Bertukar Pikiran tentang Cinta

Judul: Di Kereta, Kita Selingkuh
Penulis: Budi Maryono
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Tebal: 175 halaman
Cetakan: II, Juni 2009
Peresensi: Andina Dwifatma
http://suaramerdeka.com/

BAGAIMANAKAH kiranya sebuah kisah cinta mesti terjalin? Apakah berawal dari pertemuan, sedikit rayuan, membina hubungan, lantas berakhir dengan pernikahan? Bagi Budi Maryono, persoalan tidaklah sesederhana itu. Di tangannya, kisah cinta bukanlah dongeng yang selalu berakhir bahagia. Bahkan bisa saja tidak usah dan tidak perlu berakhir.

Itu dia tunjukkan dengan jelas lewat Di Kereta, Kita Selingkuh. Ini kumpulan cerpen ketiga Budi setelah Siluet Bulan Luka dan Tamu-tamu Allah.

Dalam buku ini, Budi memotret kisah-kisah cinta yang bisa kita pisahkan menjadi dua bagian. Pertama, kisah cinta orang-orang yang (seolah-olah) tidak berhak untuk jatuh cinta. Kedua, kisah cinta orang-orang yang tidak mengerti bentuk cinta seperti apa yang sebenarnya mereka cari.

Siapakah orang-orang yang (seolah-olah) tidak berhak untuk jatuh cinta? Dalam cakrawala imajinasi Budi Maryono, banyak macamnya: mereka yang sudah berkeluarga (?Bulan Ratih?, ?Binar Mata Dinar?, ?Di Kereta, Kita Selingkuh?, ?Sepasang Cappuccino?), kaum homoseksual (?Kau Tikam Aku Persis di Jantung?), juga waria (?Sekuntum Mawar?).

Ketidakbolehan untuk jatuh cinta itu, kita mafhum, datang dari norma. Seseorang yang sudah menikah tidak layak jatuh cinta lagi, sama dengan laki-laki yang seharusnya mencintai perempuan, bukan sesama jenisnya sendiri. Sementara sosok waria, tanpa perlu jatuh cinta pun, sudah selalu dipinggirkan.

Budi Maryono mempertanyakan kehadiran norma-norma tersebut. Apakah kecenderungan norma untuk membelenggu perasaan manusia dapat dikatakan adil? Efektifkah kerja norma? Bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan norma yang melingkupinya?

Kontemplasi Budi mengenai hal itu banyak diwujudkan dalam dialog. Menariknya, dialog itu tidak harus manusia dengan manusia. Ada kalanya tokoh manusia berdialog dengan Daun (dengan ?D? besar dalam ?Matahari Indri?) atau dengan Sekuntum Mawar (juga dengan ?S? dan ?M? besar dalam cerpen ?Sekuntum Mawar?).

Di sinilah letak elaborasi diskursus cinta yang ditawarkan Budi: bahwa ia tidak hanya bisa didiskusikan antarmanusia. Huruf-huruf besar yang diletakkannya di awal nama daun dan mawar adalah bentuk personifikasi. Jika cinta dirasakan oleh setiap makhluk hidup, maka tumbuh-tumbuhan bisa saja jadi partner manusia untuk bertukar pikiran tentang cinta.

Yang menarik untuk diamati adalah bahwa melalui cerpen-cerpennya yang selalu dialogis itu, Budi tidak sedang berusaha mencari kesimpulan tertentu tentang cinta. Dia tidak mengambil sikap bahwa cinta seharusnya begini atau begitu. Itu dapat kita baca pada ?Bulan Ratih? dan ?Sepasang Cappuccino?.

Dua cerpen tersebut sama-sama berkisah tentang orang yang sudah berkeluarga, tapi ketiban cinta lagi. Tokoh pria (yang kebetulan penyair) dalam cerita pertama memutuskan untuk kabur di detik terakhir karena ingat anak dan istri, sedangkan karakter suami pada cerita kedua menyerah pasrah begitu saja dalam pelukan pacar lama yang ternyata masih enak juga. Dua akhir cerita yang berbeda, menggambarkan dua pandangan moral yang berbeda, dan barangkali saja merefleksikan keabu-abuan penulisnya dalam memandang pertanyaan mahaklasik: apakah cinta monogamis itu mungkin?

Sayangnya, kecenderungan Budi untuk menempatkan sudut pandangnya dalam area abu-abu dan karenanya membuat diskursus cinta jadi tidak membosankan, sedikit goyah ketika bicara cinta kaum homoseksual dan waria. ?Kau Tikam Aku Persis di Jantung?, meskipun judulnya berhasil memukau saya karena luar biasa licin, tetap mengandung ?stereotipe? bahwa jalinan cinta antarsesama jenis selalu melibatkan kekerasan fisik yang tak tanggung-tanggung. Sementara kisah cinta waria dengan seorang pria tampan yang ternyata hanya main-main dalam ?Sekuntum Mawar?, bukankah sudah sering kita dengar?

Golongan kedua, orang-orang yang tidak mengerti bentuk cinta seperti apa yang sebenarnya mereka cari, mendapat porsi cukup besar dalam buku ini. Menjadi menarik karena Budi menyuguhkan kebingungan dan kebimbangan tokoh-tokohnya dalam balutan pertanyaan paling hakiki dalam sejarah eksistensi manusia: siapa saya?

Salah satu cerita yang memukau adalah ?Ros Tak Pulang Lagi?. Ini cerita tentang seseorang yang ragu akan orientasi seksualnya. Dia rindu Tuhan, tapi ragu apakah dirinya pantas menginjakkan kaki di rumah ibadah. Dia kemudian memproyeksikan rasa rindu dan bimbangnya itu lewat dialog dengan dirinya sendiri semasa kecil: ?Aku tak mau teman-teman berteriak, ?Banci ngaji, banci ngaji!? sambil memeletkan lidah…? (halaman 125).

Sangat terasa keberhasilan Budi dalam meramu cinta, rindu, dan kebingungan yang menimpa karakter rekaannya. Bayangan masa lalu memanggil-manggil tokoh Ros untuk beribadah, memompa adrenalinnya sehingga dia cukup berani untuk melangkahkan kaki ke langgar (meski bingung mau pakai sarung atau mukena), tapi pertanyaan tentang identitas diri lantas merubuhkan semua kepercayaan dirinya. Di luar akhir cerita Ros bunuh diri, cerpen itu adalah salah satu cerita terbaik dalam buku ini.

Benang merah keseluruhan cerpen ada pada pertanyaan tentang komitmen. Ketika seorang suami jatuh cinta pada istri orang, apakah ia sedang mengkhianati komitmen pernikahan? Ketika seorang lelaki ingin menjadi perempuan, apakah ia sedang mengkhianati komitmen penciptaannya dengan Tuhan? Pada titik inilah kata ?selingkuh?, satu-satunya kata yang tercetak kapital pada sampul buku, memperoleh relevansi paling dalam.

Leave a Reply

Bahasa ยป