Sunlie Thomas Alexander
http://www.lampungpost.com/
KKRRREEEEEOOOOOTTTTT!!
Selalu saja bunyi derit pintu kamarnya terdengar begitu panjang. Awalnya cukup menyakitkan telinga dan kadangkala membuat bulu kuduknya berdiri. Apalagi di tengah malam yang sunyi ketika sebagian penghuni rumah indekos itu mungkin sudah terlelap atau kembara ke alam mimpi. Sehingga tak urung suasana yang agak mencekam pun terbangun dari perasaannya. Tercipta begitu saja serupa imajinasi liar akan kehadiran Tuhan dalam doa.
Demikianlah. Suara derit yang mulanya menjengkelkan itu tiba-tiba saja telah menjadi bagian dari hari-harinya. Tentu, kecuali di saat-saat ia tak sempat pulang karena harus menyelesaikan pekerjaan di kantor, atau terkadang diajak menginap di tempat seorang teman.
Semenjak ia berpindah ke rumah indekos-nya yang baru ini, ia memang mulai merasa lebih tenang. Paling tidak, ia merasa privacy-nya lebih terjaga, tak harus bertenggang rasa dengan penghuni indekos lain yang suka reseh atau warga-warga kampung yang sok moralis sebagaimana di tempat indekos lamanya. Ia bisa membawa perempuan kapan saja, bisa pulang kapan pun ia mau, atau menyeter musik kencang-kencang. Tanpa takut menganggu penghuni lain atau ada yang akan merasa terganggu. Di samping letak kamar-kamar yang agak berjauhan, rata-rata penghuni rumah indekos itu memang para pemuja kebebasan. Dan ia percaya, mereka yang mencintai kebebasan, selalu lebih menghargai orang lain.
Kebanyakan rumah indekos di daerah ini memang merupakan tempat indekos campur, dalam artian lelaki dan perempuan bisa menempati satu indekos yang sama. Sehingga, tidaklah heran mereka yang ingin hidup lebih nyaman dan luwes bakal memilih indekos di sini. Tak ada peraturan ini-itu, tak ada jam malam, tak ada induk semang yang akan mengawasi bak intel atau penduduk kampung yang berani menggerebek pasangan yang lagi berduaan dalam kamar tertutup. Ah, asu tenan mereka! Meskipun, ya tentu saja, uang sewanya per bulan cukup tinggi di atas rata-rata tempat indekos di daerah lain. Wajar saja, karena rumah indekos-nya itu dan sejumlah rumah indekos yang lain memang berada dalam kompleks perumahan kelas menengah, sedikit terpisah dengan kampung penduduk.
Ai, tak apalah ia harus mengorbankan setengah dari uang gajinya setiap bulan di kantor demi sebuah kebebasan dan kenyamanan! Pikirnya. Bukankah akhir-akhir ini ia sering memperoleh rezeki tambahan dari job-job dadakan?
Jadi, hanya tinggal satu masalah saja. Ya, bunyi derit pintu-pintu kamar itu! Baik derit pintu kamarnya sendiri maupun derit pintu kamar-kamar lain, baik yang di lantai II itu atau yang berada di lantai bawah. Maklum rumah indekos itu sebetulnya rumah tua, walau cukup terawat dan baru beberapa tahun belakangan ini disewakan setelah pemiliknya membeli rumah baru. Namun, itu hanyalah pada masa-masa awal ia berdiam di sana saja. Lama-kelamaan suara derit yang tak menyenangkan tersebut, toh akhirnya perlahan menjadi akrab juga, tak terlampau menganggu lagi di telinganya. Bukankah ia juga tak punya alternatif untuk pindah ke lain tempat?
