Berita Puisi tentang Manusia

Ribut Wijoto
sinarharapan.co.id

Apa yang terjadi dengan manusia? Bagaimanakah manusia memahami dan menghayati lingkungannya, juga dirinya? Kiranya, ini sebuah persoalan pelik. Jawaban pasti mesti ditunda. Ada kesejarahan panjang dalam pribadi kemanusiaan.

Dulu kala, di Abad Pertengahan, Galileo Galilei menyatakan, “barang siapa hendak membaca buku; aksara-aksaranya ialah bentuk-bentuk segitiga, lingkaran, dan empat per segi”. Galilei, filsuf yang hidupnya diakhiri di tiang gantungan ini, mengingatkan bahwa dunia akan lebih bisa dipahami melalui gejala-gejala primernya. Berat, warna, volume, suhu, panjang, atau hal-hal yang berkaitan dengan pancaindera. Lebih khusus lagi, matematika. Saat itu, Galilei sedang memberi dasar bagi suatu peradapan yang dikemudian periode amat menguasai masyarakat: ilmu pengetahuan. Sebuah dasar yang lantas disempurnakan oleh Isaac Newton. Kepastian akan adanya hukum-hukum: manusia dan lingkungannya digerakkan oleh suatu logika kepastian, ialah hukum alam.

Lantas, bagaimanakah pengaruh penerapan hukum alam bagi kemanusiaan? Ada baiknya, di sini, patut diperhatikan pengakuan Heri Latief melalui puisi “Mama” (antologi Ilusiminimalis, 2003): Umur yang kita rancang ternyata bukan punya kita, milik kita hanyalah ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi, di sini kita memandang langit sehabis hujan, berwarna kelabu, tempat berkumpulnya titik-titik embun. Ada banyak hal yang bisa cermati dari larik-larik puisi Latief. Penyair yang juga salah satu pendiri situs Cybersastra ini seperti memasang semacam lonceng; berdentang mewartakan soal genting. Degradasi kemanusiaan. Ialah ketika manusia hanya mampu memiliki sedikit bagian dari dirinya sendiri. Mengapa? Kiranya, ia berkaitan dengan dasar-dasar pembangunan Galilei, hukum pancaindera.

Pada kesehariannya, manusia dipahami sebagai struktur-struktur sosial dan materi, yaitu peranan manusia di dalam masyarakat: apa yang seseorang kerjakan, bagaimana prestasi kerjanya, kedudukannya, hobi, pendidikan. Selebihnya, manusia dipahami sebagai tumpukan materi. Corak rambut, cara berpakaian, jenis kelamin, tinggi badan, warna kulit, atau hal-hal yang berkaitan dengan “kartu tanda penduduk”. Organisasional dan material.

Manusia diatur dalam peran-peran sosial. Sebagai suatu aset yang mesti bermanfaat. Menghasilkan barang-barang atau jasa. Tanpa itu, manusia belum bisa dianggap manusia. Perihal perilaku, manusia dihadapkan pada berbagai petunjuk bertele-tele mengenai kesantunan dan kesusilaan. Macam-macam perilaku dibungkam. Pamali. Semisal tentang seksualitas.

Wilayah seksualitas hanya boleh diperkatakan di ruang-ruang tersembunyi. Ia hanya boleh dibicarakan akrab oleh pasangan suami-istri. Atau, sengaja diciptakan ruang khusus yang di sana orang bebas membicarakan seks. Pelacuran. Hanya saja, ruang tersebut secara norma sosial telah dinilai bejat. Dan, kalau diperkatakan saja sudah mesti berhadapan dengan banyak aturan, maka dalam tingkat tindakan, berlaku aturan-aturan yang lebih kaku lagi. Segalanya mesti terkontrol. Terkondisikan agar lebih bisa dinilai sebagai manusia normal.

Dan begitulah, puisi Latief mempersoalkan inti dari kemanusiaan. Sublimitas. Sejauh mana seseorang punya makna dalam kehidupan. Dengan rada sinis, Latief memberi catatan: Bukankah mereka juga mengerti, tiap manusia yang rada waras, pasti suka bicara memakai logika-cinta, karena moral ternyata susah diukur (puisi “Nyamuk”).

Heri Latief, penyair yang pernah tinggal di negeri Belanda ini, menggiring persoalan pemahaman diri (manusia) melalui hal yang lebih mendalam. Moralitas. Logika cinta. Keduanya berlawanan dengan pemikiran Galilei berkenaan “pemahaman atas manusia”. Pemikiran Galilei meyakini bahwa identitas manusia diperoleh dari situasi sosial. Berada di luar manusia. Sedangkan yang diyakini Latief, identitas bersifat personal. Berkaitan dengan kenangan, moralitas, cinta. Berada dalam diri manusia. Sifatnya metafisik. Apa yang tampak belum tentu merepresentasikan kenyataan diri. Dengan begitu identitas sosial, yaitu identitas yang biasa dilekatkan masyarakat kepada seseorang, itu hanya kulit luarnya saja. Sebab identitas sosial berasal dari apa-apa yang tampak. Sebuah identitas empiris. Satu misal paling gampang adalah pemakaian aksesoris. Suatu kali, seseorang memakai kalung yang berbandul logam berbentuk silang. Maka, orang-orang akan dengan mudah menjatuhkan klaim, dia seorang nasrani. Atau seseorang memakai tato bergambar pedang di lengan, maka orang-orang akan berusaha menjaga jarak dengan dirinya. Tato menciptakan identitas bernuansa buruk bagi seseorang. Lantas, apakah itu merupakan kebenaran identitas manusia.

