan tapi yang terjadi malah sebaliknya, menjadikan sastra perempuan sangatlah monoton, jumud, elitis dan eksklusif. Alih-alih upaya pembebasan yang diharapkan, tapi malah membenamkan mereka dalam kubangan wilayahnya sendiri yang itu-itu saja, seputar wilayah keperempuanan. Seolah-olah, tak ada tema lain yang layak dan lebih berharga untuk terus digali dan dikembangkan.

Setelah Saman, karya-karya lain yang bermunculan bak cendawan di musim hujan tak lebih dari epigon -meminjam istilah Helvy Tiana Rosa- yang tak jelas arah dan mutunya. Selain itu, muncul pula semacam kekhawatiran akan upaya perjuangan dan pembebasan yang dilakukan oleh perempuan penulis melalui tema seks ini. Dengan tema seputar seksualitas, akankah upaya pembebasan itu akan tercapai? Ataukah pembebasan ini akan kembali terjerumus dan terpuruk dalam penjara lagi, seperti Escape from Freedom-nya Erich Fromm?

Tak bisa dibantah, awalnya Saman memang luar biasa, mendobrak khazanah sastra kita. Tapi lama-kelamaan dengan menjamurnya tema yang senada ternyata pembaca pun mengalami kebosanan, bahkan telah menimbulkan kejenuhan. Barangkali hukum Gossen berlaku di sini, setiap kali mencapai tingkat kepuasan yang tinggi, dengan mengkonsumsi barang yang sama terus-menerus maka tingkat kepuasan itu akan berkurang. Ada titik jenuh.

Seksualitas fiksi perempuan jelas tidak memiliki peluang untuk hadir sebagai karya sastra besar (magnum opus) yang tak lekang dimakan zaman. Tren ini hanyalah sastra populer yang menggebrak jagat sastra kita, meski tak lama, alias hanya sesaat.

Lebih rinci, gejolak sastra perempuan ini dapat disimak pada Jurnal Perempuan yang diterbitkan Yayasan Jurnal Perempuan, Edisi Perempuan dan Seni Sastra edisi 30, 2003. Sederet penulis dan pengamat perempuan yang kondang menulis di jurnal itu seperti Cok Sawitri, Gadis Arivia, Kris Budiman, Melani Budianta, Medy Loekito, Endriani DS dan lainnya. Namun isinya kurang lebih sama, mengupas seks dalam upaya pembebasan perempuan dari belenggu sistem patriarkal dan kemapanan. Ada kejenuhan yang melanda setelah membaca jurnal itu, lantaran apa yang dikupas oleh para penulis kurang lebih sama, masalah seks dan keperempuanan (baca: kelamin).

Tulisan Medy Loekito (Seksualitas Fiksi Perempuan, Republika, 14/9/2003) dan Endriani DS (Sastra, Seks dan Jebakan Kapitalisme, Republika, 12/10/ 2003) setidaknya memberikan sinyal dan warning yang mempertanyakan arah dan masa depan seksualitas fiksi perempuan.

Membludaknya karya-karya yang berkisar di wilayah pusaran seks tak lepas dari mekanisme dan antusias pasar. Maraknya seksualitas fiksi perempuan yang mendominasi pasar memang cukup merisaukan seolah-olah karya sastra para perempuan penulis hanya mahir di wilayah seks saja. Namun tidak berarti kita harus pesimis dengan kiprah para perempuan penulis, karena tidak semua perempuan penulis menekuni jagat seks. Sebutlah Helvy Tiana Rosa dan Nukila Amal.

Masa Depan Perempuan Penulis

Tidak semua perempuan penulis membincangkan masalah seksualitas dalam karyanya. Helvy Tiana Rosa adalah sosok yang perlu dikecualikan dalam hal pilihan tema. Ia lebih dekat dengan tema pergulatan keberagamaan anak-anak kampus dan remaja. Sisi perjuangan yang diusung Helvy lebih akrab disebut syi?ar Islami, karya sastra sufistik dengan religiositas Islami.

Warna yang disajikan Helvy memang menampilkan nuansa yang agak berbeda. Tapi, semangat kesetaraan gender tetap mewarnai karyanya. Pendiri Forum Lingkar Pena ini tak menabukan perempuan berlaga di medan perang, seperti lewat karyanya Aisyah Sharakisya. Karya Helvy yang dikemas dalam nuansa Islam tak meletakkan perempuan dalam posisi subordinat lelaki.

Helvy, adalah “kanon” tersendiri dalam jajaran penulis generasinya. Ia tidak saja eksis dengan pilihan tema yang berbeda, tetapi spirit perjuangannya di dunia sastra tak berhenti di balik meja tulis dan layar komputer. Helvy bersama rekan-rekannya terjun dalam sebuah gerakan yang mendorong semangat menulis bagi ribuan remaja.

Forum Lingkar Pena, wadah yang digunakan untuk menyalurkan semangatnya itu, saat ini bertebaran di berbagai provinsi dengan 3.000 anggota. Helvy dengan genre sastra Islami memiliki peluang menjadi genre sastra yang besar. Forum lingkar pena yang didukung dengan penerbitan dan sejumlah penulis muda yang terus membanjir, mengalir bagai air bah, seperti banjir yang setiap tahunnya secara rutin menghajar ibu kota, Jakarta.

Dengan basis yang cukup kuat, segmen yang jelas, eksistensi genre sastra Islami memiliki peluang untuk terus berkembang dan mesti dipertimbangkan dalam jagad kesusastraan kita.

Jika seksualitas fiksi perempuan tampaknya akan menghadapi kegagapan di tengah perkembangan zaman, maka genre fiksi Islami dan genre mistisme linguistik -meminjam istilah Bambang Sugiharto- Nukila Amal yang akan meneruskan derap langkah perempuan penulis. Jadi, masih ada secercah harapan dari para perempuan penulis untuk tetap eksis dan terus berkiprah demi melahirkan karya sastra besar yang tak akan lapuk ditelan zaman.
***

*) Penulis adalah peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Leave a Reply

Bahasa ยป