Ah, kini setelah sekian lama… Siapa menduga, tanpa ia sadari tiba-tiba suara-suara derit itu telah menjadi semacam teman buat dirinya. Ya, bunyi panjang yang keluar setiap kali pintu kamarnya terbuka dan menutup itu tak lagi terdengar mencekam tapi justru terdengar begitu merdu, seakan menjadi hiburan tersendiri saat ia pulang malam-malam dan mendapati suasana begitu senyap. Seolah-olah pula hendak menyatakan padanya kalau ia tidaklah sendiri dalam kesunyian. Hm, derit pintu itu seperti menandai kehadiran yang lain, yang tak kasat mata tapi serasa ada! Entahlah, tapi perasaan ganjil tersebut tak pula membuatnya takut.
Bahkan kemudian, derit pintu-pintu kamar itu menjelma jadi suatu tanda baginya. Dengan suara derit itu, ia bisa menandai waktu. Bunyi-bunyi tersebut selalu mengabarkan padanya penghuni mana yang pulang dan pergi. Hingga sekian lama, ia pun jadi hafal kapan pemilik kamar ini datang dan kapan pula empunya kamar yang lain berangkat. Terkadang, memang begitu teratur. Seperti jam beker milik teman indekos lamanya yang bising dan patut dihancurkan itu. Ah, hidup memang aneh, pikirnya gamang.
Krrreeeeoooottttt… Kkrreeooottt…! Ia membuka pintu kamarnya dan mengintip keluar. Lantai dua itu begitu lengang, tak ada sesiapa. Suara cecak pun luput dari pendengarannya. Tanpa melihat jam, ia sudah tahu kalau waktu belumlah menunjukkan pukul 03.00. Sebab perempuan muda yang menghuni kamar belakang belum pulang. Perlahan ia kembali menutup pintu. Hm, bukan lantaran dua gelas kopi yang telah ia tandaskan, matanya tak kunjung disergap rasa kantuk. Ia yakin betul, ia telah mengidap insomnia sejak beberapa waktu silam.
***
INSOMNIA! Ia mengempaskan diri tanpa keinginan apa pun. Kedua matanya beredar memperhatikan seisi kamarnya. Poster-poster hasil karyanya semasa kuliah terpigura rapi, tapi tergantung acak-acakan di tembok bercat biru muda, beberapa ditempel sekenanya dengan lem Aibon. Sebagian poster itu pernah ia ikutkan dalam pameran, beberapa yang lain sekadar dibuat untuk memenuhi tugas kuliah. Lalu ada fotonya bersama kawan-kawannya sewaktu mendaki gunung, tergantung miring di atas almari pakaian yang telah copot sebelah engsel pintunya. Foto saat wisuda, foto pameran pertamanya di galeri kampus, foto pacarnya yang tersipu di atas monitor komputer.
Tentu saja, sekarang ia bisa membawa pacarnya kemari tanpa siapa pun yang keberatan. Mereka bisa bermalas-malasan sepanjang hari Minggu, bisa bercinta dengan suara segaduh apa pun. Ia ingat, terakhir kali saat pacarnya datang mengunjunginya dari kota seberang. Itu sudah delapan bulan yang lalu, tiga bulan sebelum ia menempati rumah indekosnya ini.
Waktu itu, ia terpaksa membawa Lila ke rumah kontrakan temannya, karena tempat indekosnya sendiri tak mengizinkan seorang tamu perempuan menginap. Setyo tak keberatan meminjamkan kamar pada mereka berdua karena ia banyak membantu teman kuliah seangkatannya itu saat mengerjakan tugas akhir. Tapi mereka tak bisa bercumbu dengan bebas. Lila seringkali tak bisa menahan diri untuk tidak mendesah keras-keras. Tiga minggu sang pacar bersamanya, dan sesekali ia mengajak perempuan itu menginap di hotel.
Ia benci dengan hubungan cinta jarak jauh. Bukan kesetiaan yang jadi pertaruhan, namun kerinduan memang kerap tak tertahankan. Seharusnya mereka bisa bersama, apalagi menjelang hari pernikahan yang kian dekat seperti sekarang. Tapi Lila tak bisa meninggalkan pekerjaan mengajar privat Bahasa Inggrisnya.