Bersandar pada puisi Latief, kiranya terlalu mudah untuk cepat-cepat menjatuhkan putusan. Masalah identitas diri adalah masalah dunia dalam, metafisika. Berakar pada hakikat kemanusiaan. Di mana manusia bisa dengan secara tegas terbedakan dengan benda-benda atau dengan para hewan.

Pada manusia ada terletak pikiran, perasaan, imajinasi, cinta, dan obsesi terhadap fantasi. Di situ, manusia mempertaruhkan kesadaran, kebebasan, pilihan hidup, tanggung jawab. Titik tolaknya pada kesadaran diri. Sehngga persoalannya bukan pada penolakan partisipasi peran sosial, tetapi pada terciptanya relasi etis antara peran sosial dengan hakikat kemanusiaan. Dituliskannya oleh Latief dalam puisi “Egoisme”: Itulah harapan kita, tanpa topeng ada wajah yang asli, lihatlah kejujuran memang membosankan.

Identitas asli seperti bayang-bayang dapat dilihat tapi sulit dipastikan, apalagi keasliannya. Ilmu alam sebagaimana disorongkan Galilea hanya mampu menyoroti bentuk luar dari bayang-bayang. Sedangkan hal-hal yang membentuk bayang-bayang, yaitu manusia itu sendiri, berdiri jauh di balik pancaindera. Pengenalan hanya bisa dilakukan melalui penghayatan yang intens. Melelahkan, menjemukan, dan bagi ilmu alam yang mengagungkan efisiensi, bisa jadi ia mendekati sia-sia. Juga bagi orang-orang lain, masyarakat, publik. Identitas manusia lebih mudah diberikan dari luar daripada digali dari dalam. Seseorang adalah ilmuwan berprestasi, seseorang adalah pemain sepak bola nasional, pedagang buah, petani miskin, pejabat berpakaian rapi.

Klaim-klaim tentang identitas manusia berseliweran dari berbagai arah. Saling merangsek untuk dipasrahi. Karena, masyarakat punya kekuatan untuk membentuk sanksi. Seorang pegawai perusahaan akan ditertawakan atau malah di-phk bila berani memakai baju senam saat tugas kantor. Mengenaskan, seseorang dicela atau dihormati karena sesuatu di luar dirinya. Kemanusiaan terpasung di situ. Kebebasan dalam mengekspresikan diri terpagari oleh aturan-aturan penuh sanksi.

Begitulah, sebagian besar umur manusia bukanlah milik dirinya. Umur atau waktu, menjadi milik peran-peran yang mesti disandang manusia. Tinggal dijalani, dan tak mudah diberontaki. Yang tersisa bagi manusia hanya ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi. Di situ, manusia jadi terasingkan dari dirinya sendiri. Merasa diri kurang punya makna.

Kehadiran diri hanya bisa dipenuhi oleh peranan-peranan dari luar. Ia sebagai bagian dari sesuatu yang lebih luas. Diposisikan, ditugasi, dinilaikan, dan dikekang. Sebab, ia bukan milik dirinya. Ia milik aturan-aturan. Kurang lebih sama dengan benda-benda. Di tingkat ini, ketika kesadaran diri telah bangkit, dua pilihan buruk bisa terwujud. Pilihan pertama, tindakan agresif brutal. Bersifat menyerang, merusak, dan dorongan untuk menguasai orang-orang lain. Suatu keinginan untuk balas dendam atau keinginan untuk membalik keadaan. Pilihan kedua, tindakan apatis. Kepercayaan terhadap orang lain, bahkan kepercayaan kepada diri sendiri, telah sirna. Ia merasa tidak lagi punya makna. Juga dunia tidak punya makna. Tiada perlu lagi beraktivitas. Atau bisa jadi, menganggap tiada perlu lagi melanjut hidup. Bunuh diri sosial, ataupun bunuh diri nyata. Lenyap. Mati, sendiri, dan tak terpahami.

Hukum alam, ah logika ini memang penting bagi peradapan. Tentang kemutlakannya, beberapa ihwal masih perlu dipertimbangkan. Berita-berita dari puisi, semacam berita puisi Heri Latief sungguh patut untuk diberi perhatian, diberi tempat berbiak. Dengan harapan sederhana: agar kelak, anak-anak kita masih bisa membaca hakikat cinta, dan manusia masih ada.
***

Studio Gapus, Surabaya.

Leave a Reply

Bahasa ยป