“Muridku sekarang lima belas orang dengan dua kali pertemuan seminggu,” kata pacarnya dua minggu lalu di telepon. Itu berarti Lila memang tak bisa mengunjunginya. Ia bisa mengerti, mungkin lebih tepat mencoba memahami. Lagipula dengan alasan mengumpulkan uang untuk pernikahan mereka. Ah, seharusnya ialah yang harus sering mengunjungi sang pacar, kalau saja ia tak terikat pada kontrak kerjanya yang brengsek! Untunglah tak lama lagi kontrak ini bakal habis.
Televisinya dibiarkan menyala tanpa suara. Sebuah film lama Stallone sedang ditayangkan, ia memalingkan muka dengan bosan. Takkan mengobati kesepiannya. Diliriknya rak bukunya yang tak lagi tertata rapi. Buku-buku tampak berdebu dan diselipkan sekenanya. Bahkan sebagian diletakkan sembarangan, belum sempat ia susun ke rak cokelat tua yang memilukan itu. Ia kini bukan saja nyaris tak lagi punya waktu luang buat membaca, tapi juga malas.
Padahal pada malam-malam tak bisa memicingkan mata seperti sekarang, seharusnya ia bisa melanjutkan sejumlah bacaannya yang belum tuntas. Tapi keinginannya selalu saja menguap entah ke mana. Dengan sedih, ia hanya bisa menatap buku The Road To Mecca yang tergeletak di atas meja tulisnya. Fotokopian dari seorang teman, setahunya dulu terjemahan buku itu pernah diterbitkan oleh sebuah penerbit di Bandung. Apakah sekarang masih tersisa di rak-rak toko buku? Atau barangkali sudah dicetak ulang lagi? Ia tak tahu. Sudah lama sekali ia tidak ke toko buku.
Ia mencoba menikmati malam, menikmati insomnianya, kesendiriannya. Dan kesendirian ini kadang-kadang membuatnya merasa nyaman, entahlah. Padahal dulu ia tak pernah betah sendiri, selalu saja mencari keramaian. Menghabiskan malam dengan kawan-kawannya, sekadar berkumpul di warung bubur kacang ijo atau di tempat ngopi, nonton teater, atau ngobrol tanpa juntrungan di kos seorang kawan.
Dilihatnya gitar peninggalan Antoni tersandar di sudut kamar, tepat di belakang pintu. Sesaat jari-jarinya tergoda untuk memetik senar-senarnya, tapi lagi-lagi minatnya menguap begitu saja.
“Ini aku wariskan buatmu, Bung! Untuk menemanimu kalau kau lagi kangen! Biar kau bisa nyanyi dangdut menghibur hatimu yang lara! Hahaha,” Antoni tergelak-gelak. Kurang ajar memang. Seminggu kemudian kawannya yang paling konyol itu minggat pulang kampung. Menikah, tanpa menyelesaikan kuliah.
Lama ia masih duduk termangu di atas kasurnya yang terhampar di lantai dengan punggung bersandar ke tembok. Lalu lamat-lamat telinganya yang selalu terjaga mulai menangkap suara langkah menaiki anak tangga. Bunyi ketukan sandal hak tinggi yang tak asing lagi baginya itu semakin keras, kemudian bergema di sepanjang lantai. Tuk, tuk, tuk Berirama dan merdu ketika melewati kamarnya. Seperti menyusuri jantungnya. Kemudian berhenti, didengarnya suara anak kunci diputar. Sampai akhirnya, memanjanglah suara derit itu. Ya, derit dari pintu kamar belakang. Terdengar tajam dalam kesenyapan.
Ah! Buru-buru ia melirik jam bekernya di sisi kasur. Ia memang tak pernah keliru. Pukul 03.00 hanya lewat tujuh menit. Tiba-tiba perasaannya kembali gelisah.
***
TENTU, televisinya masih menyala tanpa suara. Kecemasan yang serta-merta menguasai dirinya itu membawanya beranjak dan kini berjalan mondar-mandir dalam kamar. Pintu kamar belakang itu sudah menutup kembali dengan mengeluarkan suara “krrreeeeooottttt…!” yang sama panjangnya dengan saat terbuka. Ingin sekali ia membuka pintu kamarnya sendiri.
Akhirnya ia menyulut sebatang rokok. Membiarkan asap kelabu memenuhi seisi kamarnya yang nyaris tertutup rapat kecuali lubang ventilasi di atas jendela. Ah, sudah berapa lama ia disergap rasa gelisah itu? Agaknya sudah berlangsung sejak beberapa waktu lalu. Tepatnya suatu malam, ia membuka pintu kamarnya pas perempuan yang tinggal di kamar belakang itu pulang dan membuka pintu kamar. Pintu mereka terbuka nyaris dalam waktu bersamaan dengan mengeluarkan suara derit memekakkan. Spontan ia melongokkan kepala, dan perempuan itu refleks menoleh. Mereka saling menatap dengan canggung.
“Namanya Maya,” kata keponakan pemilik rumah yang datang menagih uang rekening listrik di awal bulan, “Katanya ia kerja di hotel, Mas. Tapi saya tidak tahu pastinya hotel mana?”
Riko, remaja yang baru tamat SMA dan masih menganggur itu ia belikan rokok. Ia pesankan juga segelas kopi dari warung yang tak jauh di depan pos satpam.
“Tapi jangan-jangan…,” Riko tidak melanjutkan ucapannya, tapi menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Jangan-jangan apa?” ia mendesak dengan hati berdebar. Dilihatnya Riko tersenyum-senyum. Anak lelaki itu memberi isyarat padanya untuk mendekat lalu berbisik ke telinganya. Ia sudah menduga yang hendak disampaikan itu, tapi tak urung matanya sedikit melotot juga, “Masa?”
Ia menggerutu sendiri dan mematikan rokoknya yang tinggal seperempat ke asbak berbentuk hati pemberian Lila. Tercenung dengan wajah yang mungkin tampak beloon. Rumah indekos itu alangkah sunyi. Kini sambil mondar-mandir, ia mulai sibuk menjewer-jewer sebelah telinganya. Kebiasaan lamanya itu muncul lagi entah sejak kapan.
Malam demi malam, ia tahu kalau ia mulai begitu merindukan suara derit pintu kamar belakang itu. Rindu? Aneh memang, suara-suara derit yang pada mulanya begitu menjengkelkan itu perlahan berubah jadi menyenangkan. Ia jadi telaten menunggu, diam-diam, dalam kamarnya yang senyap. Sambil berbaring berpulun sarung, duduk termangu merokok, atau berjalan mondar-mandir seperti sekarang. Membiarkan malam melarut, membiarkan rasa gelisahnya terus merangkak bersama jarum jam. Ya, semenjak malam itulah ia semakin sering terjaga, mulai sulit tidur, dan akhirnya sempurna mengidap imsonia!
Oh, terkadang, hanya terkadang SMS Lila datang. Atau pacarnya itu menelepon. Membuyarkan semua penantian penuh siksa yang nikmat itu!
Ah, kegelisahannya kian memanjang. Dan menjelang rencana pernikahannya dengan Lila, betapa rasa gelisah itu seolah sebuah dosa tak berampun!
***
YA, hari pernikahan itu memang sudah semakin mendekat. Lingkaran merah pada kalendernya yang ia buat dengan spidol kadangkala tampak seperti menyala di matanya.
Oh, kalau saja ia tak berpindah indekos ke tempat ini? Tiba-tiba menyesal? Entahlah. Ia merasa bodoh atas apa yang melanda dirinya. Tetapi apa yang bisa ia lakukan? Ia sama sekali tak berdaya melawan penyakit imsonia terkutuknya! Sementara derit pintu kamar belakang yang membuka dan menutup itu tiap malam terdengar semakin merdu.
Tentu saja ia menikmatinya. Seperti juga ia menikmati degup jantungnya yang terus mengencang oleh irama ketukan langkah mendekat, sebelum akhirnya dadanya bergumuruh hebat seiring dengan bunyi derit yang memanjang. Dan sesekali, ia ingin sekali membuka pintu kamarnya yang mengeluarkan derit sama kentara. Sekadar menjengukkan kepala ke luar kamar untuk melihat perempuan muda itu, atau terulang lagi seperti dulu: saling menatap dengan canggung! Ingin ia menghampiri perempuan itu, menegur, dan mengajaknya berkenalan.
Namun malam-malam yang penuh sangsi, ia lebih kerap mendekam dalam kamarnya. Hanya diam-diam menyimak suara derit pintu itu membuka dan menutup dengan kegairahan seperti saat ia mendengarkan musik NKOTB semasa remaja. Selanjutnya diniharinya pun menghambar….
Aha, sebetulnya tak ada yang lebih istimewa dari perempuan itu daripada pacarnya. Mata Lila lebih bagus, selalu berbinar cemerlang sehingga tampak cerdas dan lucu. Sedangkan mata perempuan di kamar belakang itu sedikit sayu, cenderung menyiratkan kesedihan. Entahlah. Tapi ia suka pada tungkai kaki perempuan itu yang panjang dengan betis menggemaskan. Kadang terlapis stocking tipis, sering dibiarkan terbuka mulus. Roknya yang cukup pendek dan ketat memang selalu mendebarkan.
Apakah perempuan itu memang bekerja di hotel? Hotel mana? Kerja di bagian apa? Apakah pekerjaannya tak mengenal rolling, sehingga selalu saja ia mesti pulang dini hari?
Ia tak ingin bertanya lebih jauh. Lagipula apalah guna baginya mengetahui lebih banyak soal Maya (Ah, jika benar itu nama perempuan muda tersebut!). Lebih baik ia memikirkan rencana pernikahannya lebih matang, batinnya sambil merebahkan badannya yang penat ke atas kasur. Ia merasa ingin sekali tidur, mungkin cukup beberapa jenak sebelum matahari terbit. Agar ia sedikit tampak lebih segar saat masuk kantor nanti. Pekerjaannya masih banyak yang belum diselesaikan. Ia memejamkan mata, mencoba sedikit memaksakan diri untuk tak memikirkan apa-apa. Pun sekadar domba-domba putih yang melompati pagar rintang. Namun betapa sulitnya! Silih berganti wajah Lila dan perempuan itu membayang di pelupuk matanya. Bayangan tungkai-tungkai panjang itu, bayangan suara ketukan langkah yang berirama.
***
TUK! Tuk! Tuk…!
Ia tersentak oleh ketukan di pintu kamarnya. Terdengar panggilan halus di luar. Bergegas ia bangkit, membenahi belitan sarungnya dan melangkah ke pintu. Diputarnya gerendel pintu yang tak dikunci, dan seperti biasa pintu kamarnya terbuka disertai bunyi deritan memanjang.
“Si-siaa…,” pertanyaannya langsung terputus melihat orang yang kini berdiri di hadapannya. Ia tertegun takjub.
“Maaf, menganggu. Punya air minum? Saya lupa mengisi galon…,” perempuan muda itu (ah, siapa lagi!), agaknya belum sempat berganti pakaian dan menghapus make-up, tersenyum tipis padanya. Senyum yang menurutnya lebih mirip meringis, seolah hendak menunjukkan rasa haus. Ia menoleh pada dispencer di pojok kiri kamarnya dengan gugup. Namun entah kenapa, mendadak ia merasa ingin sekali menutup pintu kamarnya. Saat itu juga!
Gaten, Yogyakarta, Februari 2009